Hidup memang sulit. Acap kali kita
diperhadapkan pada pilihan yang sangat sempit dan terbatas, bahkan kadang tak
ada pilihan sama sekali. Jika terbelenggu dalam situasi ini betapa sangat
terasa kita sungguh berada dalam situasi batas. Tatkala tak ada pilihan, dan
resiko sangat besar. Semua orang, pastilah pernah berada dalam situasi batas
seperti ini. Terasa betul, betapa lemah manusia.
Beberapa tahun lalu, istriku dioperasi
untuk mengangkat usus buntu dan kista. Semuanya terjadi tanpa di sengaja. Sore hari istriku pergi ke dokter kandungan
untuk pemeriksaan rutin. Ternyata ada kista dalam rahimnya yang tumbuh tepat di
indung telur sebelah kiri. Ini agak mengejutkan karena istriku terbilang rajin
memeriksakan diri. Rupanya kistanya tumbuh sangat cepat. Malam harinya istriku
merasa perut sebelah kanan sangat nyeri. Aku bawa ke rumah sakit. Ternyata usus
buntunya hampir meledak. Aku putuskan untuk dilakukan operasi sekaligus
mengangkat usus buntu dan kista.
Setelah operasi itu, istriku semakin
rajin dan rutin memeriksakan diri, termasuk melakukan papsmear, pemeriksaan
rahim. Semuanya baik-baik saja. Di awal 2012 dilakukan lagi papsmear, tidak
ditemukan gejala apa pun. Memang sejak operasi kista, jadwal menstruasi istriku
kacau balau. Selalu maju dan masa menstruasinya lama. Kadang sebulan bisa dua
kali menstruasi. Dokter bilang ini normal bagi wanita yang pernah mengalami
operasi kista. Dibutuhkan waktu untuk penyesuaian hormon agar kembali normal.
Jadi, istriku dan aku sudah terbiasa dengan masa menstruasi yang agak lama dan
darah yang tertumpah dalam ukuran banjir bandang.
Beberapa waktu lalu istriku kembali
menstruasi. Darah yang keluar kembali membanjir bandang. Waktunya juga kian
panjang. Pagi hari istriku tetap mengajar di taman kanak-kanak Anak Sholeh Dua
yang kami dirikan enam tahun lalu. Setelah itu ia mengikuti rapat dengan para
guru untuk mempersiapkan kelulusan para siswa. Lalu pergi ke Tangerang untuk
suatu keperluan. Aku lebih dulu sampai di rumah. Saat istriku sampai di rumah
aku lihat dia sangat pucat. Kuputuskan membawanya ke rumah sakit. Aku, bahkan
dokter yang memeriksa sangat kaget. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan
HB darah istriku cuma 3,8. Ia sadar dan bisa bercakap-cakap dengan dokter.
Kesudahannya ia dibawa ke ruang intermediate. Sungguh aku merasa sangat
terpukul dan terkejut. Seorang temanku, lelaki yang bertubuh tegap, pingsan
tatkala HBnya 5,7. Aku bersyukur pada Allah karena istriku masih sadar dan bisa
bercanda dengan HB sekecil itu. Kami baru tahu bahwa ada mioma dalam rahim
istriku. Dalam kegalauan hati, aku kontak pengasuh pesantren dan meminta putri
sulungku Zendara Beda Azani dipulangkan besok pagi. Jujur kuakui, aku merasa
khawatir, was-was, dan takut. Ada kesedihan yang tak terkatakan. Sementara
putra bungsuku Khalifa Lyan Bohemianda bersamaku menjaga mamanya.
Tiga hari berlalu dan HB istriku
mencapai 10. Dokter menawarkan untuk segera dioperasi, aku menolaknya karena kondisi
psikologis istriku tampaknya belum kondusif untuk menjalani operasi. Setelah
lebih tenang dan siap, kami memutuskan untuk melakukan operasi. Sebelum
operasi, aku dan istriku berdiskusi dengan dokter kandungan, sementara si
bungsu ikut mendengarkan, sedangkan si sulung masih di pesantren di Kuningan
Jawa Barat. Pembicaraan terasa berat dan menghentak jiwa, saat dokter bilang
bahwa rahim istriku harus diangkat atau dibuang. Bila tidak, mioma akan tumbuh
lagi dan terpaksa operasi lagi dua atau tiga tahun ke depan. Lama, aku dan
istriku terdiam. Bagaimanapun ini keputusan yang sangat sulit. Dengan berat
hati kukatakan, saya pilih yang terbaik bagi kesehatan istri saya. Istriku
tidak keberatan rahimnya diangkat.
Rahim bukanlah seonggok daging dan
syaraf. Rahim adalah sumber kehidupan, wahana yang menjamin kelangsungan dan
kebertahanan ras manusia. Meski menyakitkan, kami harus bersyukur karena telah
memiliki dua anak. Dulu kami berencana memiliki tiga sampai empat anak, kini
kami harus menerima kenyataan dua anak saja cukup. Dokter pergi meninggalkan
kami, kami saling menguatkan. Kami kemudian memberi pengertian pada si bungsu.
Pukul 8. 37 operasi di mulai. Aku dan
si bungsu menunggu. Sementara si sulung belum diberitahu karena ia harus
mengikuti try out menghadapi SMPTN. Tiba-tiba ia memberi tahu ia sudah sampai
Indramayu menuju Bekasi. Rupanya ia membaca status yang kubuat di FB. Ia
langsung cabut dari tempat les dan tidak memberi ttahu fihak pesantren. Aku
kontak pesantren menjelaskan kejadiannya sembari meminta maaf dan sekaligus
izin bagi putri sulungku.
Dua jam lebih berlalu. Si bungsu dan
aku terus berdoa. Ada rasa khawatir dan berharap sekaligus. Tiba-tiba ada
panggilan dari ruang operasi. Aku dan si bungsu menuju ke sana setengah
berlari. Dokter kandungan mengatakan, rahim istriku telah diangkat. Tapi ada
masalah dengan bekas operasi yang dulu. Perlu operasi tambahan dengan dokter
bedah umum. Aku segera tanda tangani persetujuan, dan harus menunggu satu
setengah jam lagi dalam kecemasan. Selagi menunggu, aku kembali dipanggil.
Rupanya hendak ditunjukkan rahim istriku yang telah diangkat. Penuh darah dalam
plastik, rahim istriku kini sungguh menjadi seonggok daging. Aku lihat dengan
seksama, aku coba memeganggnya, masih terasa sedikit hangat. Ada getar dalam
jiwa, tak terasa aku menitikkan air mata. Dulu rahim itu ada dalam tubuh
istriku. Dulu dua anak kami pernah mukim dan tumbuhkembang di situ. Kini rahim
itu harus dibuang, dipisahkan dari istriku. Beberapa saat aku seperti tak bisa
bernafas. Kemudian aku meminta izin untuk memfotonya berkali-kali. Aku ingin
istriku, dan anak-anak kami melihatnya. Akhirnya kutinggalkan rahim itu dengan
perasaan tak tentu. Manusia, setiap hari hidup dan mati. Ada bagian tubuh yang
mati dan ada pula yang baru tumbuh. Kita tak pernah tertanggu ketika memotong
dan membuang kuku, rambut, kumis dan jenggot. Tapi jadi lain ketika yang
dipotong dan dibuang adalah rahim. Tragis dan menyedihkan.
Apa yang kami alami adalah realitas
manusia yang sangat fundamental. Betapa rentan manusia itu. Setetes cairan saja
bisa membuatnya tak berdaya bahkan mati. Sebentuk virus atau bakteri yang
sangat halus bisa meluluhlantakkannya, membuatanya menjadi sekedar seonggok
daging.
Penyakit bisa datang kapan dan di mana
saja, betapa pun kita telah berikhtiar menjaga kesehatan. Penyakit bisa datang
dari dalam dan luar diri kita. Makanan yang kita makan, pasti secara perlahan
pada gilirannya memakan kita. Lingkungan kita semakin lama semakin rusak dan
berisi beragam racun yang menghancurkan. Bila sakit datang kita tidak pernah
tahu apakah ini merupakan musibah, ujian, cobaan, atau hukuman. Ini semua
membuat hidup tidak selalu manis. Hidup bagai musim yang terus berganti.
Adakalanya manis, sering juga getir-pahit, asam-asin, nano-nano dan campur sari.
Meski penyakit pastilah menyakitkan,
tetaplah berbaik sangka pada Allah, berfikir positif, dan menjadikannya lahan
untuk mendapatkan pahala melalui kesabaran. Karena itu,
| rahim purna tugas |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd