Siapakah aku? Apakah aku yang dulu bayi
sama dengan aku saat masuk SD, dan tidak berbeda dengan aku yang memiliki cucu yang sudah tamat SD? Aku merasa
setiap saat aku berubah. Dulu aku bisa berlari kencang dengan gembira, sekarang
jalan saja terasa agak payah. Sekarang aku bisa ketawa ngakak mengenang masa
SMA saat ngerjain guru kimia. Aku bisa menertawakan diriku sendiri, menilainya,
seakan itu bukan aku.
Aku tumbuh bersama tubuhku. Saat aku
merangkak, dunia kulihat berbeda dengan saat aku sudah bisa berdiri dan
berjalan. Duniaku menjadi sangat berbeda manakala aku bisa bermain dengan
teman-teman di luar rumah, dan berbeda lagi tatkala aku masuk sekolah. Tubuhku
berubah, terus bertumbuh, aku juga terus bertumbuh, ya bersama tubuhku. Aku
terhubung dengan dunia melalui tubuhku, aku mengenal orang lain melaui tubuhku.
Aku adalah tubuhku, tubuhku adalah aku. Kami menyatu. Sungguh aku tak bisa
bayangkan aku tanpa tubuhku.
Namun, ketika demam panas karena flu,
aku menghayati tubuh dengan cara lain. Tubuhku terasa berbeda dari biasanya.
Ada semacan jarak. Ada rasa kesal dengan tubuh sendiri. Terasa ada jarak. Aku
jadi tak mengerti dengan tubuhku sendiri. Penyakit membuat aku dan tubuhku tak
lagi akrab bersatu. Beda betul jika dibandingkan dengan saat aku menenggak teh
es manis diterik siang. Aku dan tubuhku terasa menyatu meminum teh es manis
seger itu.
Penyakit tampaknya dapat melahirkan
kesadaran baru tentang keberadaan tubuh bagiku. Aku merasa tubuh ini menjadi
beban, bagai seonggok daging yang terpisah dari keberadaan aku. Di sini mungkin
aku bisa berbicara tentang aku atau tubuhku, bukan aku dan tubuhku. Aku
membayangkan bagaimana perasaan orang mengidap kenker, penyakit jantung, gagal
ginjal dan beragam penyakit yang mengerikan lainnya. Sakit gigi saja membuat
aku marah pada tubuhku, apalagi penyakit-penyakit berat itu. Bagi orang sakit,
rasanya tubuhku adalah yang lain, sesuatu yang asing.
Itulah sebabnya dalam beragam agama ada
ajaran, siapa pun yang dapat bersabar dengan penyakitnya, Tuhan menghapus
sebagian dosanya. Karena memang tidak pernah mudah menerima kenyataan bahwa
tubuhku tidak lagi menjadi tubuh yang kukenali, tubuhku terasa asing, dan
sangat mengganggu. Berdamai kembali dengan tubuh yang sedang sakit dan
menerimanya kembali sebagai bagian integral dari keberadaan aku, bukan saja
menunjukkan kesabaran, juga diyakini mengurangi penderitaan.
Tentu saja, apa yang kuuraikan tadi
merupakan penghayatanku terhadap pengalaman sehari-hari. Pengalaman yang
langsung kualami dan kuhayati dan kuberi makna. Tetapi tidak begitu pandangan
para ahli. Para ahli berbeda pendapat tentang hubungan aku dan tubuhku. Sebagai
akibatnya muncullah berbagai mazhab seperti dualisme dan monisme. Dualisme
yakin aku dan tubuhku itu sebenarnya dua keberadaan yang terpisah. Tentang apa
yang menyatukannya para ahli itu berbeda pendapat lagi. Begitupun mazhab
monisme yang menganggap aku dan tubuhku merupakan kesatuan. Ada tingkai pangakai
di antara mereka.
Emakku dulu mengajarkan padaku bahwa
tubuhmu itu seperti jalan atau comberan di depan rumahmu. Maksudnya, kamu harus
menjaganya, memeliharanya agar kamu dan orang lain dapat memanfaatkannya. Ia
menjadi tanggungbjawabmu, kamu bisa menikmatinya. Tapi bukan milikmu. Tubuhmu
adalah amanah bagimu, bukan milikmu. Sebab bukan kamu yang membuat, mengadakan,
dan menghadirkannya, serta kamu tidak pernah tahu kapan tubuhmu itu
meninggalkan kamu selamanya. Tuhanlah pemilik kamu dan tubuhmu. Itu sebabnya
kamu tidak boleh bunuh diri, karena tubuhmu bukan milikmu. Kamu juga tidak
dapat memperlakukannya sesukamu. Ya karena tubuhmu bukan milikmu. Tubuhmu
adalah amanah bagimu. Pandangan ini agaknya lebih menekankan kewajiban dan
tanggung jawab terhadap tubuh. Pertanggungjawaban itu terutama dihadapan Tuhan
Pencipta dan pemilik mutlak tubuh dan diri manusia.
Tetapi temanku yang lahir dan besar di
Eropa membantahku. Katanya pandangan emakku itu sudah sangat kuno. Ia
menegaskan pendiriannya: Tubuhku adalah miliku, aku bebas mau melakukan apapun
terhadap tubuhku. Bagaimana mungkin aku diminta bertanggung jawab atas
perbuatanku bersama tubuhku bila tubuhku bukan milikku. Jika aku memutuskan
untuk bunuh diri, itu adalah ekspresi kebebasanku atas tubuhku yang merupakan
milikku. Aku bebas memutuskan hendak berhubungan dan bercinta dengan siapa pun
yang aku mau, tentu dengan orang yang
menyatakan persetujuannya. Juga aku sepenuhnya bebas untuk memilih
pasangannku yang berbeda jenis kelamin atau yang sejenis. Ini konsekuensi yang
niscaya dari kebebasan karena aku adalah pemilik tubuhku. Siapa pun tidak bisa
memaksaku harus begini atau begitu. Selama aku dapat mempertanggungjawabkan
kebebasanku ya aku sungguh bebas melakukan apa pun yang aku mau. Siapa pun
tidak dapat mengatur tubuhku, kecuali diriku sendiri.
Dua pandangan yang bertolak belakang
ini takkan pernah mencapai titik temu. Bila kita perhatikan dengan cermat,
perdebatan sengit saat pembahasan rencana undang-undang anti pornografi dan
rencana undang-undang perkawinan, terjadi antara dua penganut pandangan ini.
Meskipun ada di antara mereka yang dalam rencana undang-undang anti pornografi
ngotot bahwa tubuh adalah milikku, tetapi tiba-tiba menjadi penganut tubuhku
adalah amanah bagiku dalam perdebatan
rencana undang-undang perkawinan. Karena itu sang pembelot ini habis-habisan
menyerang nikah siri. Dulu ngotot mengatakan negara dan masyarakat tidak boleh
masuk ke wilayah pribadi, tiba-tiba sekarang berkutat membela negara dan
masyarakat harus ikut campur untuk mencegah nikah siri. Tidak usah heran, dalam
masyarakat banyak orang kayak gini. Manusia bendera, tergantung tiupan angin,
manusia plintat-plintut.
Sebenarnya, setiap orang bebas tentukan
di mana posisisnya. Yang penting dia menyadari konsekuaensinya. Menjadi kacau
bila dia memilih posisi seperti makan prasmanan. Hanya mengambil mana yang ia
sukai. Posisi seperti ini pastilah potensial menghancurkan orang itu sendiri.
Contoh paling konkrit orang seperti ini adalah mereka yang terus berbicara atas
nama agama, ternyata penjahat kelamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd