Selasa, 21 Januari 2014

KECIL ITU HEBAT

(Catatan kecil untuk Pak Song)

Jangan remehkan yang kecil. Gajah yang besar, bisa lari terbirit-birit di kejar tupai. Kuda nil itu besar dan galak. Tidak ada yang berani sama kuda nil, temasuk buaya yang ganas. Tetapi kuda nil bisa lari puntang-panting dikejar kupu-kupu.

Jangan abaikan orang kecil. Orang yang diberi predikat wong cilik. Orang-orang biasa yang secara sosial ekonomis berada paling bawah dalam hirarki sosial. Mereka adalah para pembantu di rumah, petugas kebersihan di kantor, pengasong, tukang jamu gendong, penjual warung makan yang sangat murah, pedagang kecil di pasar, supir bus, angkot, bajaj, tukang ojek, pemulung dan banyak yang lainnya. Bayangkan bila mereka tidak ada. Apa republik ini masih bisa berdiri? Lihat saja saat lebaran dan mereka ramai-ramai mudik, hidup jadi terasa sangat sulit. Jangan pernah remehkan mereka.

Jangan pernah sepelekan orang kecil. Orang yang bertubuh kecil. Dunia ini dari waktu ke waktu diramaikan oleh peran luar biasa orang-orang kecil. Voltaire, Jenghis Khan, Napoleon Bonaparte, Gandhi, Lenin, Yasser Arafat, Mahmoud Ahmadinejad, Yuri Gagarin, Kim Jong Il, Charlie Chaplin, Pablo Picaso, Dustin Hoffman, Tom Cruise, Elton John, Jennifer Love Hewit, Hillary Duff, Megan Fox, Sarah Jessica Parker, Maradona, Romario, Roberto Carlos, Messi, dan sejumlah besar nama lain merupakan orang-orang kecil yang berpengaruh. Mereka menorehkan prestasi luar biasa. Membuat sejarah, dan tercatat dalam sejarah.


Prestasi dan pengaruh orang-orang bertubuh kecil ini menunjukkan dengan tegas potensi luar biasa manusia. Manusia adalah makhluk yang selalu mampu melampaui berbagai keterbatasan, pun keterbatasan yang melekat pada kemanusiaannya. Inilah yang membedakan manusia, bahkan dari malaikat dan iblis.

Manusia adalah sebaik-baiknya ciptaan.  Mengapa disebut seperti itu?

Bukankah penciuman manusia tidak sedasyat penciuman anjing, kucing, dan tikus? Bukankah mata manusia tidak setajam mata elang dan burung hantu? Bukankah sensitivitas manusia terhadap suara dan benda tidak sebagus kelelawar? Bukankah manusia tidak sekuat gajah dan banteng? Kuda, macan, dan heyna jauh lebih cepat dari kemampuan manusia berlari. Daya tahan beruang kutub lebih hebat daripada manusia di daerah yang sangat dingin. Ya, manusia bahkan lebih lemah daya tahannya berada di tempat kotor dibandingkan kecoa. Tampaknya payah betul manusia ini. Apa yang membuatnya disebut sebaik-baiknya ciptaan?

Setiap binatang memiliki kelebihan tertentu agar dapat bertahan hidup. Kelebihan itu sudah dari sononya, dan berkembang bareng dengan tumbuh kembang binatang tersebut. Itulah sebabnya anjing, kucing, dan tikus tidak perlu ikut sekolah atau kursus untuk melatih penciumannya.  Kelebihan tiap binatang itu sangat spesifik terkait dengan kebutuhan untuk dapat bertahan hidup. Karena itu kemampuan semut untuk menjaga kebersamaan tidak sama dengan lebah, monyet, dan gajah yang juga hidup dalam kebersamaan. Semua kelebihan itu bersifat instingtual, sudah melekat dan otomatis. Oleh sebab itu bayi binatang tidak membutuhkan masa pengasuhan yang panjang seperti bayi manusia. Bayi kambing hanya membutuhkan waktu dalam ukuran detik atau menit untuk bisa langsung jalan, bayi manusia butuh waktu sekitar satu tahun untuk bisa berjalan.

Namun, manusia dianugerahi spiritualitas dan otak yang sama sekali berbeda dengan makhluk yang manapun. Spiritualitas dan otak mampu melejitkan manusia bukan saja melampaui instingnya, bahkan melampaui kemanusiaanya. Atas dasar fakta inilah, manusia  merupakan satu-satunya makhluk ciptaan Allah yang berpotensi melakukan dan mengalami transendensi yaitu melampaui keterikatannya dengan tubuh, materi dan hal-hal yang bersifat duniawi. Malaikat dan iblis tak bisa mengalami transendensi itu, apalagi binatang.

Jadi, tak berlebihan bila manusia disebut sebaik-baiknya ciptaan. Kata kunci sebaik-baiknya itu lebih menunjukkan potensi yang bisa diraih oleh manusia. Sejatinya, semua manusia bisa meraihnya, ya termasuk orang-orang kecil.

Mengapa orang-orang kecil bisa ikut menentukan sejarah dalam berbagai bidang? Hakikinya, mereka manusia yang sama dengan manusia lain. Artinya potensinya ya sama saja dengan semua manusia. Persoalannya adalah kebanyakan kita sudah dibentuk oleh cara berfikir yang menganggap hanya orang yang tergolong normal, juga dalam ukuran tinggi dan bentuk tubuh, yang bisa dan layak mengusahakan dan mendapatkan prestasi tinggi. Inilah kesalahan berfikir yang telah terlanjur berkembang di mana-mana, di seluruh dunia.

Namun, sejumlah penjelasan dapat diberikan untuk mengurai mengapa hal itu bisa terjadi. Tentu saja penjelasan ini sangat tentatif dan hipotetik.

Bila mengikuti pendekatan psikologi dalam atau psikoanalisis dari Sigmud Freud, boleh jadi ada dorongan bawah sadar untuk menunjukkan dan membuktikan diri bahwa aku bukan saja bisa menyamai, bahkan mampu melampaui orang yang dikatakan lebih tinggi dan lebih besar dari aku.  Bila sejarah hidup Napoleon kita cermati, dorongan ini sangat kuat.

Sebenarnya dorongan bawah sadar seperti ini dialami oleh siapa pun, tanpa terkecuali. Tetapi bagi orang kecil sungguh bisa menjadi pemicu dan pemacu yang luar biasa.  Mengapa?
Bila menggunakan penjelasan kaum behavioris pastilah karena pengaruh lingkungan sosial, yaitu keluarga, masyarakat, dan sekolah. Kerap orang kecil, dan orang yang dianggap berbeda  dari orang pada umumnya, mendapat beragam sikap dari sekadar ngeledek, melecehka, sampai menghina dari lingkungan sosial. Ada yang sangat terganggu secara negatif dan menjaga jarak dari lingkungan sosial. Ada pula yang justru menjadikan sikap negatif dari lingkungan sosial itu sebagai daya dorong luar biasa untuk melampaui mereka yang melecehkan. Biasanya keluarga pun ikut membantu melawan sikap negatif itu dengan memberikan dorongan untuk menjadi lebih. Maradona dan Messi mengalami ini pada masa kecilnya.

Bila kaum behavioris  menekankan dorongan eksternal yang lebih menentukan, kaum humanis bersebalikan dengan itu. Kaum humanis meyakini, dorongan untuk mengaktualisasikan diri lebih bersifat internal. Datang dari orang itu sendiri.

Sudah barang tentu banyak penjelasan lain bisa ditambahkan. Namun, secara filosofis akarnya adalah karakter dasar manusia sebagai makhluk transendensi. Bahwa manusia memiliki potensi dan dorongan kuat untuk mengatasi semua kekurangan dan hambatan yang melekat atau bersifat inheren dalam kemanusiaannya.

Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya, bisa mengambil jarak dari diri sendiri melalui refleksi mendalam, bahkan mampu mengeritik diri sendiri. Bila kaum eksistensialis menegaskan manusia adalah makhluk yang menjadi atau becoming, terus menerus mencari dan merumuskan makna keberadaanya tanpa henti. Kaum humanis dan spiritualis lebih percaya bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk transenden yang selalu mampu memicu diri sendiri untuk melampaui kemanusiaanya. Karena itu

MANUSIA HARUS MEMICU DIRINYA MENCAPAI YANG TERBAIK DAN TIDAK PERNAH MENYERAH PADA KETERBATASANNYA SEBAGAI MANUSIA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd