Senin, 20 Januari 2014

KALA BANJIR ITU HADIR

Hujan tumpah bagai air terjun. Menderas dan terus menderas. Jatah air dari Bogor melancar kencang, melampaui kecepatan mobil yang tersendat di tol Jagorawi. Sontak mendadak semua wilayah yang  pasti banjir jika musim seperti ini ditenggelamkan air bah yang tak dapat dibendung oleh kekuatan apa pun. Sebagian Jakarta melaut.

Kehebohan menjadi kaharusan. Penduduk yang kediamannya disatroni banjir harus mengungsi, meski hidup di pengungsian pastilah sama sekali tak menyenangkan. Tetapi bertahan di rumah yang terus ditenggelamkan banjir juga lebih beresiko. Perahu karet mondar-mandir memindahkan mereka yang harus mengungsi.

Jalanan macet di mana-mana. Pusat perekonomian tak berfungsi,  Jakarta nyaris lumpuh. Kehidupan tertatih-tatih seperti balita yang terkena folio belajar berjalan. Genangan air yang terus meluas seakan menggerus semua usaha yang selama ini dikerjakan untuk mengatasi banjir. Banjir kanal timur yang digembar-gemborkan dapat mengurangi banjir tak jelas apa fungsinya. Banjir Jakarta memang tak bisa diatasi dalam jangka singkat dan hanya oleh Pemda DKI Jakarta.

Banjir yang terus meluas, dan tampaknya akan makin meluas pada hari-hari mendatang, pastilah akan membawa penderitaan panjang bagi masyarakat yang mengungsi. Terutama masyarakat yang bermukim di pinggiran kali. Sedangkan masyarakat kompleks perumahan mewah yang terkena banjir, ramai-ramai boyong ke hotel. Apalagi banjir terjadi di akhir pekan, suasananya tak ubah bagai libur akhir pekan.

Bagi sebagian anak-anak di pemukiman penduduk kebanyakan dengan status sosial ekonomi rendah dan sedang, banjir ini sungguh dinikmati dengan gembira. Mereka memanfaatkan banjir untuk bersenang-senang. Menikmati wisata air secara gratis. Maklumlah wisata air di Jakarta, di kolam renang atau pantai Ancol, sangat mahal biayanya. Inilah dunia anak-anak, bermain dan bergembira, meski air yang dinikmati untuk bermain sangat kotor. Mereka seakan tak peduli bahwa banjir adalah penderitaan, penyakit, bahkan membawa serta kemungkinan bagi kematian.

Sejumlah orang memanfaatkan banjir untuk menaggok rezeki. Mendorong mobil atau motor dan menarik gerobak berisi orang atau motor. Tidak sedikit orang yang datang ke tempat-tempat yang dipenuhi air cuma sekadar menonton orang dievakuasi dan menikmati suasana banjir. Mereka menonton orang kebanjiran layaknya nonton topeng monyet.

Banjir di Jakarta sudah jadi ritual tahunan. Presiden Indonesia terus berganti, sebagaimana Gubernur DKI Jakarta. Tetapi banjir tak pernah peduli, tetap menyambangi dengan kecepatan, keluasan dan kedalaman yang makin bertambah. Banjir seakan sudah menjadi metabolisme kota untuk buang hajat.

Banjir Jakarta adalah sebuah bukti nyata bahwa Pemerintahan di Indonesia memang lebih pintar beretorika, berwacana daripada bertindak nyata. Juga untuk saling tuding, salah menyalahkan justru dalam situasi rakyat didera derita berkepanjangan.

Sepenuhnya kita sadari, mengatasi banjir Jakarta semakin susah. Sebab mal, apartemen, perumahan mewah, ruko, perkantoran terus saja dibangun, bahkan sampai menguruk laut. Tanah-tanah terbuka untuk resapan air makin menyempit dan langka. Bersebalikan dengan itu pembuatan sumur resapan lebih banyak dikatakan daripada dilakukan.

Berbeda dari gempa bumi dan tsunami, bencana karena banjir sebernarnya relatif bisa diprediksi. BMKG secara rutin mengumumkan curah hujan, arah angin, tinggi gelombang, tinggi banjir rob, peluang hujan, dan keekstriman cuaca. Atas dasar berbagai informasi dan data tersebut, seharusnya Pemerintah dari berbagai tingkatan sudah bisa menyegerakan semua persiapan untuk menghadapi dampak banjir. Meskipun banjirnya sendiri tampaknya belum bisa diatasi.

Namun, setiap kali banjir nyamper dari tahun ke tahun, kita melihat pemandangan yang sama, tempat pengungsian yang tidak layak, layanan yang sangat minimal, menyebarnya berbagai penyakit, dan antisipasi yang selalu telat, pompa-pompa air yang tidak berfungsi, dan sejumlah masalah yang serupa terulang terus.

Kesannya tidak ada sistem yang ajeg menghadapi bencana yang relatif bisa diprediksi dan diukur yang terjadi secara rutin. Tampaknya Pemerintah lebih reaktif daripada responsif. Mungkin fenomena inilah yang membuat dalam banyak kejadian yang krusial, Pemerintah terjerembab dalam siklus kesalahan yang berulang.

Dalam situasi yang menjurus khaos begini, orang-orang dan partai politik biasanya memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Melempar jala di pusaran air keruh. Memberi tak seberapa tetapi mengambil keuntungan terlalu banyak. Partai politik mestinya sadar, masyarakat sudah tahu belang mereka. Jadi, tidak usah sibuk dengan pencitraan terus menerus. Karena mereka punya wakil di eksekutif dan legislatif, sebaiknya mereka gunakan kedudukan itu untuk membela kepentingan rakyat dengan cara yang sistematik, terstruktur, dan terukur. Rakyat, bahkan yang sangat kurang pendidikannya, tahu betul koq, siapa dan partai apa yang sungguh-sungguh membela mereka, dan siapa yang kelihatannya saja sungguh-sungguh.

Bila banjir itu hadir, sungguh semuanya jadi jelas terlihat. Banjir bukan saja punya kemampuan untuk membongkar dan menunjukkan semua sampah dari berbagai sudut Jakarta yang dilaluinya. Juga mampu menyembulkan berbagai sisi kotor dan ketidakbecusan para pengelola negeri ini.

Tengoklah banjir Sulawesi Utara. Banjir itu secara sangat transparan dan menohok membuka apa yang selama ini tersimpan di bawah permukaan. Kerusakan lingkungan, perambahan hutan, tatakelola masyarakat dan kota yang tak tertata dan tak terkelola, secara begitu saja muncul di depan mata kita semua.

Bagaimana kerusakan hutan telah memunculkan tsunami banjir yang menenggelamkan dan merampas puluhan nyawa serta menghancuran puluhan ribu rumah.  Kerugian harta benda juga tidak sedikit.

Bencana memang memiliki kemampuan membongkar apa pun yang tersimpan di bawah permukaan, terutama

KEGAGALAN PARA PENGUASA MENGAYOMI RAKYATNYA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd