Seorang sahabat datang ke kantor dalam
keadaan sehat walafiat. Di kantor ia terpeleset dan jatuh. Dalam perjalanan ke
rumah sakit, ia wafat. Tentu semua orang di kantor kaget dan juga sangat sedih,
sebab ia orang yang sangat baik.
Kematian bisa datang kapan dan di mana
pun. Merenggut siapa pun yang sudah tiba waktunya. Namun, kita tak pernah tahu
kapan waktu kematian itu datang dan dengan cara apa. Karena itu kematian
menjadi sangat misterius dan terasa datang sangat mendadak, mengagetkan dan
menghentak kita yang masih hidup. Apalagi jika yang direnggut kematian adalah
orang yang masih sehat. Kebiasaan membentuk fikiran kita bahwa kematian
biasanya merenggut mereka yang sakit. Meskipun kita memahami bahwa tidak ada
syarat bagi kematian. Siap pun, di mana pun, dalam keadaan apapun, bisa dan
pasti mati.
Sering kita bertanya, mengapa
orang-orang yang baik seringkali lebih dulu wafat. Sedangkan yang kelihatannya
jahat dan jahat sekali seperti dibiarkan hidup lama. Bahkan dalam cerita silat
karya Kho Ping Ho, tokoh yang paling jahat mati pada jilid terakhir, halaman
terakhir, satu paragraf sebelum paragraf terakhir. Betapa sulitnya orang jahat
mati.
Tentu saja ini tidak dapat ditafsirkan
orang harus menjadi jahat agar kematian menghindarinya. Bisa jadi Tuhan
sebenarnya memberi kesempatan pada orang jahat itu untuk berhenti menjadi orang
jahat, bertobat lebih dulu sebelum mati. Apapun penjelasannya, ini hanyalah
sebuah tafsir. Yang pasti, semua yang bernyawa pasti mati. Hidup untuk mati,
kata filsuf Jerman Heidegger.
Konsekuensi yang niscaya atas pastinya
kematian adalah hidup kita terbatas, pasti berakhir. Pertanyaan fundamental
menghadapi fakta ini ialah, bagaimana memaknai hidup yang terbatas ini, yang
tak pernah kita ketahui kapan berakhir?
Pastilah kita berkehendak melakukan
yang terbaik, menjalani hidup dengan penuh kebaikan. Namun, kita juga
sepenuhnya sadar tidak gampang menjalani dan memaknai hidup dengan melulu
kebaikan dan kemuliaan. Sebab dorongan-dorongan liar dari dalam diri, dan
tarikan-tarikan godaan dari luar diri, lebih banyak bahkan dibandingkan dengan
lubang pori-pori di seluruh tubuh kita. Ini yang membuat hidup tak pernah
dijalani dengan lurus lempang, ada banyak kelokan dan lubang yang seringkali
membuat kita kehilangan kendali atas diri dan hidup.
Acap kali kita merasa sangat kaget,
mendadak sontak sadar telah berada dalam situasi, tempat, dan kondisi yang
tidak kita kenali dan ingini. Namun, untuk kembali lagi ke posisi yang
seharusnya, bukan saja sangat sulit, kita bahkan tak tahu cara dan arahnya.
Akhirnya, kita seperti menjadi orang asing dalam rumah sendiri, sampai tak lagi
kenal pada diri sendiri.
Padahal seiring perjalanan waktu, sang
maut terus tumbuh dan membesar dalam tubuh kehidupan kita. Sebab kematian
memang ditanam dalam kehidupan seperti biji mangga yang ditanam dalam tanah.
Semakin lama kematian semakin tumbuh kembang menggerogoti kehidupan
segigit-segigit sampai tak ada lagi yang bersisa.
Menjadikan hidup bermakna secara
positif merupakan cara terbaik saat kematian terus saja dengan lahap
menggerogoti kita. Sebab tidak seperti kebanyakan sahabat kita yang bisa jadi
tak hadir saat kita butuhkan,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd