(Sebentuk Penghormatan kepada Prof. Dr. Conny R. Semiawan)
Ini terjadi pada zaman Orde Baru, sebuah rezim otoriter yang anti demokrasi dan sangat gampang memecat, menangkap dan menghilangkan orang. Di ITB aktivis mahasiswa dipecat rektor karena memprotes kehadiran pejabat Orde Baru ke kampus dan mengeritik sejumlah kebijakan rektor.
Sebagai respon dukungan kepada para aktivis ITB yang dipecat, para aktivis mahasiswa IKIP Jakarta menggelar aksi Rawamangun Berkabung. Saat itu Rektor IKIP Jakarta adalah Prof. Dr. Conny R. Semiawan.
Disiapkan panggung dengan spanduk bertuliskan Rawamangun Berkabung, serta dibuat replika sepatu lars tentara dalam ukuran besar. Terjadi ketegangan saat sebelum aksi dilakukan. Maklumlah saat itu di kampus banyak sekali intel atau mata-mata, sehingga rencana aksi sudah bocor sebelum dilaksanakan.
Pimpinan IKIP Jakarta mendapat tekanan luar biasa dari militer untuk tidak mengijinkan aksi tersebut. Para aktivis kemudian berdialog dengan rektor agar aksi tetap bisa dilaksanakan. Prof. Dr. Conny R. Semiawan tetap setuju aksi dilaksanakan dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi aktivis.
Persyaratan yang diajukan rektor pada waktu itu dimaksudkan agar setelah aksi tidak ada aktivis yang ditangkapi militer. Sebab penguasa militer ibu kota telah meminta izin pada rektor untuk "meminjan" sebelas aktivis penyelanggara aksi dan seorang dosen.
Prof. Dr. Conny R. Semiawan merisikokan diri dan jabatannya sebagai jaminan bagi aktivis dan dosen yang akan "dipinjam" militer. Beliau menolak permintaan itu. Beliau sungguh bertindak sebagai Ibu yang melindungi anak-anaknya, apapun risikonya. Bukankah kampus itu adalah alma mater, ibu asuh bagi anak-anaknya!
Mengapa penguasa militer ikut serta? Itulah gaya Orde Baru. Semua aktivitas yang dianggap bisa membahayakan stabilitas harus "dibersihkan" oleh militer. Militer ikutan karena aksi yang dilakukan para aktivis tidak ditujukan untuk memerotes kebijakan rektor. Tetapi mempersoalkan kebijakan pemerintahan Orde Baru.
Saat itu di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Semiawan, semua kebijakan yang menyangkut publik secara terbuka didiskusikan dengan mahasiswa, dosen dan pegawai dalam pertemuan terbuka yang diselenggarakan dari fakultas ke fakultas. Semua civitas akademika, terutama mahasiswa diberi ruang untuk memberi masukan, kritik bahkan ketidaksetujuan. Tak ada hukuman apapun bagi mahasiswa yang mengeritik dan tidak setuju pada kebijakan pimpinan IKIP Jakarta.
Kala itu IKIP Jakarta adalah IKIP Pembina, artinya IKIP yang menjadi panutan bagi IKIP se Infonesia. Karena itu kebebasan akademik dan demokrasi kampus harus ditunjuktegaskan sebagai teladan.
Ketika aksi berlangsung banyak mahasiswa yang terlibat. Sebagian berasal dari luar IKIP Jakara. Rektor ikut berorasi. Pesannya agar mahasiswa tetap kritis tetapi tidak anarkis. Kepada pemerintah Beliau meminta menghormati otonomi kampus dan memberi ruang bagi kebebasan berpendapat. Aksi berjalan damai sampai selesai.
Sorenya radio BBC London dan radio Australia memberitakan aksi itu. Ada cuplikan pidato mahasiswa yang secara tajam mengeritik penguasa Orde Baru dan seruan pada masyarakat untuk memulai perubahan mendasar pemerintahan. Besok pagi di Kompas ada foto aksi dengan sedikit keterangan di bawah foto. Bisa masuk dalam harian Kompas dengan cara itu sangat luar biasa. Karena pada waktu itu Orde Baru melakukan sensor berita yang sangat ketat.
Hari-hari berikutnya adalah hari-hari penuh tekanan dan teror bagi Rektor IKIP Jakarta dan para aktivis yang menyelenggarakan aksi oleh pengendali keamanan. Para aktivis harus pindah-pindah tempat setiap hari. Keluarga para aktivis, bahkan yang di kampung nun jauh dari Jakarta, juga diganggu.
Untuk waktu yang panjang, IKIP Jakarta "dikepung" tentara yang berseragam dan berpakaian sipil. Semua kegiatan, termasuk demo masak mahasiswa PKK, juga diawasi. Kampus jadi tidak nyaman. Mahasiswa dipecah belah. Unit mahasiswa tertentu sampai berani membubarkan rapat unit mahasiswa yang lain karena dukungan militer. Bagusnya Rektor UNJ tetap konsisten membela dan melindungi para aktivis. Beliau sampai dipanggil ke pusat kekuasaan dan mendapat peringatan sangat keras.
Kala itu para aktivis IKIP Jakarta memang sibuk dan fokus membela aspirasi rakyat melawan kezaliman rezim Orde Baru. Mereka membela kaum miskin yang diusir dari Tanah Merah Jakarta Utara dengan paksa dan kejam, membela rakyat Kedung Ombo yang dipaksa meninggalkan kampung halamannya untuk pembangunan waduk. Perlawanan terhadap rezim otoriter itu tentu sangat berisiko. Tri Agus seorang aktivis IKIP Jakarta sampai masuk penjara karena dituduh mencemarkan nama baik dan menghina Presiden Suharto. Padahal saat itu Tri Agus dan kawan-kawan melakukan aksi kritis terhadap kebijakan Pemerintah Orde Baru.
Berbagai aktivitas perlawanan yang digerakkan oleh aktivis kampus IKIP Jakarta membuat kampus sering dijaga oleh militer. Begitulah kondisinya saat Majalah Tempo dibredel Orde Baru, aktivis IKIP Jakarta berani mengundang pemimpin redaksinya yaitu Goenawan Mohammad ke IKIP Jakarta sebagai bentuk dukungan pada Majalah Tempo. Tentu saja akibatnya kampus lagi-lagi dikepung tentara dan para akitivis terus diteror. Namun, tak ada upaya dari Prof. Dr. Conny R. Semiawan sebagai rektor untuk memecat mahasiswa meski Beliau terus-menerus berada dalam tekanan dan intimidasi agar melakukan pemecatan terhadap para aktivis IKIP Jakarta yang dikenal sangat kritis terhadap rezim Orde Baru yang otoriter.
Prof. Dr. Conny R. Semiawan bahkan mengundang Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Soedomo untuk berdialog dengan mahasiswa di IKIP Jakarta. Serunya para aktivis saat itu berani mengeritik Soedomo dan Pemerintah Orde Baru secara terbuka.
IKIP Jakarta kemudian mendapat pengawasan ketat. Begitu ketatnya pengawasan terhadap para aktivis kampus IKIP Jakarta, sampai-sampai komandan satpam dipegang oleh seorang perwira tinggi Marinir aktif. Namun, para aktivis tidak menjadi takut dan kehilangan daya kritis. Itulah sebabnya mengapa IKIP Jakarta menjadi tempat pertemuan rutin para aktivis kampus dari seluruh Indonesia.
Mengikuti jejak para pendahulunya, para aktivis Universitas Negeri Jakarta ( UNJ) yang merupakan metamorfosis dari IKIP Jakarta, terus memperjuangan aspirasi rakyat Indonesia. Rasanya mereka juga tidak pernah khawatir dengan risiko apapun. Maju terus, apapun risikonya.
Kini Rawamangun Berkabung (lagi). Kita terkaget-kaget saat mendengar kabar aktivis UNJ yang merupakan Ketua BEM dipecat karena bersikap kritis terhadap kebijakan pimpinan UNJ. Apalagi dalam surat keputusan pemecatan itu disebutkan sejumlah pelanggaran yang dilakukan Ketua BEM. Pelanggaran yang masuk kategori mengerikan, seperti fitnah.
Berkat teknologi komunikasi, kabar pemecatan itu sangat cepat tersebar. Begitu tersebarnya sampai-sampai sempat menjadi trending topik peringkat pertama di Indonesia dan urutan tiga pada tingkat dunia. Petisi yang mendesak agar rektor mencabut surat keputusan pemecatan ditandatangani sekitar lima puluh ribu orang tidak sampai dua puluh empat jam. Fantastis!
Di televisi, kasus ini sampai dikomentari oleh Menteri Risetdikti. Tidak kurang Wakil Ketua DPR RI yang berasal dari PKS ikut bersuara lantang sampai membuat surat terbuka. Padahal masih banyak urusan yang lebih penting yang mestinya dia urusi. Banyak kasus yang merugikan bahkan sampai ribuan mahasiswa di republik ini, mengapa tidak menjadi perhatiannya?
Akhirnya ada pertemuan pihak rektorat dengan Ketua BEM untuk berdamai. Kita jadi heran lagi, karena ada politisi PKS dalam pertemuan itu. Ada apa gerangan? Mengapa kali ini PKS sangat perhatian?
Surat Keputusan pemecatan dicabut. Ada nota kesepahaman antara kedua belah pihak yang ditandatangani Rektor UNJ dan Ketua BEM UNJ.
Sungguh, membaca nota kesepahaman itu membuat Rawamangun Berkabung (lagi dan lagi)? Karena ada pengakuan dari Ketua BEM bahwa memang ada perbuatan yang dituduhkan yang dijadikan sebagai dasar pemecatan yaitu antara lain fitnah.
Bila itu benar adanya, paling tidak saya pribadi merasa sangat prihatin. Mengapa mahasiswa berjuang menggunakan fitnah segala? Untuk apa berjuang bila didasari kebencian sampai memfitnah?
RAWAMANGUN MEMANG PANTAS BERKABUNG, LAGI, LAGI, DAN LAGI.
Kamis, 07 Januari 2016
RAWAMANGUN BERKABUNG (LAGI)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd