Hidup merupakan rangkaian tindakan
untuk terus-menerus memilih. Setiap waktu kita harus memilih. Tatkala mata
terbuka di pagi hari, kita harus memilih, melanjutkan tidur atau bangun.
Selanjutnya harus memilih lagi, mandi atau sarapan. Bila memilih sarapan harus
membuat pilihan lagi, sarapan nasi uduk atau roti. Begitulah seterusnya
sepanjang hari. Dari bangun tidur sampai tidur lagi. Tidak berlebihan bila ada
yang menyatakan, HIDUP = MEMILIH.
Adakalanya kita dihadapkan pada
pilihan-pilihan sederhana tidak beresiko, dan kita memilihnya begitu saja,
sepintas kilas sambil lalu. Bahkan seringkali tanpa menyadari, kita sudah
menentukan dan melaksanakan pilihan. Terkadang kita mesti jeda sejenak,
berfikir cepat dan membuat pilihan. Meski singkat, kita harus berfikir, mana
yang akan dipilih. Tidak jarang kita berhadapan dengan pilihan yang sulit, yang
memaksa kita harus berdiskusi dengan orang lain, bahkan meminta petunjuk pada
Tuhan, untuk menentukan pilihan.
Pastilah ini pilihan yang sulit dan menentukan.
Memilih menunjukkan banyak dimensi
kemanusiaan kita. Memilih dapat menunjukkan strata sosial. Orang yang bisa
memilih nasi uduk atau roti untuk sarapan, pastilah memiliki strata sosial
lebih baik tinimbang orang yang pilihannya makan angin atau bengong saat
sarapan pagi. Artinya ia tidak memiliki pilihan. Sebab tak ada yang bisa
dipilih.
Memilih juga bisa menegaskan tingkat
pendidikan atau kecerdasan. Orang berpendidikan atau orang cerdas mestinya
tidak sembarang bila memilih. Ada proses memilah sebelum memilih. Artinya
digunakan nalar kritis, mempertanyakan dan memperhitungkan dengan cermat
berbagai dasarpijak dan konsekuensi dari pilihan. Bahkan konsekuensi jangka
panjang dalam berbagai aspeknya. Dalam konteks ini rasanya aneh jika orang
pintar memilih tolak angin. Orang pintar mestinya memilih tidak masuk angin,
karena pintar menjaga kesehatannya.
Memilih seringkali mengisyaratkan
karakter orang. Ada orang yang hanya memilih mencari keselamatan dalam hidup.
Akibatnya seringkali mereka mengabaikan kebenaran, kesetiaan, dan harga diri.
Yang penting selamat, meskipun harus mengorbankan teman, bahkan saudara. Ada
pula orang yang lebih memilih kebenaran dan rela mengorbankan keselamatan.
Mereka berprinsip, untuk apa selamat bila terjerumus dalam kejahatan dan dosa.
Orang dengan karakter ini biasanya berani melawan arus, bahkan ikhlas jika
dianggap aneh, tidak biasa, dan gila. Ingat Nabi Muhammad SAW dinyatakan gila
oleh orang-orang kafir di Mekah. Orang-orang kafir itu adalah penghayat
kebudayaan jahiliyah. Sedangkan Nabi Muhammad adalah orang yang memilih
kebenaran, meski sangat beresiko.
Memilih adalah tanda dan
pengejawantahan kebebasan manusia. Tanpa kebebasan manusia tak bisa memilih.
Maknanya adalah, memilih merupakan ciri terpenting dan pembeda manusia dari
makhluk lainnya. Karena itu memilih adalah ciri terpenting makna keberadaan
manusia. Sebagai contoh, hewan bisa dan biasa berpuasa. Namun, puasa hewan
merupakan keharusan yang niscaya, tak terelakkan, sebagai mekanisme alami untuk
betahan hidup. Jadi, bukan pilihan. Sebaliknya dengan manusia. Ia bisa memilih
untuk berpuasa atau tidak. Ia yang menentukan.
Malaikat tak berhenti berzikir memuji
Allah, karena untuk itulah ia diciptakan. Sedangkan iblis, menjalani pola hidup tunggal sebagai
pembangkang, antitesis Malaikat. Manusia, bisa memilih mau seperti bahkan
melampaui malaikat atau hendak menjadi atau melampaui iblis. Sejatinya, manusia
diciptakan sebagai sebaik-baiknya makhluk,tetapi bisa jatuh menjadi
sehina-hinanya makhluk hina.
Inilah keunikan manusia. Manusia
memiliki kebebasan untuk menentukan siapa dan mau jadi apa dia. Dengan
kebebasan memilih, manusia menentukan dirinya. Artinya pilihan-pilihan kita secara
langsung akan menentukan siapa kita pada akhirnya. Pada titik ini seringkali
muncul perdebatan sengit.
Paling kurang ada dua modus perdebatan
sengit ini. Pertama, di kalangan orang yang tidak percaya Tuhan. Kedua, di
kalangan orang yang percaya Tuhan. Di kalangan pertama sejumlah pertanyaan
diajukan untuk mempertanyakan dan menentang pendirian yang menyatakan manusia
menentukan dirinya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah: apakah manusia
sungguh bebas? Adakah kebebasan manusia? Kebebasan manusia itu fakta atau
ilusi? Apakah bisa disebut kebebasan bila terdapat banyak keterbatasan yang
melekat pada manusia? Jika memang ada, seberapa besar kebebasan manusia? Apakah
pilihan sebagai ujud kebebasan tidak ditentukan oleh keterbatasan dan
ketergantungan manusia?
Alasan utama penolakan terhadap adanya
kebebasan manusia adalah keterbatasn dan ketergantungan manusia. Manusia
memiliki keterbatasan yang relatif tidak terbatas. Artinya keterbatasan manusia
itu sangat banyak, tak terhitung, keterbatasan itu melekaterat dalam diri dan
kemanusiannya. Manusia memiliki keterbatasan fisik. Keterbatasan fisik manusia
amat banyak. Beberapa dapat dijadikan contoh. Manusia tidak dapat terjaga terus
menerus dalam 24 jam, manusia tidak mampu menahan lapar dan haus, pendengaran,
penglihatan, dan penciuman manusia memiliki batas maksimal jangkauan, otak
manusia mempunyai keterbatasan penggunaan dan fungsi, daya tahan tubuhnya juga
sangat terbatas terhadap suhu, dan kondisi. Tentu masih banyak keterbatasan
lainnya. Manusia juga memiliki keterbatasan psikis. Ia tidak kuat terhadap
sedih yang terlalu, gembira yang berlebih, rasa sakit yang luar biasa, tekanan
yang sangat, dan ancaman yang berlebihan. Manusia tidak tahan terhadap rasa
takut yang melampaui batas, ketakpastian yang berkepanjangan, pengabaian dan
penolakan yang keterlaluan. Manusia sungguh rentan. Memorinya dibatasi
kelupaan, fikirannya bisa diganggu emosinya, dan emosinya gampang dipicu
keadaan.
Semua keterbatasan ini membuat manusia
memiliki banyak ketergantungan. Keterbatasan dan ketergantungan mirip seperti
dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Setiap keterbatasan melahirkan
ketergantungan sebagai pelengkapnya. Sebagai contoh ketidakmampuannya menahan
lapar dan haus membuat ia tergantung pada makanan dan minuman. Jadi, manakala
ia tampak memiliki kebebasan memilih makanan, combro atau hamburger, sebenarnya
pilihan itu tak lebih dari ketergantungannya pada makanan. Itulah sebabnya
ketika sangat lapar, apa pun dimakannya. Apakah kita dapat dengan pasti dan tegas
menyatakan manusia memiliki kebebasan memilih makanan, pun ketika ia tidak
terlalu lapar bila makan adalah satu bentuk ketergantungan karena keterbatasan?
Ada dorongan yang tidak sepenuhnya dapat dikendalikan manusia saat memilih
makanan. Mereka yang masih percaya pada kebebasan mungkin mengatakan,
"Meski ada dorongan yang berakar pada keterbatasan dan ketergantungan,
tetap ada saat manusia bisa mengendalikan dorongan itu, menahan rasa lapar
untuk mendapatkan makanan yang diinginkan." Banyaknya pilihan makanan, dan
kita masih sempat mempertimbangkan makanan mana yang akan dipilih dari sekian
banyak makanan. Ini menegaskan, meski terbatas, kita memang punya kebebasan.
Sekali lagi, kemampuan memilih menunjukkan kebebasan manusia.
Namun, para penentang keberadaan
kebebasan manusia melanjutkan pertanyaanya. Apakah benar pilihan itu dibuat
dengan bebas? Mengapa kebanyakan orang Padang memilih gulai nangka daripada
gudeg yang juga terbuat dari nangka? Ini soal kebiasaan yang terbentuk dalam
hidup sosial. Artinya pilihan-pilihan kita juga ditentukan oleh bagaimana
pengasuhan, pembiasaan, dan pendidikan. Pilihan tidak dapat dilepaskan dari
sosialitas kita. Lingkungan sosial budaya mempengaruhi, mendominasi, bahkan
mendeterminasi kita. Jika begini faktanya, masihkah kita nekad menyimpulkan
bahwa manusia itu bebas?
Belum lagi pengaruh masa lalu. Apapun
dari masa lalu, terutama yang melibatkan emosi melekaterat dalam memori kita.
Ia bisa mempengaruhi kita, kadang tanpa disadari. Manakala mendengar sebuah
lagu, kita merasa lagu merdu itu tidak menyenangkan. Sebab pada masa lalu lagu
itu terkait dengan kisah sedih percintaan kita. Begitulah masa lalu menyelinap
dalam celah otak kita. Tak mengherankan, tatkala memilih atau menentukan
sesuatu pada masa kini, masa lalu ikut mewarnainya dengan halus dan tak
disadari. Tentu saja, kondisi ini menyembulkan tanya, dimana sebenarnya
kebebasan manusia itu?
Dalam konteks seperti inilah bisa
difahami mengapa Sidharta Gautama, Sang Budha mengajarkan, bila ingin merasakan
dan menghayati kebebasan menuju pencerahan, tindakan pertama adalah membebaskab
fikiran. Membebaskan fikiran dari berbagai ikatan. Ikatan kelampauan yang
terikat pada masa lalu, ikatan kekinian yakni belenggu kepentingaan, dan ikatan
masa depan yang dipasung keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih, berupa
beragam cita-cita untuk menjadi ini-itu. Berhentilah, jedalah pada satu titik,
yaitu kekosongan. Bebas lepas, bahkan dari kebebasan itu sendiri,
OM............
Ini mengisyaratkan kebebasan itu ada,
meski tak mudah didapatkan. Bebas dari.... dan bebas untuk..... Bebas dari
ikatan masa lalu, bebas dari kepentingan sesaat masa kini, bebas dari keinginan
untuk menjadi sempurna, dan bebas untuk menentukan, bebas untuk memilih....
Sejarah panjang manusia menunjukkan berapa banyak orang yang mampu membebaskan
dirinya dari berbagai ikatan, pengaruh, dominasi, dan determinasi apa pun,
untuk menunjukkan bahwa kebebasan itu ada. Bahkan mereka yang menolak
kebebasan, secara paradoks menunjukkan kebebasan itu ada. Justru ketika mereka
menyatakan kebebasan itu tidak ada. Bukankan ungkapan itu justru menegaskan
bahwa kebebasan itu ada dan nyata. Meski digunakan untuk menolak kebebasan itu
sendiri. Mereka bilang tidak ada
kebebadan. Bukankah itu suatu bentuk kebebasan? Kebebasan menyatakan pendapat.
Para pembaharu, inovator, tokoh-tokoh
revolusioner adalah contoh orang-orang yang menunjukkan secara tegas bahwa
pengaruh, dominasi dan determinasi apapun bisa dilawan, bahkan
dijungkirbalikkan. Mereka bisa tunjukkan, budaya yang membesarkan dan
mempengaruhi mereka bisa dirubah, bahkan dihancurkan. Chairil Anwar, penyair
besar Indonesia, dengan lantang bilang: Hancurkan lagi apa yang telah kita
perbuat. Ambil kuda yang paling liar, pacu laju.
Manusia memiliki potensi, kemampuan,
dan kekuatan untuk mengatasi diri, masa lalu, budaya, dan karya ciptanya
sendiri. Karena kebebasan yang ia miliki. Kebebasan adalah fakta yang paling
nyata, kekuatan yang melekat pada manusia. Terserah pada manusia mau
menggunakannya atau tidak. Memilih adalah ungkapan kebebasan yang paling nyata.
Sementara itu ada sejumlah orang yang
menjadikan kekuasaan Tuhan untuk membantah adanya kebebasan manusia. Mereka
bilang Tuhan lah yang menentukan segalanya. Bahkan takdir tiap manusia telah
ditulis di buku induk alam semesta, sebelum manusia itu dilahirkan. Sebelum
sperma bersua indung telur.
Sebagai orang beriman, tak usahlah kita
bantah bahwa Tuhan yang menentukan segalanya. Bahkan daun yang gugur pun Tuhan
yang menentukan. Juga tak elok membantah bahwa takdir kita telah ditetapkan,
mungkin sebelum semesta ini direncanakan. Tapi persoalannya, apakah kita tahu
dan akan pernah tahu apa takdir kita yang tertulis dalam buku induk itu? Apakah
kita tahu akan jadi apa kita pada akhirnya?
Karena kita tidak tahu dan tidak akan
pernah tahu, maka gunakanlah kebebasan yang sedikit itu untuk ikut menentukan
siapa dan jadi apa kita. Sebab,
assalamualaikum pak nusa, saya mahasiwa ipb yang hadir di kelas bapak sewaktu bapak menjadi dosen tamu di ipb membahas materi metode kualitatif sekitar bulan februari lalu.
BalasHapusmenurut saya, kebebasan itu adalah ada pada orang yang menghendakinya pak. untuk orang yang mengatakan tidak ada kebebasan, walaupun sebeneranya dia sedang melakukan kebebasan berpendapat, tetapi dia tidak menyadari akan kebebasan yang sedang dia lakukan itu. maka baginya tidak akan ada kebebasan.
ada pula orang yang bebas dalam keterbatasan.
setuju dengan pendapat bapak, hakikat manusia adalah memilih. semakin banyak pilihan yang bisa dia pilih, semakin tinggi kemampuan dia. tetapi manusia hanya makhluk tuhan. hanya ada tuhan pada posisi tertinggi.hanya tuhan yang memiliki kebebasan absolut
hakikat manusia adalah memilih untuk bebas pada keterbatasan itu atau memilih terbatas pada kebebasan itu sendiri.