Senin, 08 Desember 2014

KADER GERINDRA TERTANGKAP TANGAN KPK

Partai politik, politisi dan korupsi tampaknya memang akrab, melekat erat. Kini giliran kader Partai Gerindra, kader utama dan unggulan di Madura tertangkap tangan oleh KPK. Pastilah dalam kasus korupsi.

Tentu saja penangkapan ini merupakan pukulan bagi partai yang pentolannya kalah dalam pilpres lalu. Mereka kini tak lagi bisa bilang bahwa partainya bersih. Ada tersangka korupsi di dalamnya.

Penangkapan ini dan penangkapan kader Partai Golkar mantan Bupati Indramayu yang merupakan pendukung Aburuzal Bakrie, menunjuktegaskan bahwa korupsi adalah bagian penting dari hidup para politisi. Tidak salah bila ada yang berfikir bahwa KPK tidak akan pernah berhenti menangkapi mereka. Hanya soal waktu saja.

Meskipun sudah banyak yang menjadi korban tangkap tangan, para politisi itu sama sekali tidak jera dan terus saja melakukannya. Barangkali korupsi itu sudah dihayati sebagai tindakan yang seharusnya dilakukan, mumpung sedang punya kuasa dan bisa ikut menentukan.

Itulah sebabnya para politisi merupakan yang terbanyak berurusan dengan aparat dalam kasus korupsi. Dari tingkat paling bawah sampai paling atas. Media mencatat hal ini, seperti tertera di bawah ini,

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di semester pertama tahun 2010 ini Indonesian Coruption Watch (ICW) mencatat sudah sebanyak 176 kasus korupsi yang ditangani institusi penegak hukum.

ICW juga mencatat sudah sebanyak 441 orang yang ditetapkan menjadi tersangka. Jumlah tersangka ini meningkat dari tahun 2009 di semester yang sama yang hanya sebanyak 217 tersangka. Data ini diungkapkan ICW dalam jumpa pers di kantornya Kalibata Jakarta, Rabu (4/8/2010).

Dari sebanyak 441 orang tersangka, rupanya jumlah terbesar adalah anggota legislatif baik di tingkat DPR maumpun DPRD.

Jumlah koruptor terbesar berasal dari kalangan anggota DPR RI, maupun DPRD, dimana diposisi kedua diduduki oleh aparat pejabat menengah pemerintah daerah, dan pihak swasta di posisi ke tiga.(4.Agustus.2010)

Dari berbagai kasus korupsi yang ditangani KPK, Kejaksaan dan Polisi tampaknya polanya sama dan tetap. Politisi melakukan korupsi bersama pejabat dan pengusaha. Itulah sebabnya peringkatnya juga berdekatan dan sama-sama tinggi yaitu pertama, kedua dan ketiga. Ketiganya juara korupsi.

Rupanya Kebanyakan politisi ini memang tidak mau tahu dan tidak punya malu. Meski sudah terjerat korupsi, mereka masih saja berusaha untuk mendapatkan kuasa, biasanya dengan segala macam cara, menjadi anggota legislatif lagi. ICW mencatat,

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis bahwa sebanyak 48 calon anggota legislatif 2014-2019 terpilih tersangkut perkara korupsi.

Dari 48 orang yang tersangkut korupsi, sebanyak 26 orang akan menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten/Kotamadya, 17 orang akan menjadi anggota DPRD Provinsi, dan lima orang akan dilantik sebagai anggota DPR RI.

Sedangkan berdasarkan status hukum, sebanyak 32 orang berstatus tersangka korupsi, 15 orang terdakwa dan satu orang merupakan terpidana.

"Mereka ini bukan hanya wakil rakyat, tapi juga penentu proses kebijakan-kebijakan publik. Kalau masih dipaksakan dilantik, ini akan bahaya bagi masyarakat," kata Koordinator ICW Ade Irawan dalam jumpa pers "Awas Legislatif Ditempati Koruptor!" di kantor ICW, Jakarta, Senin (15/9/2014), seperti dikutip Antara.(15 September 2014)

Betapa mengerikan. Dalam status bermasalah, tersangkut kasus hukum, mereka maju terus pantang mundur. Rasa malu, etika, dan moralitas sudah tak dihiraukan sama sekali. Apa yang bisa diharapkan dari orang-orang kayak gini?

Itu berarti penangkapan Fuad Amin kader Partai Gerindra dan Yance kader Golkar yang pernah maju jadi calon Gubernur Jawa Barat adalah bagian kecik saja dari korupsi kekuasaan. Sebelumnya kader Partai Demokrat yaitu Sutan Bhatoegana dan Jero Wacik yang sedang dalam jabatan aktif sudah ditetapkan jadi tersangka.

Biasanya partai melakukan cuci tangan dengan memecat kadernya yang terjeratsangkut kasus korupsi atau ngotot menjelaskan bahwa korupsi itu adalah urusan pribadi kader. Tidak ada hubungannya dengan partai. Apa iya?

Nazaruddin yang dijadikan tersangka semasa masih menjabat Bendahara Partai Demokrat dan kini sudah divonis, membuktikan sebaliknya. Ia membuka "kotak pandora" Partai Demokrat. Keberaniannya itu berbuah manis bagi pemberantasan korupsi dan menunjukkan jati diri Partai Demokrat. Menyusul Nazaruddin, sejumlah besar kader utama demokrat masuk penjara karena korupsi.

Para politisi yang kini jadi terdakwa semestinya meneladani keberanian si "Burung Nazar" menyanyi dan mematuk para koruptor lain yang melakukan korupsi bukan hanya untuk diri sendiri. Dengan demikian korupsi bisa diperangi sampai tuntas.

Para politisi yang kecokot biasanya memang ngotot tidak mau melibatkan partainya. Karena berharap jika bebas masih bisa mendapat balas budi dari partai. Mungkin kasus Nurdin Halid akan lebih banyak  diteladani para politisi. Kader Golkar ini divonis bersalah dalam kasus korupsi. Ia bebas dan tetap mendapat tempat bahkan kemarin dipilih menjadi ketua penyelenggara Munas Golkar. Rasanya Aburizal Bakrie berkeyakinan bahwa Nurdin akan lakukan apapun bagi kemenangannya. Terbukti dari rekaman suara mirip Nurdin yang menyatakan berbuat licik untuk kemenangan itu tidak mengapa. Pernah dihukum dalam kasus korupsi dan masuk penjara rupanya tidak membuat dirinya kapok.

Rasanya kengototan Golkar dan Gerindra untuk memperjuangkan pemilu kepala daerah lewat DPRD ada kaitannya dengan tindak korupsi ini. Paling tidak ada tiga alasan mengapa mereka ngotot.

Pertama, mereka trauma dengan pilihan langsung. Karena pemilihan langsung oleh rakyat tidak memberikan kemenangan kepada mereka, meski mereka sudah melakukan segala-galanya untuk menang. Tampaknya kekalahan dalam pilpres kemarin telah mengubah mereka menjadi penderita trauma dan jangan-jangan sudah berubah menjadi pengecut berhadapan langsung dengan rakyat.

Kedua, sulit rasanya menang jika kadernya terjerat kasus korupsi. Partai mungkin toleran bagi kadernya yang sedang dan pernah terlibat kasus korupsi. Contohnya Ketua Gerindra Jakarta dan Nurdin Halid dipelihara dan diberi tempat terhormat. Meski keduanya pernah masuk penjara karena korupsi. Rakyat belum tentu setoleran itu. Kebanyakan masyarakat sangat anti pada korupsi dan koruptor. Karena itulah mereka menolak pilihan langsung oleh rakyat.

Ketiga, dari cara pemenangan Aburizal Bakrie pada Munas Golkar, sudah bisa diperkirakan skenario mereka untuk memenangkan kepala daerah dengan pilihan tidak langsung. Apapun boleh dilakukan untuk mencapai kemenangan. Pastilah lebih mudah mengatur dan mengintimidasi anggota DPRD yang jumlahnya sedikit. Mana mungkin mereka bisa menggunakan cari itu menghadapi rakyat banyak yang makin cerdas dan berani.

Kita memang harus terus mewaspadai dan melawan bahaya laten orde baru. Sebuah rezim yang berkuasa dengan cara menghalalkan segala cara, terutama menindas rakyat.  Rasanya kita semua tahu siapa itu pentolan partai yang menolak pilihan langsung oleh rakyat.

CARA DAN GAYA ORDE BARU TAMPAKNYA KINI HENDAK DIGUNAKAN LAGI UNTUK MENDAPATKAN KEKUASAAN, WASPADALAH!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd