Selasa, 21 Mei 2013

KETIKA RAHIM ISTRIKU DIBUANG

Hidup memang sulit. Acap kali kita diperhadapkan pada pilihan yang sangat sempit dan terbatas, bahkan kadang tak ada pilihan sama sekali. Jika terbelenggu dalam situasi ini betapa sangat terasa kita sungguh berada dalam situasi batas. Tatkala tak ada pilihan, dan resiko sangat besar. Semua orang, pastilah pernah berada dalam situasi batas seperti ini. Terasa betul, betapa lemah manusia.

Beberapa tahun lalu, istriku dioperasi untuk mengangkat usus buntu dan kista. Semuanya terjadi tanpa di sengaja.  Sore hari istriku pergi ke dokter kandungan untuk pemeriksaan rutin. Ternyata ada kista dalam rahimnya yang tumbuh tepat di indung telur sebelah kiri. Ini agak mengejutkan karena istriku terbilang rajin memeriksakan diri. Rupanya kistanya tumbuh sangat cepat. Malam harinya istriku merasa perut sebelah kanan sangat nyeri. Aku bawa ke rumah sakit. Ternyata usus buntunya hampir meledak. Aku putuskan untuk dilakukan operasi sekaligus mengangkat usus buntu dan kista.

Setelah operasi itu, istriku semakin rajin dan rutin memeriksakan diri, termasuk melakukan papsmear, pemeriksaan rahim. Semuanya baik-baik saja. Di awal 2012 dilakukan lagi papsmear, tidak ditemukan gejala apa pun. Memang sejak operasi kista, jadwal menstruasi istriku kacau balau. Selalu maju dan masa menstruasinya lama. Kadang sebulan bisa dua kali menstruasi. Dokter bilang ini normal bagi wanita yang pernah mengalami operasi kista. Dibutuhkan waktu untuk penyesuaian hormon agar kembali normal. Jadi, istriku dan aku sudah terbiasa dengan masa menstruasi yang agak lama dan darah yang tertumpah dalam ukuran banjir bandang.

Beberapa waktu lalu istriku kembali menstruasi. Darah yang keluar kembali membanjir bandang. Waktunya juga kian panjang. Pagi hari istriku tetap mengajar di taman kanak-kanak Anak Sholeh Dua yang kami dirikan enam tahun lalu. Setelah itu ia mengikuti rapat dengan para guru untuk mempersiapkan kelulusan para siswa. Lalu pergi ke Tangerang untuk suatu keperluan. Aku lebih dulu sampai di rumah. Saat istriku sampai di rumah aku lihat dia sangat pucat. Kuputuskan membawanya ke rumah sakit. Aku, bahkan dokter yang memeriksa sangat kaget. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan HB darah istriku cuma 3,8. Ia sadar dan bisa bercakap-cakap dengan dokter. Kesudahannya ia dibawa ke ruang intermediate. Sungguh aku merasa sangat terpukul dan terkejut. Seorang temanku, lelaki yang bertubuh tegap, pingsan tatkala HBnya 5,7. Aku bersyukur pada Allah karena istriku masih sadar dan bisa bercanda dengan HB sekecil itu. Kami baru tahu bahwa ada mioma dalam rahim istriku. Dalam kegalauan hati, aku kontak pengasuh pesantren dan meminta putri sulungku Zendara Beda Azani dipulangkan besok pagi. Jujur kuakui, aku merasa khawatir, was-was, dan takut. Ada kesedihan yang tak terkatakan. Sementara putra bungsuku Khalifa Lyan Bohemianda bersamaku menjaga mamanya.

Tiga hari berlalu dan HB istriku mencapai 10. Dokter menawarkan untuk segera dioperasi, aku menolaknya karena kondisi psikologis istriku tampaknya belum kondusif untuk menjalani operasi. Setelah lebih tenang dan siap, kami memutuskan untuk melakukan operasi. Sebelum operasi, aku dan istriku berdiskusi dengan dokter kandungan, sementara si bungsu ikut mendengarkan, sedangkan si sulung masih di pesantren di Kuningan Jawa Barat. Pembicaraan terasa berat dan menghentak jiwa, saat dokter bilang bahwa rahim istriku harus diangkat atau dibuang. Bila tidak, mioma akan tumbuh lagi dan terpaksa operasi lagi dua atau tiga tahun ke depan. Lama, aku dan istriku terdiam. Bagaimanapun ini keputusan yang sangat sulit. Dengan berat hati kukatakan, saya pilih yang terbaik bagi kesehatan istri saya. Istriku tidak keberatan rahimnya diangkat.

Rahim bukanlah seonggok daging dan syaraf. Rahim adalah sumber kehidupan, wahana yang menjamin kelangsungan dan kebertahanan ras manusia. Meski menyakitkan, kami harus bersyukur karena telah memiliki dua anak. Dulu kami berencana memiliki tiga sampai empat anak, kini kami harus menerima kenyataan dua anak saja cukup. Dokter pergi meninggalkan kami, kami saling menguatkan. Kami kemudian memberi pengertian pada si bungsu.

Pukul 8. 37 operasi di mulai. Aku dan si bungsu menunggu. Sementara si sulung belum diberitahu karena ia harus mengikuti try out menghadapi SMPTN. Tiba-tiba ia memberi tahu ia sudah sampai Indramayu menuju Bekasi. Rupanya ia membaca status yang kubuat di FB. Ia langsung cabut dari tempat les dan tidak memberi ttahu fihak pesantren. Aku kontak pesantren menjelaskan kejadiannya sembari meminta maaf dan sekaligus izin bagi putri sulungku.

Dua jam lebih berlalu. Si bungsu dan aku terus berdoa. Ada rasa khawatir dan berharap sekaligus. Tiba-tiba ada panggilan dari ruang operasi. Aku dan si bungsu menuju ke sana setengah berlari. Dokter kandungan mengatakan, rahim istriku telah diangkat. Tapi ada masalah dengan bekas operasi yang dulu. Perlu operasi tambahan dengan dokter bedah umum. Aku segera tanda tangani persetujuan, dan harus menunggu satu setengah jam lagi dalam kecemasan. Selagi menunggu, aku kembali dipanggil. Rupanya hendak ditunjukkan rahim istriku yang telah diangkat. Penuh darah dalam plastik, rahim istriku kini sungguh menjadi seonggok daging. Aku lihat dengan seksama, aku coba memeganggnya, masih terasa sedikit hangat. Ada getar dalam jiwa, tak terasa aku menitikkan air mata. Dulu rahim itu ada dalam tubuh istriku. Dulu dua anak kami pernah mukim dan tumbuhkembang di situ. Kini rahim itu harus dibuang, dipisahkan dari istriku. Beberapa saat aku seperti tak bisa bernafas. Kemudian aku meminta izin untuk memfotonya berkali-kali. Aku ingin istriku, dan anak-anak kami melihatnya. Akhirnya kutinggalkan rahim itu dengan perasaan tak tentu. Manusia, setiap hari hidup dan mati. Ada bagian tubuh yang mati dan ada pula yang baru tumbuh. Kita tak pernah tertanggu ketika memotong dan membuang kuku, rambut, kumis dan jenggot. Tapi jadi lain ketika yang dipotong dan dibuang adalah rahim. Tragis dan menyedihkan.

Apa yang kami alami adalah realitas manusia yang sangat fundamental. Betapa rentan manusia itu. Setetes cairan saja bisa membuatnya tak berdaya bahkan mati. Sebentuk virus atau bakteri yang sangat halus bisa meluluhlantakkannya, membuatanya menjadi sekedar seonggok daging.

Penyakit bisa datang kapan dan di mana saja, betapa pun kita telah berikhtiar menjaga kesehatan. Penyakit bisa datang dari dalam dan luar diri kita. Makanan yang kita makan, pasti secara perlahan pada gilirannya memakan kita. Lingkungan kita semakin lama semakin rusak dan berisi beragam racun yang menghancurkan. Bila sakit datang kita tidak pernah tahu apakah ini merupakan musibah, ujian, cobaan, atau hukuman. Ini semua membuat hidup tidak selalu manis. Hidup bagai musim yang terus berganti. Adakalanya manis, sering juga getir-pahit, asam-asin, nano-nano dan campur sari.

Meski penyakit pastilah menyakitkan, tetaplah berbaik sangka pada Allah, berfikir positif, dan menjadikannya lahan untuk mendapatkan pahala melalui kesabaran. Karena itu,


APA PUN KEADANNYA, TETAPLAH BERSYUKUR PADA ALLAH.



rahim purna tugas


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd