Sponge
Bob dan Patrick akan berlibur bersama kepramukaan. Mereka menunggu kapal yang
akan dinaiki di dermaga. Biasalah, keduanya terlibat perbincangan lebay tentang
indahnya liburan ini, dan sama sekali tak menyadari kapal yang akan ditumpangi
berangkat meninggalkan mereka. Keduanya dengan gaya alay menaiki kapal
berikutnya. Mereka sama sekali tak menyadari bahwa kapal ini adalah pengangkut
para tahanan kelas kakap yang hendak dipenjarakan di pulau terpencil.
Sejak
berada di kapal, keduanya diperlakukan dengan keras, kasar, kejam,
dihinalecehkan, dan dianiaya oleh para sipir dengan beragam macam cara
sebagaimana layaknya narapidana. Karena sejak mula berniat berlibur, dan
seluruh isi otak yang kepikir hanya
berlibur, Sponge Bob merasa dan menghayati semua perlakuan keras dan kasar itu
adalah bagian dari permainan, kesenganan, dan hiburan berlibur. Para sipir jadi
semakin panas hati dan meningkatkan derajat siksaan dan kekerasan terhadap
keduanya dan para narapidana. Tetapi Sponge Bob dan Patrick bertambah senang
dan menikmatinya. Kesenangan dan kegembiraan itu menulari para sipir. Sekarang
semuanya jadi bergembira. Pada akhirnya para sipir yang kelelahan, tidak tahu
harus berbuat apalagi, dan menyerah pasrah.
Para
sipir itu tidak bermain-main, mereka memang menyiksa para narapidana, serta
Sponge Bob dan Patrick. Para narapidana pada mulanya sungguh sangat tersiksa
dengan perlakuan itu. Namun, Sponge Bob dan Patrick sungguh menikmatinya dengan
gembira dan senang., karena sejak mula dan terus menerus berfikir bahwa semua
kekerasan dan kekejaman yang sadis itu adalah bagian dari kesenangan liburan
yang harus dinikmati. Inilah bukti betapa hebat kuatnya pengaruh berpikir positif
yang dipraktekkan dan dihayati secara sungguh-sungguh oleh Sponge Bob. Semuanya
jadi indah dan menyenangkan, meskipun yang didapatkan perlakuan yang keji. Di
sini berlaku apa yang dikatakan filsuf radikal dan eksentrik Nitszhe, bahwa
apapun yang tidak dapat mengalahkan kita, membuat kita bertambah kuat.
Siapakah
di antara kita yang tak pernah dilumat duka nestapa, diluluhlantakkan pilu,
dileburhancurkan kekecewaan, dipunukpatahkan lara? Bukankah acapkali kita
tenggelam dalam samodra kepiluan, kehilangan arah di belantara kesepian,
kesepian di dangau-dangau kesendirian, saat orang yang sangat dicintai menguap
berlalu pergi, kekasih hati khianat, para karib menjauh menghindar, belahan
jiwa mengabaikan, dan diremukkan penolakkan. Hidup ini dukha, kata Budha.
Tampaknya
lara, duka, pilu, luka, kecewa, sepi, pengabaian, dan penolakan melekat erat
dalam kemanusiaan kita, tak terhindarkan selama jiwa menyaturaga, semuanya
menggayuti, mencengkram kita dengan kuaterat.
Persoalannya
adalah: apakah kita jatuh terjerembab, hanyut, tenggelam, kehilangan arah dan
menyerah menghadapinya atau memilih bermukamuka, menantang dan menaklukkkannya!
Masing-masing kita bebas tentukan pilihan.
Bila
kekasih hati pergi, mengapa tidak berfikir, Tuhan akan memberikan yang lebih
ok. Jika gagal, bukankah lebih elok meyakini ada keberhasilan yang lebih
spektakuler menanti di seberang kegagalan ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd