Minggu, 16 Desember 2012

GARUDA DI DADAKU



Saat Susi Susanti akhirnya memenangkan partai tunggal putri di oliempiade, apakah kita bisa menahan air mata bahagia? Kita tak pernah mempersoalkan dari mana ia berasal. Kita semua merasa, Susi Susanti adalah saudara kita, dengan Garuda Di Dada, di bawah Merah Putih perkasa. Karena itu, terasa aneh dan menjijikkan, ketika orang mempersoalkan Jokowi dan Ahok yang mencalonkan diri jadi pemimpin DKI. Mestinya kita mempersoalkan orang yang tidak punya komitmen, para koruptor, dan orang yang menjadikan jabatan sebagai komoditi untuk memperkaya diri. Bukan mempersoalkan asal muasal orang.

Sewaktu Andik Vermansyah menendang bola dari kejauhan, dan dengan indah nyemplok ke gawang Singapura, kita bukan hanya kagum karena gol itu berkelas dunia. Lebih dari itu, tiba-tiba kita merasa bangga menjadi orang Indonesia, kita nyanyikan dengan semangat Garuda Di Dadaku. Mestinya, kita tetap bangga dan tetap bernyanyi Garuda Di Dadaku seandainya Garuda takluk di Malaysia. Sebab, kemenangan bukanlah segalanya, yang penting anak-anak muda itu telah bertarung dengan semangat kebangsaan luar biasa, dan bangga dengan Garuda Di Dada.

Kebanggan sebagai orang Imdonesia harus digelorakan kembali, meski negara ini terus dirundung masalah. Mengapa? Karena, sudah terlalu lama kita bangga dengan kemenangan, memuja kemenangan, tanpa mempersoalkan bagaimana kemenangan itu dicapaidapatkan. Inilah akar dari prinsip: menghalalkan segala cara. Kebanggan akan kemenangan, pencapaian yang tinggi tanpa mempedulikan cara tampak paling nyata dalam menyikapi ujian nasional. Pendidikan yang seharusnnya menyemai dan menanamkan benih-benih karakter kejujuran, etos dan kerja keras, serta disiplin, diluluhlantakkan dengan tipu daya busuk untuk meloloskan siswa-siswa demi gengsi para penguasa. Kita jadi terbiasa dengan segala yang instan. Bahkan ada orang yang menjual program dengan label agama untuk menumbuhkan kecerdasan emosional-spiritual  secara instan. Dikira manusia bisa diubah menuju kebaikan kayak ngerebus mie instan. Bikin tape aja gak bisa instan, apalagi menumbuhkan kecerdasan dan karakter manusia, kecerdasan spiritual lagi.

Tampaknya prinsip menghalalkan segala cara telah merambah ke mana-mana, ke ranah bisnis, politik, akademis, hukum, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Ini bertentangan dengan prinsip mencarakan segala yang halal sebagaimana diajarkan semua agama. Tidak mengherankan bila korupsi kini sangat merajalela, sampai-sampai dana bencana, beras rakyat miskin, dan pencetakan Al Quran dikorupsi. Yang terlibat korupsi tidak tanggung-tanggung, Profesor Doktor Kiyai Haji, dan Jenderal.Sebagian  wakil rakyat malah kayak langganan korupsi.

Kita harus menumbuhkan apresiasi dan rasa hormat pada siapapun yang amanah, berkomitmen, bekerja keras, berdisiplin dan berintegritas, meskipun bisa jadi mereka tidak berhasil mencapai target atau kemenangan. Pada mereka kita pantas menyematkan Garuda Di Dada.

Kita harus mulai menabuh genderang perang melawan siapa pun yang menghalalkan segala cara, tidak menghargai proses, pengejar setoran, dan sahaya keduniawian. Kita sematkan lambang tengkorak hitam bajak laut di dadanya, meski mereka pejabat tinggi, guru besar, agamawan, ketua partai politik,  tokoh masyarakat, atau siapa pun mereka!

PERLU PERJUANGAN KERAS MENJADI ORANG INDONESIA DENGAN GARUDA DI DADA!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd