Minggu, 10 Februari 2013

TENTANG HUBUNGAN



Seorang teman curhat. Ia merasa setelah menikah lebih dari sepuluh tahun dan memiliki tiga anak, ia semakin tidak memahami istrinya. Sering kali terasa, istrinya seperti orang asing yang baru dikenalnya. Banyak hal baik yang dulu muncul semasa pacaran dan di awal pernikahan, sekarang lenyap. Istrinya sangat reaktif, sering mengucapkan kata-kata sinis, bahkan sering bersikap kasar pada anak-anak. Ia merasa kehilangan kesabaran dan mulai berfikir untuk bercerai.

Sebagai seorang suami dan ayah, ia merasa telah bekerja sangat keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kini mereka tinggal di rumah yang tergolong mewah dengan tiga mobil di garasi. Anak-anak bersekolah di sekolah unggulan, dan sang istri menjalani hidup dalam kecukupan. Ia heran, mengapa hasil kerja kerasnya sama sekali tidak dihargai, bahkan istrinya bersikap buruk padanya.

Aku mengenal istrinya tatkala mereka masih pacaran. Setelah menikah hanya beberapa kali bersua. Karena itu aku lebih tertarik untuk bertanya tentang diri temanku ini. Aku memberondongnya dengan sejumlah pertanyaan: kamu bekerja sangat keras, apakah masih cukup waktu bersantai dengan istri dan keluarga? Apakah masih sempat ngontak istri, paling tidak smsan atau bbman saat sedang bekerja? Apakah masih ada waktu untuk jalan-jalan bersama keluarga dalam suasana santai dan kekeluargaan? Apakah masih sempat makan bareng keluarga di rumah atau di luar rumah? Apa masih ada waktu untuk shalat berjamaah di rumah? Masih banyak pertanyaan ceng ceremen kayak begini yang kulontarkan padanya. Ia sulit menjawabnya, muter-muter, tidak menjawab pertanyaan secara langsung. Aku berhipotesis, ia memang terlalu keras bekerja dan hanya punya sedikit waktu bagi keluarga.

Kemudian aku mencoba mendiskusikan beberapa pertanyaan yang lebih serius. Apa dikira manusia cukup diberi kelimpahan materi? Apakah perhatian, omong-omong ringan tentang pelajaran anak-anak, dan masak apa hari ini tidak penting? Apakah bekerja sangat keras itu baik? Apakah rumah mewah bisa membuat hidup nyaman jika tidak ada waktu untuk bercanda dan bercakap-cakap dengan santai ? Apakah pernah menyediakan waktu yang memadai untuk berbincang-bincang dengan istri tentang masalah-masalah pribadi, dan keluh kesah hati? Pertanyaan seperti ini lebih banyak kusodorkan padanya. Temanku kini menjadi mirip Azis gagap OVJ. Dalam banyak momen ia terdiam, beberapa saat matanya berkaca-kaca, ia berusaha menahan agar air matanya tidak gugur dari matanya. Ia memandang ke kejauhan, ia mulai menggigit-gigit bibirnya. Mungkin ia sedang terdampar dalam dirinya sendiri, terperosok dalam ceruk hatinya sendiri. Ia menarik nafas panjang. Beban berat kini terasa ada di pundak hatinya.

Kita seringkali menuntut agar orang lain, termasuk pasangan hidup kita, bertambah baik bahkan acapkali memaksanya menjadi sempurna. Sementara kita tidak menuntut itu pada diri sendiri. Kita meminta agar pasangan memberi perhatian, cinta, dan mengerti kita dengan lebih baik. Sedangkan kita enggan melakukannya untuk dia. Ini adalah racun, virus berbahaya dalam hubungan antarmanusia, terlebih hubungan istri-suami.

Menuntut orang lain, termasuk pasangan kita menjadi sempurna adalah black hole yang akan mengubur diri sendiri. Karena manusia tak pernah bisa sempurna dan tak ada manusia yang sempurna. Nabi adalah manusia yang disempurnakan Tuhan.

Tatkala tuntutan itu tak bisa dipenuhi, dan memang tak bakalan bisa, maka kita akan memasuki episode sandiwara boneka dalam hidup. Masing-masing akan berpura-pura agar terlihat memenuhi harapan. Kita hidup dalam dunia seolah-olah. Mempertahankan sikap terbaik yang kelihatan sebagai bukti kesempurnaan, padahal itu hanya pura-pura untuk saling menyenankan hati. Kita mau tunjukkan bahwa kita seperti yang pasangan kita inginkan, pasangan kita juga berbuat demikian. Kita menjadi orang lain, pasangan kita juga. Berubahalah hubungan dari istri-suami menjadi hubungan orang lain dengan orang lain. Jadilah kita manusia-manusia bertopeng, bahkan mungkin monster berwajah manis manusia.

Konsekuensinya kita kehilangan indahnya spontanitas yang manuisawi, tak ada lagi keikhlasan, dan kewajaran apa adanya. Hati menjadi lelah, risau dan gundah. Hidup jadi susah dan pikiran resah. Jika sudah begini tak ada lagi keindahan hubungan, dan hidup kehilangan makna.

Hubungan antarmanusia memang tidak selalu mudah, cinta istri-suami juga tak pelak dari masalah. Karena itu bangunlah cinta yang manusia yaitu,

MENCINTAI ADALAH MEMAHAMI SECARA MENDALAM, MENERIMA APA ADANYA, DAN SALING MEMEKARKAN.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd