(Mengenang karibku, Dr. Syarifuddin,
wafat 21 Maret 2013)
Makan di kantin mahasiswa, memesan
makanan yang sederhana, makan dalam suasana saling dempet dan senggol dengan
udara panas bagai dalam sauna, sebagian besar mahasiswa tah tahu bahwa mereka
sedang makan dengan PR 2. Ia sering berjalan kaki mengelilingi kampus sendiri.
Menyambangi gedung demi gedung, mendatangi tempat sampah, dan ngobrol dengan
petugas kebersihan sambil ngopi tepat di sebelah gerobak sampah di pinggiran
jalanan kampus. Para pegawai kebersihan tampak seperti berbincang dengan sesama
teman, sesekali terdengar suara ngakak PR 2. Ia tak pernah canggung bercengkrama
dengan pegawai yang berada pada strata paling bawah dalam struktur kepegawaian
kampus. Ia sering makan bareng dengan orang-orang kecil, menraktir mereka,
bukan sebagai pencitraan, tetapi karena begitulah karakternya, sederhana,
peduli, dan suka berbagi.
Ia terobos gulita dini hari, menyetir
sendiri mobil di bawah siraman hujan deras menuju rumah sakit Persahabatan
untuk memastikan bahwa seorang satpam yang telah bolong paru-parunya mendapat
perawatan yang baik. Dengan bahasa yang lembut ia juga menyemangati keluarga
satpam itu. Jelas kulihat, air mata istri satpam itu mengalir deras saat
karibku itu merangkulnya dan memastikan satpam itu akan diberi perhatian
khusus. Aku sungguh melihat keletihan di wajahnya, namun ia tetap tersenyum dan
bersemangat.
Ia memberi pada banyak anak yatim dan
orang miskin, meski untuk dirinya sendiri, ia sering berhutang. Tatkala musim
kenaikan kelas, tidak sedikit orang kecil yang datang padanya untuk meminta
bantuan bagi anak-anak mereka yang naik kelas atau lulus sekolah. Ia tak pernah
membiarkan mereka pulang dengan tangan kosong. Meski ia sering menjual beberapa
barangnya untuk itu.
Ia memang bukan orang suci. Tapi aku
haqqul yaqqin ia sungguh orang baik, baik dari dalam hatinya. Sebagai manusia,
keturunan Adam yang pernah jatuh dalam dosa, seperti kita semua, pastilah ia
pernah berbuat salah. Namun, kebaikannya pada banyak orang jauh melebihi
kesalahan yang pernah ia perbuat.
Perilakunya yang bebas, spontan dan apa
adanya terkadang tampak kurang pantas di mata sebagian teman, karena ia berada
dalam jabatan, pada struktur atas birokrasi kampus. Tapi, tampaknya ia tidak
peduli, karena baginya hidup apa adanya dengan kejujuran pastilah lebih baik
daripada basa-basi birokrasi yang artifisial dan seringkali memuakkan.
Tak mengherankan bila ia lebih menonjol
sebagai kontroversi di antara para pejabat yang selalu kelihatan normatif dan
suka berpura-pura. Ia memang tampak sesukanya, tidur di sofa atau di atas
sajadah di kantornya, berbagi makanan dari bungkus nasi yang sama dengan
mahasiswa, dan berbagi uang dari dompetnya dengan siapa pun yang datang dan
meminta bantuan. Terasa tidak formal, tidak terstruktur dan tidak normatif. Ia
lakukan itu karena ia tak mau mengorbankan sisi manusiawinya hanya karena
jabatan yang sebenarnya tak lebih seperti sandal jepit, yang bisa dilepas kapan
pun ia mau.
Dengan segala perilakunya itu, banyak
orang yang pernah merasakan kebaikan, suara tawa yang keras, dan senyum
manisnya. Tetapi hidup, dan terutama birokrasi tak selalu berisi cerita tentang
kebaikan, dan memberi apresiasi pada semua yang baik. Dalam konteks seperti
itu, ia tampak sendirian, dan dibiarkan sendiri. Jadi, ia kelihatan aneh, tak
biasa, dan ada di luar keumuman. Rupanya balada orang-orang baik memang selalu
seperti itu. Nuh diabaikan, Yunus dicuekin, Musa harus dihanyutkan ke sungai,
Isa dikejar-kejar, dan Muhammad SAW diejek sebagai orang gila. Ini semua
terjadi karena mereka semua orang baik, dan mau setia pada kebaikan itu. Memang
tak mudah menjadi orang baik, apalagi jika berkehendak tetap konsisten dalam
dan dengan kebaikan.
Dua tahun terakhir ini, saudaraku ini
seperti berlombapacu dengan maut. Penyakit seperti arisan dalam tubuhnya. Maut
mulai menancapkan akar tunggang di jantungnya, dan akar serabut di ginjal dan levernya.
Semakin lama semakin besar dan menguasai serta meluluhlantakkan tubuh dan
kekuatannya. Namun, dalam semua keterbatasn dan kelemahan itu ia tidak mau
berhenti untuk terus berbuat baik dengan apa pun yang ia bisa. Ia mengembangkan
kalkulasi kebaikan yang tidak biasa. Lebih baik terus berbuat baik daripada
hanya mengalah pada maut yang terus mengoyak-oyak tubuh. Bukankah pada akhirnya
maut pasti mengalahkan kita, karena itu mengapa harus berhenti berbuat baik!
Aku bangga padanya, karena dengan konsisten
berbuat baik, ia menghadapi maut dan kematian layaknya anak-anak menghadapi game online,
semangat dan gembira. Saudaraku, kini maut merenggutmu dari kehidupan dunia
fana, istirahatlah dengan damai, sebab
Saya sangat sangat kagum dan terkesan dengan sahabat bapak ini, dia sebagai pembantu rektor 2 tak canggung bercengkrama dengan pegawai kebersihan mau turun kebawah bergaul dengan pegawai yang berada pada strata paling bawah dalam struktur kepegawaian kampus dia mau berbagi dengan sesama hidup seadanya walaupun mungkin dia punya segalanya.
BalasHapusbeda dengan para petinggi kampus lainya bahkan dosen pun jarang saya liat mau bercengkrama dengan orang yang tak selevel dengannya apalagi dengan tukang sampah, ini lah cerminan seorang pemimpin mau turun kebawah mau berbuat buik, mau membantu orang yang perlu bantuanya berani berkata jujur walaupun banyak orang mencercanya
Rijalul Fahmi
P.IPS B 2014