Yang pertama itu hebat, bahkan spektakuler. Mandela adalah presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan yang sebelumnya merupakan negara apartheid. Megawati adalah presiden wanita pertama di Republik Indonesia. Messi merupakan pesepak bola pertama yang meraih penghargaan tertinggi Ballon d'Or empat kali berturut-turut. Yang pertama sangat sulit dilampaui, bahkan ada yang tidak bisa dilampaui seperti yang didapatkan Mandela dan Megawati. Karena itu yang pertama selalu diingat, dikenang, dan sering dijadikan contoh untuk diteladani.
Ratu Atut Choisyiah adalah gubernur wanita pertama dan satu-satunya di Indonesia. Bisa jadi ini menunjukkan bahwa dia memiliki kemampuan di atas rata-rata, bahkan mungkin luar biasa. Betapa tidak, dia bahkan bisa menjadikan keluarganya menguasai berbagai jabatan penting di Provinsi Banten menggunakan Golkar sebagai mesin politiknya. Media massa sampai-sampai menyebut Atut berhasil membangun dinasti keluarga. Rasanya, Atut pantas dikenang karena kehebatannya.
Sekarang Atut pasti akan makin dikenang dan sangat sulit dilupakan. Sebab, Atut kini menjadi gubernur wanita pertama di Indonesia yang terjerat kasus korupsi, dan melibatkan keluarga lagi. Sungguh apa yang telah dicapai Atut, kayaknya tak bakal bisa dilampaui wanita lain. Jika ada wanita lain yang menjadi gubernur, pastilah dia menjadi yang kedua, ketiga dan seterusnya. Pun, bila ada gubernur wanita yang terjerat kasus korupsi, dia bukanlah yang pertama, sebab Atut telah menjadi yang pertama. Atut sungguh telah membuat sejarah.
Ada yang menarik, beberapa saat setelah Atut ditetapkan jadi tersangka oleh KPK. Sejumlah elemen masyarakat melakukan sujud syukur di depan rumah Atut dan di beberapa badan jalan. Sejumlah anggota masyarakat sewaktu diwawancara oleh televisi secara terbuka menyatakan rasa syukur dan senang. Beberapa aktivis gerakan malah buka-bukaan tentang gaya hidup mewah Atut dan keluarganya, sedangkan angka kemiskinan terus saja meningkat di Banten.
Memang sulit bagi kita melupakan cerita tentang banyaknya anggota masyarakat Banten yang masih mengonsumsi nasi aking, dan perjuangan sejumlah anak sekolah melintasi jembatan darurat di atas sungai yang mengalir deras, mirip film petualangan Indiana Jones. Juga susah melupakan saat KPK menggeledah rumah adik Atut yang telah jadi tersangka, ditemukan puluhan mobil super mewah.
Kasus korupsi yang meniban Atut ini memberi pelajaran sangat berharga bagi kita. Mereka yang terlibat kasus Atut adalah orang-orang Golkar dan mantan orang Golkar. Atut adalah salah seorang ketua DPP Partai Golkar dan pejabat di eksekutif, Chairun Nisa adalah politisi Golkar yang menjadi pejabat di legislatif, dan Akli Muchtar merupakan mantan politisi Golkar, pejabat di yudikatif. Apakah kejadian ini kebetulan? Atau ini menunjukkan sebuah pola korupsi?
Mari kita bandingkan dengan kasus megakorupsi Hambalang. Ketua umum dan bendahara, serta menteri yang merupakan kader Partai Demokrat jadi terdakwa dan tersangka. Dalam sidang yang kini digelar di pengadilan Tipikor malah nama Ibas, putra Presiden SBY dan sekjen Partai Demokrat, disebut-sebut ikut menerima aliran dana, juga orang yang diduga dekat dengan SBY yaitu Bu Pur, dan ponakan SBY pun disebut punya peran. Wafid Muharam yang telah jadi terdakwa, dalam kesaksiannya menyebut ada sutradara yang mengatur proyek Hambalang. Sekarang ini KPK sedang menelusuri aliran dana haram Hambalang ke kongres Partai Demokrat.
Kasus korupsi impor sapi yang menjadikan Presiden PKS sebagai terdakwa juga tidak dilakukan sendiri. Dalam persidangan Ketua Majlis Syura dan Presiden PKS dijadikan saksi. KPK kelihatannya masih mencari keterlibatan para saksi tersebut. Dalam persidangan terungkap adanya uang dari terdakwa Fathanah ke berbagai kegiatan PKS.
Atas berbagai fakta di atas, rasanya kita bisa merumuskan hipotesis bahwa korupsi yang dilakukan para politisi bukan semata-mata persoalan pribadi. Tetapi melibatkan sebuah jaringan yang mengikutsertakan orang lain di dalam partai. Boleh jadi fakta ini yang mendorog KPK mulai 2014 akan menggunakan pasal kejahatan korporasi.
Fakta ini juga menggelitik kita untuk bertanya, apakah korupsi yang melibatkan para politis dan para pejabat yang berasal dari partai politik merupakan dampak yang niscaya dari mahalnya biaya politik? Kasus korupsi yang melibatkan Akil dalam konteks sengketa pemilukada, kayaknya menegaskan begitulah kenyataannya.
Bila kita tengok lebih dalam berbagai kasus korupsi, tidak sedikit pula orang yang memiliki reputasi baik, terkenal jujur dan berintegritas, masuk penjara sebagai terdakwa, dan ada yang baru saja jadi tersangka korupsi saat mereka mendapat amanah sebagai pejabat. Apakah boleh kita menduga bahwa sistem tatakelola negara kita memang begitu muramtemaramnya, sehingga memiliki daya paksa untuk menjadikan siapa pun, termasuk mereka yang jujur, jadi koruptor? Sungguh ini sangat menggoda untuk ditelaah lebih dalam dan rinci.
Sangat penting untuk memastikan apakah sistem politik dan tatakelola negara ini memang memiliki kecendrungan mendorong orang melakukan tindak pidana korupsi, bahkan mereka yang tergolong baik, atau para pelaku tindak pidana korupsi yang justru merusak sistem ini karena pada dasarnya mereka lemah terhadap godaan? Rasanya tidaklah memadai bila kita menjawab pertanyaan ini hanya dengan analisis rasional yang bisa jadi bersifat spekulatif. Dibutuhkan penelitian yang mendalam, didasarkan pada data lapangan atas berbagai kasus korupsi, baik yang sudah diputuskan oleh pengadilan, maupun yang sedang diproses oleh para penegak hukum.
Penelitian ini akan sangat berguna untuk mencaritemukan dan memastikan akar, pola, mekanisme, dan jaringan korupsi di Indonesia. Karena perang melawan korupsi akan kurang efektif bila hanya mengandalkan penindakan, tetapi mengabaikan pencegahan, dan penataan sistem yang sungguh anti korupsi.
NEGARA BANGSA AKAN HANCUR JIKA PERANG MELAWAN KORUPSI DILAKUKAN SETENGAH HATI.
Kamis, 19 Desember 2013
YANG PERTAMA: ATUT
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd