Pemaksaan kehendak merupakan salah satu karakteristik rezim otoriter kapan dan di mana pun. Pada zaman kuno di Mesir, pemaksaan kehendak ditunjukkan Firaun, dan pada era moderen, dengan sangat mengerikan ditampilkan antara lain oleh Hitler. Pemaksaan kehendak selalu berujung tragis. Karena menyebabkan kematian manusia, bukan saja dalam jumlah besar, juga dengan cara yang sadis dan keji.
Rezim Orde Baru di bawah komando Jenderal Besar Suharto adalah pemerintahan otoriter yang sangat kerap memaksakan kehendak. Bahkan sejak kemunculan sampai kejatuhannya. Pastilah korban yang tewas selalu ada. Pada awal berdiri, korbannya diperkirakan jutaan rakyat tak bersalah. Paling tidak itulah yang dicatat Komnas HAM
KOMPAS. com (14 November 2014) memberitakan ,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan mempublikasikan 7 dokumen ringkasan eksekutif hasil penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM berat kepada masyarakat. Hal tersebut dimaksudkan agar masyarakat bisa memahami pentingnya proses penyelesaian pelanggaran HAM berat.
Ringkasan eksekutif yang akan dipublikasikan itu meliputi, dokumen penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM berat tahun 1965, peristiwa Talangsari, Lampung, peristiwa penghilangan orang secara paksa, peristiwa Trisakti-Semanggi 1, peristiwa Trisakti-Semanggi 2, peristiwa Petrus, dan Peristiwa Wasior Wamena, Papua.
Secara jelas berita di atas menyebut pelanggaran HAM berat dimaksud. Pelanggaran HAM berat tahun 1965 adalah saat rezim Orde Baru muncul dengan peristiwa pembantaian rakyat secara massal dan mengerikan karena dituding sebagai pendukung ideologi komunis. Pastilah pembantian massal tersebut tanpa proses pengadilan sama sekali. Itulah sebabnya ada yang menyebut Orde Baru sebagai kekuatan yang muncul dari danau darah rakyat, dari tumpukan bangkai rakyat Indonesia yang dibantai secara sangat sadis.
Sejak berdiri sampai keruntuhannya, Orde Baru memang terus saja memaksakan kehendak dengan pola yang konsisten yaitu intimidasi dan rekayasa. Menggunakan kekuatan tentara sebagai andalan utama.
Peristiwa Trisakti-Semanggi 1& 2 merupakan pelanggaran HAM berat pada masa akhir atau kejatuhan Orde Baru. Lagi-lagi terdapat korban jiwa yang terdiri dari rakyat, mahasiswa dan aparat. Orde Baru mulai dan berakhir dengan pembantaian, darah, dan mayat. Rakyatlah yang menjadi korban.
Boleh jadi ada niat baik pada mulanya. Namun dilaksanakan dengan pemaksaan kehendak. Kesudahannya adalah pembantaian. Rakyat dengan semena-mena dibantai.
Bertolak dari keprihatinan terhadap kondisi hidup bernegara dan berbagsa yang sangat tidak stabil, diramaikan gontok-gontokkan yang tak kenal henti dan tidak berjalanannya pembangunan dalam situasi multipartai pada zaman Orde Lama. Orde Baru melakukan modernisasi politik dengan memaksa partai politik bersatu dalam wadah yang ditentukan secara paksa yaitu partai-partai nasionalis dan Kristen dan Khatolik dalam Partai Demokrasi Indonesia, partai-partai Islam dalam Partai Persatuan Pembangunan. Serta dikumpulkannya beragam kekuatan pendukung Orde Baru dalam Golongan Karya.
Melalui rekayasa pemilu yang penuh intimidasi dan politik uang, Golkar terus menerus menjadi pemenang pemilu dan Suharto terus berkuasa lebih dari tiga puluh tahun. Selama menjalankan kekuasaan inilah terjadi pelanggaran HAM berat lagi yaitu kasus Talangsari dan petrus atau penembakan misterius terhadap sejumlah besar orang yang dikategorikan preman dan residivis.
Pembantaian Talangsari dan Tanjung Priok juga merupakan akibat langsung dari pemaksaan kehendak. Merasa berhasil membonsai partai politik. Suharto dan pendukung utamanya Golkar, juga tentara melanjutkan pemaksaan kehendak yaitu memaksakan azas tunggal Pancasila bagi partai politik dan semua organisasi masyarakat. Tentu saja penggunaan Pancasila merupakan akal-akalan untuk dengan mudah menuduh pihak yang kritis, tidak setuju dan menolak sebagai anti dan musuh Pancasila. Dengan demikian ada alasan kuat untuk melakukan pembantaian.
Terkait dengan kasus pembantaian Talangsari yang pelakunya masih hidup, inilah hasil penelusuran Kontras.
Peristiwa Talangsari adalah salah satu dari sekian tragedi kemanusiaan yang terjadi selama pemerintah Orde Baru berkuasa. Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila yang termanifetasi dalam UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya serta UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Atas dasar tersebut pemerintah tidak akan mentolelir setiap aktivitas yang dianggap bertentangan dan membahayakan Pancasila.
Pemerintah melalui aparat setempat baik sipil maupun militer mulai mencurigai dan melontarkan berbagai stigma terhadap aktivitas Jema’ah yang tinggal di dusun Talangsari III Desa Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara Kabutapen Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Situasi menjadi tidak menentu setelah pemerintah lebih mengedepankan pendekatan represif. Berturut-turut pada tanggal 5 Februari 1989 terjadi penculikan terhadap 5 orang jema’ah yang sedang meronda di Pos Kamling. Kemudian Tanggal 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kampung (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) menyerang dusun Talangsari III tanpa didahului proses dialog. Kapten Soetiman melakukan penembakan membabibuta terhadap jema’ah dan setelah kehabisan peluru, jema’ah yang tadinya bertahan balik menyerang hingga akhirnya menewaskan Kapten Soetiman.
Kemudian pada tanggal 7 Februari 1989 terjadi penyerbuan oleh pasukan yang dipimpin Kolonel AM Hendropriyono (Danrem Garuda Hitam Lampung). Dampak dari penyerangan tersebut banyak jatuh korban diantarnya pembunuhan langsung 45 orang, penculikan 5 orang, penghilangan paksa 88 orang, penyiksaan 36 orang, peradilan rekayasa 23 orang, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang 173 orang. Hampir seluruh rumah beserta perabotannya didusun tersebut habis dibakar oleh ABRI. Setelah peristiwa itu, digelar peradilan untuk mengadili para jama;ah yang tertangkap dan ditahan. Peradilan diantarnya digelar di Tanjung Karang Lampung, Jakarta, Jawa Tengah dan Lombok Nusa Tenggara Barat. Rata-rata Jema’ah ditahan di Tahanan Kodim Metro Lampung, Korem Garuda 043 Garuda Hitam Bandar Lampung, LP Rajabasa, Kodam Diponegoro, Nusakambangan dan tempat-tempat lainnya. Hukuman tertinggi adalah seumur hidup dan sejak reformasi bergulir 1998 seluruh tahanan sudah dibebaskan.
Bukan hanya kasus Talangsari, kasus Tanjung Priok juga merupakan bagian dari penolakan terhadap azas tunggal Pancasila. Inilah laporan Komnas HAM tentang kasus Tanjung Priok.
Pemastian jumlah korban pembunuhan secara kilat sebanyak 24 orang dilakukan dengan penggalian kuburan, pemeriksaan dokumen RSPAD Gatot Subroto dan usaha mencari saksi-saksi tambahan.
2. Tentang nama para pelaku dan penanggungjawab yang diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Pelaku atas seluruh pelanggaran tersebut di atas bisa dilihat dalam tiga kategori.
Pertama adalah pelaku di lapangan yang menggunakan kekerasan yang berlebihan sehingga jatuh korban meninggal dan luka-luka. Mereka yang melakukan penyiksaan kepada korban yang masih hidup.
Kedua adalah penanggung jawab komando operasional yaitu komandan yang membawahi teritorial di tingkat Kodim dan Polres tidak mampu mengantisipasi keadaan dan mengendalikan pasukan sehingga terjadi tindakan summary killing, tindakan penyiksaan dan terlibat aktif dalam penghilangan barang bukti dan identitas korban serta membiarkan terjadinya penyiksaan-penyiksaan dalam tahanan, dan memerintahkan penguburan tanpa prosedur resmi.
Ketiga adalah para pemegang komando yang tidak mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia dan atau memerintahkan secara langsung satu tindakan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut.
Temuan dan keterangan Kontras dan Komnas HAM tentang kasus pembantaian Talangsari dan Tanjung Priok di atas dengan jelas tegas menunjukkan bagaimana pemaksaan kehendak mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM berat dan rakyat sebagai korban pembantaian. Sudah pasti, setiap pemaksaan kehendak akhirnya mengorbankan rakyat.
Pemaksaan kehendak sangat bertentangan dengan pemahaman empatis. Pemaksaan kehendak sama sekali tidak menghargai dan mengabaikan pihak lain. Manusia secara sederhana dikategorikan dalam kategori orang kita dan bukan orang kita. Bukan orang kita boleh dan biasa dikorbankan.
Bertentangan dengan itu, pemahaman empatis justru berupaya keras untuk memahami dari sudut pandang dan penghayatan orang lain. Pemahaman empatis mengharuskan kita mengikis kekentalan dan kekakuan ego. Pemaksaan kehendak justru mengeraskan dan membekukan ego. Pemaksaan kehendak berprinsip, di luar diriku, di luar kekitaan, yang ada hanyalah kekacauan, musuh dan iblis yang harus dan halal dibantai.
BILA PEMAHAMAN EMPATIS SIRNA, PEMBANTAIAN MANUSIA MENJADI NISCAYA.
Haryani
BalasHapus4915141015
Pendidikan IPS A 2014
Saya setuju denga tulisan bapak. Dari banyak kasus pelanggaran HAM diatas terjadi karena banyak sebab mulai dari aparat hukum yang lemah dan sikap otoriter para pemimpin. Sikap yang dimiliki sang pemimpin akan sangat berpengaruh pada keadaan rakyatnya.
Pelanggaran HAM terjadi juga karena tidak adanya sikap empati masyarakat. Seandainya saja satu orang mempunyai sikap empati, pasti mereka akan membantu agar pelanggaran tersebut tidak terjadi.
Pelanggaran HAM menurut saya pelanggaran yang sangat berat. Hak-hak manusia yang didapatkan sejak lahir terenggut, dan pada umumnya dengan alasan yang tidak logis.