Kamis, 06 Juni 2013

AKU DAN TUBUHKU



Siapakah aku? Apakah aku yang dulu bayi sama dengan aku saat masuk SD, dan tidak berbeda dengan aku yang  memiliki cucu yang sudah tamat SD? Aku merasa setiap saat aku berubah. Dulu aku bisa berlari kencang dengan gembira, sekarang jalan saja terasa agak payah. Sekarang aku bisa ketawa ngakak mengenang masa SMA saat ngerjain guru kimia. Aku bisa menertawakan diriku sendiri, menilainya, seakan itu bukan aku.

Aku tumbuh bersama tubuhku. Saat aku merangkak, dunia kulihat berbeda dengan saat aku sudah bisa berdiri dan berjalan. Duniaku menjadi sangat berbeda manakala aku bisa bermain dengan teman-teman di luar rumah, dan berbeda lagi tatkala aku masuk sekolah. Tubuhku berubah, terus bertumbuh, aku juga terus bertumbuh, ya bersama tubuhku. Aku terhubung dengan dunia melalui tubuhku, aku mengenal orang lain melaui tubuhku. Aku adalah tubuhku, tubuhku adalah aku. Kami menyatu. Sungguh aku tak bisa bayangkan aku tanpa tubuhku.

Namun, ketika demam panas karena flu, aku menghayati tubuh dengan cara lain. Tubuhku terasa berbeda dari biasanya. Ada semacan jarak. Ada rasa kesal dengan tubuh sendiri. Terasa ada jarak. Aku jadi tak mengerti dengan tubuhku sendiri. Penyakit membuat aku dan tubuhku tak lagi akrab bersatu. Beda betul jika dibandingkan dengan saat aku menenggak teh es manis diterik siang. Aku dan tubuhku terasa menyatu meminum teh es manis seger itu.

Penyakit tampaknya dapat melahirkan kesadaran baru tentang keberadaan tubuh bagiku. Aku merasa tubuh ini menjadi beban, bagai seonggok daging yang terpisah dari keberadaan aku. Di sini mungkin aku bisa berbicara tentang aku atau tubuhku, bukan aku dan tubuhku. Aku membayangkan bagaimana perasaan orang mengidap kenker, penyakit jantung, gagal ginjal dan beragam penyakit yang mengerikan lainnya. Sakit gigi saja membuat aku marah pada tubuhku, apalagi penyakit-penyakit berat itu. Bagi orang sakit, rasanya tubuhku adalah yang lain, sesuatu yang asing.

Itulah sebabnya dalam beragam agama ada ajaran, siapa pun yang dapat bersabar dengan penyakitnya, Tuhan menghapus sebagian dosanya. Karena memang tidak pernah mudah menerima kenyataan bahwa tubuhku tidak lagi menjadi tubuh yang kukenali, tubuhku terasa asing, dan sangat mengganggu. Berdamai kembali dengan tubuh yang sedang sakit dan menerimanya kembali sebagai bagian integral dari keberadaan aku, bukan saja menunjukkan kesabaran, juga diyakini mengurangi penderitaan.

Tentu saja, apa yang kuuraikan tadi merupakan penghayatanku terhadap pengalaman sehari-hari. Pengalaman yang langsung kualami dan kuhayati dan kuberi makna. Tetapi tidak begitu pandangan para ahli. Para ahli berbeda pendapat tentang hubungan aku dan tubuhku. Sebagai akibatnya muncullah berbagai mazhab seperti dualisme dan monisme. Dualisme yakin aku dan tubuhku itu sebenarnya dua keberadaan yang terpisah. Tentang apa yang menyatukannya para ahli itu berbeda pendapat lagi. Begitupun mazhab monisme yang menganggap aku dan tubuhku merupakan kesatuan. Ada tingkai pangakai di antara mereka.

Emakku dulu mengajarkan padaku bahwa tubuhmu itu seperti jalan atau comberan di depan rumahmu. Maksudnya, kamu harus menjaganya, memeliharanya agar kamu dan orang lain dapat memanfaatkannya. Ia menjadi tanggungbjawabmu, kamu bisa menikmatinya. Tapi bukan milikmu. Tubuhmu adalah amanah bagimu, bukan milikmu. Sebab bukan kamu yang membuat, mengadakan, dan menghadirkannya, serta kamu tidak pernah tahu kapan tubuhmu itu meninggalkan kamu selamanya. Tuhanlah pemilik kamu dan tubuhmu. Itu sebabnya kamu tidak boleh bunuh diri, karena tubuhmu bukan milikmu. Kamu juga tidak dapat memperlakukannya sesukamu. Ya karena tubuhmu bukan milikmu. Tubuhmu adalah amanah bagimu. Pandangan ini agaknya lebih menekankan kewajiban dan tanggung jawab terhadap tubuh. Pertanggungjawaban itu terutama dihadapan Tuhan Pencipta dan pemilik mutlak tubuh dan diri manusia.

Tetapi temanku yang lahir dan besar di Eropa membantahku. Katanya pandangan emakku itu sudah sangat kuno. Ia menegaskan pendiriannya: Tubuhku adalah miliku, aku bebas mau melakukan apapun terhadap tubuhku. Bagaimana mungkin aku diminta bertanggung jawab atas perbuatanku bersama tubuhku bila tubuhku bukan milikku. Jika aku memutuskan untuk bunuh diri, itu adalah ekspresi kebebasanku atas tubuhku yang merupakan milikku. Aku bebas memutuskan hendak berhubungan dan bercinta dengan siapa pun yang aku mau, tentu dengan orang yang  menyatakan persetujuannya. Juga aku sepenuhnya bebas untuk memilih pasangannku yang berbeda jenis kelamin atau yang sejenis. Ini konsekuensi yang niscaya dari kebebasan karena aku adalah pemilik tubuhku. Siapa pun tidak bisa memaksaku harus begini atau begitu. Selama aku dapat mempertanggungjawabkan kebebasanku ya aku sungguh bebas melakukan apa pun yang aku mau. Siapa pun tidak dapat mengatur tubuhku, kecuali diriku sendiri.

Dua pandangan yang bertolak belakang ini takkan pernah mencapai titik temu. Bila kita perhatikan dengan cermat, perdebatan sengit saat pembahasan rencana undang-undang anti pornografi dan rencana undang-undang perkawinan, terjadi antara dua penganut pandangan ini. Meskipun ada di antara mereka yang dalam rencana undang-undang anti pornografi ngotot bahwa tubuh adalah milikku, tetapi tiba-tiba menjadi penganut tubuhku adalah amanah bagiku dalam  perdebatan rencana undang-undang perkawinan. Karena itu sang pembelot ini habis-habisan menyerang nikah siri. Dulu ngotot mengatakan negara dan masyarakat tidak boleh masuk ke wilayah pribadi, tiba-tiba sekarang berkutat membela negara dan masyarakat harus ikut campur untuk mencegah nikah siri. Tidak usah heran, dalam masyarakat banyak orang kayak gini. Manusia bendera, tergantung tiupan angin, manusia plintat-plintut.

Sebenarnya, setiap orang bebas tentukan di mana posisisnya. Yang penting dia menyadari konsekuaensinya. Menjadi kacau bila dia memilih posisi seperti makan prasmanan. Hanya mengambil mana yang ia sukai. Posisi seperti ini pastilah potensial menghancurkan orang itu sendiri. Contoh paling konkrit orang seperti ini adalah mereka yang terus berbicara atas nama agama, ternyata penjahat kelamin.

BAGAIMANA KITA MENGHAYATI DAN MEMPERLAKUKAN TUBUH, SEBAGAI AMANAH BAGIKU ATAU SEBAGAI MILIKKU, SANGAT TERGANTUNG DARI PILIHAN KITA SENDIRI. SELAMAT MEMILIH......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd