Ada dua lelaki. Yang satu santun, baik
hati, sangat pengertian, cool, calm, confiden. Tetapi membantai istrinya dengan cara yang biadab di
malam pengantin. Mungkin ini mirip dengan pepatah, air tenang menghanyutkan
dalam arti yang paling negatif. Yang satu lagi kelihatan hebat, tegar,
berkuasa, dan selalu menunjukkan keunggulan dirinya pada orang lain. Ternyata
ia seorang lelaki sepi hati yang rapuh, yang kalah di panggung utama di rumah,
dan mencari panggung di mana-mana dengan cara merendahkan orang lain.
Barangkali yang kedua ini seperti air beriak tanda tak dalam.
Kedua lelaki itu adalah contoh ekstrim
paradoks manusia. Para psikolog memliki banyak penjelasan tentang tipe manusia
kayak gini. Mereka biasa disebut dengan macam-macam istilah. Istilah yang
paling ekstrim adalah pribadi terbelah. Tentu saja kategorinya manusia
abnormal. Tidak normal, bukan kurang normal. Sebenarnya sulit menemukan manusia
yang sungguh-sungguh normal. Ini bukan sekadar soal pengukuran yang ditentukan
oleh sejumlah indikator. Persoalannya tentu lebih rumit dan melampaui soal pengukuran dan kategorisasi.
Para psikolog juga dapat menjelaskan
mengapa ada manusia dengan kepribadian seperti itu. Yang menyukai psikoanalisis
Sigmund Freud akan menggali kehidupan masa kanak-kanak kedua lelaki itu.
Biasanya manusia yang tumbuh dengan kelainan kepribadian seperti kedua lelaki
itu pernah mengalami pengalaman buruk pada masa kecil, terutama kekerasan,
khususnya kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang-orang terdekat. Bila
menggunakan pendekatan C.G. Jung bisa lebih rumit, karena bisa jadi perilaku
ini muncul sebagai ungkapan ketidaksadaran kolektif yang berakar pada gen.
Adler akan mengaitkannya dengan interaksi si anak dalam kehidupan sosial yang
sangat kompleks. Sementara Rogers melihatnya sebagai akibat terjadinya hambatan
untuk mengaktulisasikan diri.
Para ahli neurosains akan mencari akar
perilaku itu pada otak kedua lelaki tersebut. Mereka percaya perilaku itu
merupakan akibat dari terjadinya gangguan atau kerusakan pada bagian tertentu
dalam otak mereka. Sebagai akibatnya otak sebagai pusat pengendali tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Kemungkinan penyebabnya sangat banyak. Tidak
tunggal seperti yang dikedepankan oleh masing-masing aliran psikologi di atas.
Di samping semua penyebab yang dikedepankan oleh berbagai aliran psikologi itu,
juga bisa disebabkan oleh makanan, virus, lingkungan yang tercemar, dan
berbagai penyebab lain.
Apa yang dikemukakan para psikolog dan
ahli neurosains tentulah memiliki nilai dan kebenaran. Apalagi kesimpulan yang
mereka buat biasanya didasarkan pada hasil penelitian mendalam. Dengan
demikian, tidak mudah untuk mengatakan kedua lelaki itu jahat. Mungkin lebih
tepat menyebut mereka sakit, jadi ada kemungkinan untuk disembuhkan. Meskipun
tidak mudah.
Apa pun penjelasannya, yang pasti kisah
kedua lelaki itu menunjukkan satu hal yang pasti. Bahwa manusia tidak pernah
bisa dipersepsi, disikapi, dan dinilai seperti matematik atau statistik yang
bersifat terukur dan pasti. Manusia lebih merupakan puisi, yang maknanya multi
dan tak pasti. Mari kita renungkan, apa makna sajak Khairil Anwar, aku ini
binatang jalang. Apakah yang dimaksudnya anjing kurus kurapan yang sekarat di
pinggir jalan? Atau ayam jago yang kawin dengan semua ayam betina, tidak peduli
betina itu ibunya, anaknya, bahkan neneknya? Atau binatang jalang itu adalah
politisi yang korup?
Seperti puisi manusia itu penuh
misteri. Ia melampaui samodra tak bertepi, mengatasi bentangan langit yang tak
berujung. Manusia itu seperti onggokan tanda tanya, persis hologram yang bisa
berisi apa saja. Meski menyakitkan menghadapi realitas kayak begini, tapi
inilah realitas manusia yang paling mendasar. Manusia bukan makhluk satu
dimensi, tapi makhluk multidimensi yang merupakan teka-teki. Karena itu sisi
luarnya yang tampak tidak selalu menggambarkan pribadi yang sesungguhnya. Bisa
jadi penampilannya yang sopan dan
rasional merupakan topeng menutupi kerapuhan yang bersifat sebaliknya.
Dalam sejarah panjang manusia, kita
bisa menyaksikan banyak sisi tragis yang menunjukkan kelemahan, kerentanan, dan
keirasionalan, bahkan 'kegilaan' dari tokoh-tokoh besar seperti Alexander
Agung, Julius Caesar, Napoleon, Hitler, Gandhi, Soekarno, dan banyak orang
hebat lain dari berbagai bidang kehidupan seperti Michael Jackson, Picasso,
Salvador Dali, Hemingway, Soros, dan lain-lain. Mereka semua hebat dan luar
biasa, tatapi menyimpan banyak problem yang menggambarkan sisi lemah
pribadinya.
Semua mereka menunjukkan paradoks itu.
Hemingway yang selalu menceritakan dengan indah semangat luar biasa menghadapi
tantangan dan perjuangan hidup dalam semua karyanya, mati bunuh diri. Ini
menegaskan ada lubang hitam dalam kemanusiaan kita, ada ruang kosong di palung
hati kita, ada kabel yang korslet dalam otak kita. Rasanya semua kita memiliki dan mengalaminya,
dalam derajat yang berbeda-beda. Perbedaan derajat itu yang membedakan tingkat
kewarasan dan kegilaan setiap manusia.
Ada manusia yang pintar untuk
menyembunyikannya. Ada yang mampu
mengendalikannya, tak sedikit yang memamerkannya dan terus memeliharanya. Ada
pula yang sangat ingin mengelolanya agar tak meledak, namun kekuatannya tak
cukup untuk itu. Inilah kerentanan kita sebagai manusia.
Sepanjang sejarah, manusia mencoba
untuk membuat demarkasi atau garis batas yang jelas, pasti, dan terukur untuk
membedakan dan memisahkan kewarasan dan kegilaan manusia . Dirumuskanlah
sejumlah indikator untuk menentukan posisi manusia, siapa yang berada di
kawasan kewarasan, dan siapa yang berada dalam kawasan kegilaan. Memang ada
manusia yang dengan tegas bisa diidentifikasi dan disimpulkan sebagai orang
gila. Sepanjang sejarah, bahkan dalam masyarakat yang paling primitif ada
tempat khusus untuk mereka, biasanya mereka dipasung, diisolasi, dan
diasingkan. Mereka dinyatakan sebagai bukan bagian dari masyarakat normal.
Tetapi kenyataannya, banyak manusia,
bahkan terlalu banyak yang tidak bisa dengan tegas dimasukkan dalam kategori
itu. Aku masih ingat, beberapa puluh tahun yang lalu, suasana syahdu Ramadhan
di Jakarta terusik karena ditemukan potongan tubuh manusia di Jalan Pemuda,
tepat di belakang kampus IKIP Jakarta. Beberapa hari kemudian ditemukan
potongan tubuh dari orang yang sama di Tanjung Priok. Masyarakat heboh.
Kehebohan itu kemudian berubah menjadi keterkejutan yang luar biasa, tatkala
diketahui yang melakukan mutilasi terhadap mayat perempuan itu adalah suaminya
sendiri, seorang guru agama yang terkenal sholeh, baik, santun, dan sangat
pengasih pada murid, keluarga dan para tetangga.
Ada ribuan bahkan jutaan kasus sejenis
yang terjadi di seluruh dunia. Manusia yang dikategorikan sehat, waras, dan
hidup normal dalam masyarakat, melakukan tindakan gila yang tak terpikirkan. Ayah
memperkosa anak kandung, ibu membunuh bayi yang susah payah dikandung dan
dilahirkan, istri memutilasi suami, anak membunuh orang tua, dan berbagai
tindakan mengerikan lainnya. Dunia manusia kadang lebih mengerikan daripada
dunia binatang. Ya...ini merupakan sisi kebinatangan manusia.
Kita selalu dikagetkan, dibuat sedih
dan bertanya-tanya. Mengapa manusia bisa seperti itu?
Nice writing, pak. Akhirnya saya menemukan blog anda. Semoga lebih banyak lagi tulisan-tulisan yang menambah pengetahuan dari bapak.
BalasHapusFebri (Sastra Inggris 2008)