Bawang Merah dan Bawang Putih adalah
cerita populer yang telah ada sejak zaman dahulu kala. Bawang Merah selalu
merepotkan dan mengganggu Bawang Putih yang merupakan saudara tirinya. Apa pun
kejahatan yang diperbuatnya terhadap Bawang Putih, ibunya selalu membela dan
membenarkan. Akibanya Bawang Putih sangat menderita. Namun, cerita ini berakhir
membahagiakan bagi Bawang Putih yang dipersunting pangeran. Sedangkan Bawang
Merah dan ibunya malu dan menderita.
Kini ada cerita baru tentang bawang
merah dan bawang putih. Kali ini bukan hanya bawang merah yang membuat susah,
tetapi keduanya. Bawang merah dan bawang putih membuat rakyat susah, sebab
harganya tak terkendali, meroket ke langit tinggi. Satu hari kenaikannya bisa
berkali-kali. Setelah daging, kini kedua komoditi itu harganya termahak di
dunia. Kita tampaknya selalu juara dunia
harga kebutuhan pokok rakyat. Ini bisa bermakna, Pemerintah paling jago
bikin susah rakyat, terutama rakyat kecil.
Ironisnya, saat harga bawang terus
meroket, Menteri Pertanian, yang sudah dua kali dipanggil KPK sebagai saksi
kasus dugaan korupsi kuota impor sapi, mengatakan bahwa Indonesia sudah
swasembada bawang merah. Koq bisa, sudah swasembada tapi tak bisa kendalikan
harga? Pastilah ada salah kelola.
Melonjaknya harga yang berakibat
semakin susahnya hidup mayoritas rakyat terutama yang tak berpunya, bukanlah
sekali ini saja. Sebelum ini Pemerintah gagal mengendalikan harga kedelai.
Akibatnya sebagian rakyat Indonesia harus memakan tempe dan tahu berkualitas
rendah karena harus dicampur bahan lain seperti singkong. Selanjutnya harga
daging sapi tak terkendali yang diwarnai kasus korupsi yang diduga melibatkan
Presiden PKS yang juga partainya Menteri Pertanian.
Sebagain orang berpendapat ini
merupakan ketidakbecusan Menteri Pertanian yang berasal dari PKS itu. Tetapi
jangan lupa, bahwa berbagai kejadian ini sekaligus menunjukkan kelemahan
Pemerintah SBY dalam tatakelola bahan pokok yang menyangkut kesehatan dan
kualitas hidup rakyat banyak. Selain kelemaham tatakelola, Pemerintah ini juga
kelihatannya selalu kurang tepat dalam menentukan prioritas. Sengat tidak
sensitif dan tidak empatis.
Saat harga bawang meroket dan rakyat
menjerit, SBY malah bertemu dengan para mantan jenderal. Setelah bertemu dengan
SBY, para jenderal itu memuji keberhasilan pemerintahan SBY. Apa ukuran
keberhasilan yang digunakan para jenderal itu. Bila mengurus bawang aja gak
becus, koq bisa dibilang berhasil. Lagi pula mengundang para jenderal itu lebih
merupakan peristiwa politik yang sangat kuat kesan pencitraannya. Padahal
seharusnya lebih baik mengurusi kesusahan rakyat yang terpapar di depan mata.
Dalam konteks ini tak ada salahnya
mencoba membuat perbandingan. Pada saat rezim orde baru yang otoriter berkuasa,
rasanya harga bahan pokok selalu bisa dikendalikan, kecuali pada saat menjelang
kejatuhannya ketika memang tak ada pengendali karena transisi kekuasaan.
Mengapa tidak belajar pada cara orde baru menata harga bahan pokok? Apakah
semua yang dilakukan rezim orde baru pasti salah dan tidak dapat dimanfaatkan
sebagai perbandingan? Mengapa biaya pendidikan di zaman orde baru lebih murah
dan terkendali, bahkan sampai perguruan tinggi? Mengapa anak orang miskin dan
menengah ke bawah lebih banyak yang bisa masuk PTN dizaman orde baru tinimbang
sekarang? Apakah mutu pendidikan pada zaman reformasi ini lebih baik daripada
zaman orde baru? Mengapa pergantian kurikulum pada zaman orde baru lebih
transparan, demokratis, dan sistematik dibanding sekarang yang sangat
bimsalabim, dan dipaksakan?
Rasanya, bangsa ini harus berani jeda
sebentar dan jujur membuat perbandingan. Apa yang lebih baik dan lebih buruk
sekarang ini dibanding zaman orde baru? Ini saat untuk menilai ulang, apakah
reformasi semakin mendekati tujuan awalnya atau memasuki anomali yang makin
mengerikan? Kita tidak boleh berfikir hitam-putih, semua yang ada pada zaman
orde baru buruk, dan semua yang ada pada zaman reformasi baik. Apakah baik
biaya politik pemilihan langsung kepala daerah yang semakin lama semakin mahal,
sementara rakyat makin sengsara, dan kepala daerah yang dipilih dengan biaya
mahal itu kebanyakan masuk penjara karena kasus korupsi?
Apa bedanya tatakelola partai politik
diera orde baru terutana terkait dengan GOLKAR yang berkuasa pada waktu itu,
dengan Partai Demokrat pada masa ini. Dulu di Golkar ada Tutut dan kerabat
Suharto lainnya. Sekarang di Partai Dmokrat yang berkuasa beda-beda tipis, ada
Ibas dan Bu Ani, serta Hadi Utomo, para keluarga Presiden SBY.
Bangsa ini harus berani menilai ulang
semua perkembangan yang terjadi sejauh ini. Apakah kita sebagai bangsa
bertambah baik, bertamambah sejahtera, bertambah berkualitas, bertambah
demokratis, atau bertambah hancur karena korupsi yang semakin tidak terkendali?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd