Saat Susi Susanti akhirnya memenangkan
partai tunggal putri di oliempiade, apakah kita bisa menahan air mata bahagia?
Kita tak pernah mempersoalkan dari mana ia berasal. Kita semua merasa, Susi
Susanti adalah saudara kita, dengan Garuda Di Dada, di bawah Merah Putih
perkasa. Karena itu, terasa aneh dan menjijikkan, ketika orang mempersoalkan
Jokowi dan Ahok yang mencalonkan diri jadi pemimpin DKI. Mestinya kita
mempersoalkan orang yang tidak punya komitmen, para koruptor, dan orang yang
menjadikan jabatan sebagai komoditi untuk memperkaya diri. Bukan mempersoalkan
asal muasal orang.
Sewaktu Andik Vermansyah menendang bola
dari kejauhan, dan dengan indah nyemplok ke gawang Singapura, kita bukan hanya
kagum karena gol itu berkelas dunia. Lebih dari itu, tiba-tiba kita merasa
bangga menjadi orang Indonesia, kita nyanyikan dengan semangat Garuda Di
Dadaku. Mestinya, kita tetap bangga dan tetap bernyanyi Garuda Di Dadaku
seandainya Garuda takluk di Malaysia. Sebab, kemenangan bukanlah segalanya,
yang penting anak-anak muda itu telah bertarung dengan semangat kebangsaan luar
biasa, dan bangga dengan Garuda Di Dada.
Kebanggan sebagai orang Imdonesia harus
digelorakan kembali, meski negara ini terus dirundung masalah. Mengapa? Karena,
sudah terlalu lama kita bangga dengan kemenangan, memuja kemenangan, tanpa
mempersoalkan bagaimana kemenangan itu dicapaidapatkan. Inilah akar dari
prinsip: menghalalkan segala cara. Kebanggan akan kemenangan, pencapaian yang
tinggi tanpa mempedulikan cara tampak paling nyata dalam menyikapi ujian
nasional. Pendidikan yang seharusnnya menyemai dan menanamkan benih-benih
karakter kejujuran, etos dan kerja keras, serta disiplin, diluluhlantakkan
dengan tipu daya busuk untuk meloloskan siswa-siswa demi gengsi para penguasa.
Kita jadi terbiasa dengan segala yang instan. Bahkan ada orang yang menjual
program dengan label agama untuk menumbuhkan kecerdasan
emosional-spiritual secara instan.
Dikira manusia bisa diubah menuju kebaikan kayak ngerebus mie instan. Bikin
tape aja gak bisa instan, apalagi menumbuhkan kecerdasan dan karakter manusia,
kecerdasan spiritual lagi.
Tampaknya prinsip menghalalkan segala
cara telah merambah ke mana-mana, ke ranah bisnis, politik, akademis, hukum,
bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Ini bertentangan dengan prinsip mencarakan
segala yang halal sebagaimana diajarkan semua agama. Tidak mengherankan bila
korupsi kini sangat merajalela, sampai-sampai dana bencana, beras rakyat
miskin, dan pencetakan Al Quran dikorupsi. Yang terlibat korupsi tidak
tanggung-tanggung, Profesor Doktor Kiyai Haji, dan Jenderal.Sebagian wakil rakyat malah kayak langganan korupsi.
Kita harus menumbuhkan apresiasi dan
rasa hormat pada siapapun yang amanah, berkomitmen, bekerja keras, berdisiplin
dan berintegritas, meskipun bisa jadi mereka tidak berhasil mencapai target
atau kemenangan. Pada mereka kita pantas menyematkan Garuda Di Dada.
Kita harus mulai menabuh genderang
perang melawan siapa pun yang menghalalkan segala cara, tidak menghargai proses,
pengejar setoran, dan sahaya keduniawian. Kita sematkan lambang tengkorak hitam
bajak laut di dadanya, meski mereka pejabat tinggi, guru besar, agamawan, ketua
partai politik, tokoh masyarakat, atau
siapa pun mereka!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd