Minggu, 14 Desember 2014

HUKUM CAMBUK DI PESANTREN


Sejatinya, pendidikan adalah upaya terencana, terstruktur, terukur dan sistematis yang bertujuan mendorong, mengusahakan, menumbuhkembangkan manusia menjadi lebih baik dalam semua dimensi kemanusiaannya. Kata kuncinya adalah perubahan. Perubahan positif ke arah yang semakin baik, semakin cerdas, semakin matang dan dewasa.

Pendidikan karena itu berkutat dengan hal-hal yang fundamental dan substansial terkait dengan tumbuh kembang manusia. Fundamental bermakna dasar pijak, fondamen yaitu landasan kokoh yang menjadi titik awal, soko guru yang menopang keberadaan dan kebertahanan manusia. Bentuknya bisa berupa pandangan filosofis, ideologi, keyakinan iman, dan paradigma.

Dalam konteks keindonesiaan bermakna bagaimana menumbuhkembangkan manusia Indonesia berdasarkan ideologi negara yaitu Pancasila. Maknanya tumbuh kembang manusia Indonesia harus dilandasai iman sebagaimana yang digariskan pada sila pertama, berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab yang termaktub pada sila kedua, membiasakan pembelajar untuk dapat hidup damai dan saling menghargai dalam perbedaan seperti yang ditetapkan dalam sila ketiga, membiasakan untuk bermusyawarah dan bermufakat dalam semangat demokrasi sesuai dengan sila keempat, dan mengembangkan kecerdasan sosial untuk dapat hidup secara bermakna dan fungsional dalam semangat keadilan mengikuti petunjuk sila kelima.

Tentu saja apa yang dikedepankan di atas baru bersifat global atau garis besar yang dalam praktik nyata harus dirinci menjadi serangkaian tindakan pendidikan yang dapat mengarahkan pertumbuhan generasi muda Indonesia. Pemerincian tersebutlah yang kemudian melandasi proses pembelajaran yang terjadi sehari-hari.

Artinya proses pembelajaran itu harus mengejawantahkan secara nyata bagaimana murid sebagai manusia diperlakukan secara berartabat dan adil. Bermartabat bermakna ia dihormati karena ia adalah manusia makhluk Tuhan yang memiliki hak-hak dasar yang harus diperhatikan dan dipenuhi. Ia harus merasakan kesetaraan dengan sesama, dihormati kelebihannya dan dimengerti semua kekurangannya sebagaimana kita semua yang juga memiliki kekurangan.

Bila ia melakukan kekhilafan dan kesalahan, ia harus mendapatkan pencerahan dan pengarahan agar bisa memperbaikinya. Karena memang begitulah proses belajar itu seharusnya. Bukankah kita semua pernah dan selalu berbuat salah. Kita bisa belajar dari kesalahan yang kita atau orang lain perbuat. Dalam pendidikan, kesalahan harus difahami sebagai bagian dari upaya untuk terus mencari yang lebih baik dalam rentang pertumbuhan yang memang tidak selalu mudah dan mulus. Ada saja lubang yang membuat banyak murid jatuh terjerembab.

Bertalian dengan pencerahan dan pengarahan bagi mereka yang membuat kesalahan, perlu dikembangkan kiat-kiat khusus yang memungkinkan para murid menemukan dan mengakui kesalahan yang diperbuatnya. Sekaligus solusi dan hukuman yang adil dan pantas sesuai tingkat kesalahannya.

Membangun kesadaran sendiri atas kesalahan yang diperbuat dan menentukan sendiri hukuman, rasanya akan memampukan para murid untuk menajamhaluskan hatinya, otak emosinya. Dengan demikian ia bisa merasakan kesalahan sebagai sesuatu yang meski sangat manusiawi tetapi bisa dicegah dan dihindari.

Dalam pendidikan, hukuman adalah lazim. Sebagimana pujian dan hadiah, hukuman akan sangat efektif dan memberikan efek positif jika diberikan dengan adik, tepat dan bertujuan untuk memperbaiki, tanpa menimbulkan luka. Terutama luka hati.

Dalam soal luka inilah kita mesti sangat hati-hati. Luka, di tubuh atau di hati dan sistem otak pasti akan tinggalkan bekas. Bekas luka, terutama dalam sistem otak bisa memengaruhi secara bermakna perjalanan murid menyusuri masa depan. Tentu saja lebih banyak pengaruh buruk.

Meskipun ada segelintir murid, dan manusia pada umumnya, yang justru dapat semakin kuat karena luka dan tragedi. Proses pengasuhan dan pendidikan seharusnya tidak  membuat luka pada murid.

Itulah sebabnya kekerasan seharusnya diharamkan dalam pengasuhan dan pendidikan. Kekerasan dalam segala bentuknya yaitu psikis, verbal dan fisik. Sejarah kemanusiaan yang sangat panjang membuktikan, kekerasan hanya melahirkan kekerasan, beranak cucu cicit kekerasan. Bahkan kekerasan yang lebih dan semakin parah serta mengerikan.

Kekerasan bukan saja menggoreskan luka, juga membuahkan dendam. Dendam kesumat yang mendorong keinginan kuat untuk membalas. Dalam proses pendidikan, balas membalas itu tidak atau kurang mungkin ke atas, pada senior atau guru yang melakukan kekerasan. Para junior atau adik kelaslah yang jadi sasaran.

Tidak usah bingung melihat siklus kekerasan yang berulang-ulang secara berantai di sejumlah lembag pendidikan yang mempraktikkan kekerasan. Sampai menewasakan peserta didik. Aturan formal dan pendisiplinan tak berdaya dan tak berfungsi mengatasi kekerasan ini. Sebab kekerasan telah menjadi kebiasaan dan tradisi serta dihayati sebagai kenormalan, bahkan keniscayaan sebagai syarat agar dapat diterima dalam kebersamaan. Sungguh jadi sama persis dengan gerombolan preman jalanan yang mengikuti hukum rimba.

Dalam kaitan inilah kita merasa sangat kaget kala mengetahui ada pesantren, lembaga pendidikan berbasis agama, mempraktikkan hukum cambuk bagi santrinya. Sungguh, ini tindakan yang sangat keji dan menjijikkan, apapun alasan dan tujuannya.

Lebih mengerikan dan menjijikkan lagi karena hukum cambuk itu dilakukan di depan para santi yang lain. Bila para pengelola pondok ingin menerapkan hukum Islam dalam perspektif mereka, rasanya hukum Islam yang sesungguhnya pun tidak seperti itu.

Penerapan hukum, pun hukum yang berasal dari Tuhan, harus memenuhi sejumlah persyaratan pendukung. Juga memperhatikan serangkaian prosedur yang harus diikuti. Tidak seenaknya saja diterapkan. Apalagi dalam lembaga pendidikan bagi anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Anak-anak itu tidak bisa dan tidak boleh diperlakukan layaknya para kriminal bila melanggar aturan, tatatertib dan etika lembaga pendidikan. Mereka harus dikenakan hukuman disiplin yang mendidik, bukan penyiksaan fisik layaknya pelaku kriminal jalanan.

Apalagi dalam lembaga pesantren yang mengharuskan para santri tinggal di asrama. Berbagai kesalahan dan pelanggaran, apalagi pelanggaran berat, harus dilihat secara objektif dan adil. Dalam arti, para pengasuh dan guru juga harus dikaitkan dengan kesalahan yang terjadi karena mereka berfungsi sebagai pengganti orang tua yang tidak dapat hadir secara fisik. Kita layak mempertanyakan, apakah mereka sungguh sudah melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasan dengan benar. Bisa jadi, kesalahan atau pelanggaran berat yang terjadi berakar pada ketidakmampuan para pengasuh dan guru melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasan. Karena itu mestinya yang pertama dicambuk adalah mereka, bukan santri.

Hukum cambuk dalam lembaga dan proses pendidikan bagi anak yang sedang tumbuh adalah pelanggran berat. Karena itu pihak terkait yang memiliki wewenang harus melakukan penyidikan dan menjatuhkan hukuman bagi pengelola, pengasuh dan para gurunya. Sama sekali tidak adil bila kasus ini dibiarkan berlalu begitu saja. Bukankah telah banyak guru dan kepala sekolah yang dihukum berat karena melakukan kekerasan pada para murid. Meski kekerasan yang mereka lakukan pada murid tidak sesadis hukum cambuk di pesantren ini.

Hukuman berat bagi pengelola dan pengasuh pesantren harus dilakukan sebagai upaya untuk mencegah agar tidak terjadi lagi, kapan dan di mana pun. Bila tak ada tindakan bagi mereka, jangan kaget jika kejadian mengerikan ini akan terulang lagi pada masa depan.

PENDIDIKAN YANG MEMPRAKTIKKAN KEKERASAN BAGI ANAK DIDIK, MERUPAKAN PREMAN JALANAN YANG DIATUR OLEH HUKUM RIMBA, BUKAN PENDIDIKAN SEJATI.

1 komentar:

  1. Khairun Nikmal Baiti
    4915144082
    P.IPS B 2014

    Assalamu’alaikum wr. wb.
    Sebagian anak mungkin dengan adanya hukuman akan menyadari kesalahan mereka dan tidak akan mengulanginya atau sudah kapok. Rasulullah pun membolehkan hukuman bagi anak yang tidak mengerjakan sholat ketika sudah baligh dan hanya boleh memukul bagian dubur. Tetapi akan menjadi suatu kesalahan jika telah menghukum anak melewati batas.
    Sungguh miris mendengar pesantren yang seharusnya mencetak generasi yang sholeh malah mencetak generasi preman. Hanya karena sebuah didikan yang salah seperti mencambuk anak ketika salah. Akhirnya menimbulkan dendam yang terbawa ke lingkungan luar.
    Masih sedikit pesantren-pesantren di Indonesia yang mendidik muridnya dengan ilmu psikologi, bukan hanya ilmu nenek moyang turun temurun saja. Pendidikan karakter sangatlah perlu. Ini yang seharusnya menjadi perhatian umat islam. Apakah akan terus membiarkan generasi muslim menjadi generasi yang pendendam?
    Wassalamu’alaikum wr. wb.

    BalasHapus

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd