Ia tergolong sangat cerdas dan
menonjol. Karena itu ia selalu jadi bos. Ia ganteng dengan sorot mata tajam.
Tak heran bila ia menjadi buah bibir para wanita. Rasa percaya dirinya yang
tinggi dan mantap bahkan tampak pada caranya menapakkan sepatu di lantai. Bila
berjalan, dari kejauhan langkah kakinya sudah terdengar mantap menghentak, dan
para staf berucap, bos datang tu. Ia tak pernah ragu bila mengambil keputusan,
argumentasinya sulit dibantah. Ia bahkan berani secara terbuka berbeda pendapat
dengan atasan dengan rasa percaya diri yang mantap. Rasanya ia nyaris sempurna.
Inilah realitas manusia, nyaris
sempurna. Jadi tak sempurna dan tak akan pernah sempurna. Rasa percaya dirinya
yang tinggi justru menjatuhkannya dalam jurang subjektivitas yang ekstrim. Ia
telah bermetamorfosa jadi solipsis. Orang yang menganggap dirinya sangat hebat,
dan di luar dirinya adalah kekosongan. Ia adalah pusat, yang lain sekedar
pelengkap yang tak penting.
Itulah sebabnya dalam rapat,
pengarahan, dan diskusi lidahnya adalah belati dan kata-katanya api, yang
mengiris, merajang cincang serta membakarhaguskan apapun. Baginya semua yang
ada dalam forum adalah balita yang harus dipendelekin atau dipelototin,
dijewer, diarahkan, dan dibentak agar mendengar kata-katanya yang sakti. Ia tak
peduli bahkan pada orang yang lebih cerdas, lebih senior, dan lebih
berpengalaman darinya. Persoalan akademik yang membutuhkan argumentasi dibabatnya
dengan bahasa kuasa. Ia sebenarnya seorang tiran yang menggunakan gelar
akademik hanya sebagai tameng.
Mungkin ada yang kurang berfungsi dalam
sistem limbik atau otak emosinya. Akibatnya, jangankan berempati, bersimpati
pun ia tak mampu. Bahkan tak ada rasa malu tatkala ia menyatakan sesuatu yang
nyata-nyata salah. Ia pandai membuat dan memberi perintah, tetapi tak pernah
bisa memberi keteladanan.
Ia selalu mengesankan bahwa ia tegar,
tegas, dan tahu segalanya. Tetapi sesungguhnya ia megaloman yang rapuh, rentan
dan ringkih. Ia tak lebih hanya tikus selokan. Betapa tidak, ia merasa enjoy
dan bahagia bercengkerama dengan besi-besi bisu dan dingin di ruang fitnes
daripada bercengkerama hangat mesra dengan keluarganya. Ini gejala sakit jiwa
akut.w
Ini paradoks lelaki sepi jiwa. Di rumah
ia tak punya panggung atau ring. Karena itu ia mencari panggung dan ring di
luar rumah. Lelaki yang tak punya panggung atau kalah bertarung pada ring di
rumahnya, akan mencari panggung dan ring di luar sana. Bukan untuk bertarung,
namun untuk memaki wasit dan menyumpahserapahi penonton.
Meski bukan satu-satunya faktor tetapi
bisa jadi ini ada hubungannya dengan kualitas alat vital. Paling tidak alat
vital lelaki bisa dibagi dalam empat kategori yang menunjukkan kualitas yaitu
seperti tape, sosis, terung atau mentimun. Biasanya mereka yang tak punya
panggung dan ring di rumah adalah yang seperti tape atau sosis. Ini membuka
peluang sang pasangan mencari ring lain yang bekualitas terung dan mentimun,
karena lebih kerasa dan nendang.
Sialnya, orang di luar rumah yang tak
mengerti duduk soal jadi korban. Terdapat banyak penjelasan tentang fenomena
ini. Ada yang menyebutnya manusia topeng. Tampilan yang kelihatan hebat, tegar
dan selalu oke, adalah topeng untuk menutupi realitas yang sesungguhnya. Ada
yang menyebut ini merupakan mekanisme pertahanan diri yang tak terelakkan,
bahkan ada yang menyebutnya pribadi yang terbelah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd