Desa Truyan di Bali itu kecil. Terletak
di pinggir Danau Batur, dihuni sekitar 150 kepala keluarga. Tetapi Truyan
sangat terkenal ke seluruh dunia. Bukan karena prestasi besar dalam kreativitas
seperti ditunjukkan Cokot atau seniman Bali lainnya. Tetapi karena tradisi
memperlakukan mayat yang sangat unik. Mayat orang Truyan yang wafat secara
wajar dan sudah menikah tidak dimakamkan atau dibakar dalam upacara ngaben.
Namun diletakkan di atas tanah dengan wajah terbuka dan berpakaian lengkap
dekat dengan pohon truyan yang diyakini sudah kokoh berdiri di situ selama
belasan abad.
Uniknya mayat itu tidak mengeluarkan
bau busuk sebagaimana layaknya mayat manusia yang dibiarkan terbuka seperti
itu. Proses pembusukan berjalan secara alami, sampai mayat itu menjadi tulang
belulang. Hanya sebelas mayat yang boleh diletakkan di situ. Bila ada mayat
baru, dan jumlah mayat sudah sebelas, maka mayat yang paling dahulu diletakkan
ditaruh di tempat lain, tidak jauh dari tempat pertama.
Tempat itu merupakan lokasi untuk
meletakkan tengkorak kepala dan tulang belulang lainnya. Tempatnya sangat dekat
dengan pohon truyan. Lebih dekat dibandingkan dengan tempat menaruh mayat pertama
kali. Sungguh tak ada bau busuk di tempat persemayaman jenazah itu. Mayat-mayat
kelihatan seperti orang tidur. Ada yang menganga, kelihatan unik karena tak ada
lagi daging dan kulit wajah, hanya tengkorak. Ada pula yang masih tertinggal
beberapa daging menempel di sekitar mata yang kelihatan membusuk. Unik tapi
mengerikan. Rasanya mata yang mulai membusuk itu menatap siapa pun yang
melihatnya. Ada suasana mitis di persemayam ini. Apalagi bila berdiri sendiri
menatap mayat-mayat itu, sementara di belakang kita terdapat puluhan tengkorak
kepala manusia dengan bolongan mata dan hidung yang ukurannya tidak sama.
Tengkorak-tengkorak itu seakan menatap kosong ke arah kita.
Meski kematian itu universal dan
melampaui sejarah karena ada sejak dulu sampai dunia ini padam bersama
hancurnya matahari, tetapi manusia menyikapinya dengan cara yang tidak sama. Di
Mesir para raja diawetkan dan ditaruh dalam piramida, di simpan bersama
sejumlah besar harta. Menyertakan harta benda bersama mayat bukan monopoli
Mesir, juga terdapat di tempat lain seperti Cina. Di persemayaman Trunyan
banyak uang logam dan benggol berserakan di sekitar mayat, bahkan ada uang
kertas seribu, dua ribu, dan lima ribu rupiah. Ini semua mengisyartakan kuatnya
keyakinan bahwa ada kehidupan di seberang kematian.
Dalam beberapa agama. Mayat harus
dibakar atau dikremasi agar kembali menjadi asal muasalnya yaitu bagian dari
alam semesta. Diyakini cara itu akan mempercepat lingkaran kelahiran kembali.
Sementara beberapa agama mewajibkan mengubur mayat. Mayat-mayat itu juga akan
kembali ke alam melalui proses pembusukan, tetapi jiwanya abadi menetap di alam
penantian. Ada persidang yang harus dihadapi untuk mempertanggungjawabkan apa
pun yang telah dilakukan selama hidup. Tak ada celah bagi yang mati untuk
kembali. Ini mengisyaratkan hidup itu merupakan garis lurus yaitu lahir, hidup,
dan mati.
Di beberapa tempat di Amerika Latin
keluarga si mayat merayakan tahun baru di kuburan. Diyakini mereka yang mati
hadir dalam perayaan itu. Tubuh mereka memang sudah berubah menjadi seonggok
tulang, tetapi jiwa tetap hidup dan masih bisa berkumpul dalam semangat
persaudaraan. Ada pula yang membongkar kuburan, mengambil tulang belulang,
memberi pakaian baru dan menari bersama mayat. Ada keyakinan saat menari
bersama, jiwa-jiwa dari yang mati itu ikut serta dalam tarian dalam semangat
kekeluargaan.
Di pedalaman Baduy, Kalimantan, Amazon,
dan beberapa tempat lain, dalam masyarakat magi yang berorientasi teologis
diyakini jiwa mereka yang mati berkumpul di sebuah pohon. Pohon kehidupan.
Mereka meyakini manusia adalah bagian dari alam, alam adalah saudara tua
manusia. Karena itu setelah mati, jiwa-jiwa berkumpul dalam haribaan saudara
tua, pohon-pohon keramat. Keyakinan inilah yang menginspirasi film Avatar James
Cameron.
Bagaimana kematian diperlakukan dan
dipersepsi, bukan saja menunjukkan sikap terhadap kematian. Juga menunjukkan
bagaimana hidup dihayati. Karena hidup dan mati adalah sebuah rentang yang
menyatu, tak dapat dipisahkan. Hidup meniscayakan kematian, kematian adalah
titik baru bagi kehidupan lain. Kehidupan dan kematian diyakini dipersatukan
oleh perbuatan.
Mereka yang melakukan perbuatan baik
semasa hidup pasti merasakan kehidupan bahagia di seberang kematian.
Sebaliknya, siapa pun yang membiasakan perbuatan buruk saat menjalani
kehidupan, pastilah mendapat kemalangan dalam kehidupan setelah mati. Jadi,
apapun dan bagaimanapun kematian diperlakukan,
Luar biasa Bangga Ingin Menjadi Penerusnya. Amin
BalasHapus