Kembali lagi ke Jogja. Kota budaya yang
menyediakan kenyamanan bagi siapa pun yang datang. Kali ini untuk sebuah
pekerjaan yang membutuhkan keseriusan dan akurasi. Menginap di ujung Malioboro
dan bisa menyaksikan keramaian Malioboro dari jendela kamar. Tetapi sungguh tak
ada waktu sekedar melenggangkan kaki di sepanjang Malioboro.
Akhirnya ada kesempatan untuk
melenggang kangkung di sepanjang Malioboro. Namun, saat menjelang tengah malam.
Para pedagang kaki lima yang menjual hasil kerajinan, cindera mata, kaus oblong
dan beragam dagangan khas Jogja telah meninggalkan Malioboro, hanya beberapa
yang terlihat masih mengemasi barang dan menutup gerobaknya dengan plastik.
Sementara itu semua warung makan lesehan sudah melayani para pembeli.
Tampaknya, Malioboro tak akrab dengan sepi. Keriuhan sepanjang siang,
digantikan kermaian malam. Kini para pengunjung Malioboro menikmati wisata
kuliner bergaya lesehan dalam kesantaian malam khas Malioboro. Ramai, terang
benderang tapi tak ada keriuhan. Tenang, mengalir, santai, hangat, akrab, dan
menyenangkan.
Tukang becak masih ramai menawarkan
jasa untuk membawa para pendatang. Beberapa masih menawarkan berkunjung ke
tempat penjualan bak pia, batik, dan kaos oblong. Tidak sedikit yang menawarkan
mbak-mbak, dan ABG kos-kosan yang bisa memberi gairah kehangatan malam. Ini
semacam local genius yang bukan monopoli Jogja. Di kota lain, pada siang hari
kita ditawari mpek-mpek, menjelang malam ada tawaran mpok-mpok. Ada pula yang
menyajikan teh dan peuyeum di siang hari, dan menawarkan teteh dan peuyeumpuan
di malam hari.
Para pengunjung yang sedang asyik
menikmati makan malam dihibur sejumlah bencong bergaya penyanyi dangdut koplo yang
meliuk-liuk menari diiringi lagu dangdut dari mesin pemutar lagu yang mereka
bawa sendiri. Di lesehan yang lain sejumlah pengamen menyanyikan lagu-lagu
tempo doeloe, ada pula seorang perempuan tua memainkan kencrengan melantunkan
lagu Jawa. Ada banyak pengamen dengan beragam gaya. Selama menikmati wisata
kuliner, pengamen datang silih berganti. Dibarengi orang yang menawarkan
pembuatan tatoo, dan lukisan diri. Masih diramaikan oleh lelaki dan perempuan
yang menawarkan jasa pijatan refleksi. Ada pula yang menawarkan jasa semir
sepatu.
Pada sisi yang lain sejumlah anak muda
memarkir 5 mobil yang berbeda. Dari nomor polisinya rasanya mereka bukan orang
Jogja. Pintu mobil dibuka, mereka lesehan di pinggir jalan terlibat dalam
obrolan yang ramai. Dari dalam mobil terdengar suara musik yang tidak bingar.
Belum tentu mereka akan memutar lagu dengan suara selembut ini jika nongkrong
seperti ini di tempat asalnya. Mereka mahfum, mereka nongkrong di Malioboro. Di
sini pendatang dibuat mengerti tentang tradisi dan kesantunan bukan dengan
bahasa verbal yang seringkali susah dipahami. Terapi dengan perilaku yang
dibudayakan dalam keseharian.
Ada lesehan yang menyediakan meja dan
kartu domino dari plastik tebal, di setiap meja empat orang asyik bermain
domino, ada sembilan kelompok. Mereka bermain domino nyambi dihibur lagu
keroncong yang dibawakan sejumlah anak muda. Terlihat beberapa wanita ikut
bermain. Terdengar derai tawa di antara mereka. Malioboro sungguh menawarkan
kesenangan yang murah dan menyenangkan.
Jalanlah terus ke arah kraton. Suasana
sungguh kontras. Lampu makin temaran dan suasana semakin sepi. Beberapa tukang
becak terlihat tertidur di dudukan becaknya, tubuhnya membengkok seperti gaya
kucing tidur. Ada sejumlah orang ngobrol sambil ngopi di sekitar pikulan yang
dipenuhi makanan. Api rokok terlihat menyala dalam ketemaraman larut malam.
Mendekati alun-alun keraton, suasan makin sepi dan gelap, terlihat sejumlah
orang seperti silhuet yang sepenuhnya hitam, berbisik dalam kegelapan. Sampai
di keraton, yang pertama terlihat adalah tembok, pintu gerbang, bangunan
bergaya monotoni, dan kemuraman dalam ketemaraman.
Sebagaimana keraton, Malioboro adalah
realitas sekaligus simbol. Realitasnya adalah keramaian, kenyamanan, keakraban,
keberagaman, kegembiraan, keterbukaan, keakraban, apa adanya, terang benderang
di malam hari, dan suasana yang mengalir. Malioboro adalah simbol rakyat atau
masyarakat yang selalu gembira apapun keadaannya, nyaman tanpa prasangka,
terbuka dalam kebersamaan.
Sebaliknya, keraton adalah lambang
kuasa yang muram, temaram, kaku bagai tembok, misterius tak terduga, penuh
bisik dan intrik dalam operasi senyap,
transaksi dalam temaram, dingin dan menakutkan, serta tertutup dan tak
jelas. Suasana larut malam Malioboro yang benderang, nyaman, dan gembira, serta suasana temaram di sekitar
dan di keraton menegaskan,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd