Minggu, 22 Desember 2013

GUNDAL- GANDUL

Ini kisah nyata, tentang seorang profesor. Karena panggilan tugas negara, profesor yang satu ini mesti melakukan perjalanan di bawah hujan deras. Ia hendak datang ke tempat pertemuan tepat waktu. Mungkin ia mau tunjukkan kepada beberapa sejawatnya yang juga profesor, bahwa profesor itu harus profesional. Maksudnya, jika sudah menerima bayaran, ya bekerja sesuai bayaran. Jangan menerima honor tiga hari, bekerja cukup setengah atau satu hari. Gak etis la, setelah tanda tangan, ambil honor, langsung pulang, padahal sejawat lain masih harus bekerja satu atau dua hari lagi. Mestinya malulah sama nurani sendiri. Mosok profesor gak profesional.

Sesampainya di hotel tempat pertemuan berlangsung, sang profesor langsung mandi. Ia ingin segera membersihkan diri dan bebas dari baju yang basah. Mandi selesai, ia mau mengeringkan diri dengan handuk. Ia sangat kaget, karena hotel tidak menyediakan handuk. Profesor ini bekerja untuk sebuah badan yang jadwalnya sangat padat, yang mengharuskan ia menghabiskan lebih dari separuh waktunya untuk pindah dari hotel ke hotel. Ia sudah sangat terbiasa mendapatkan semua fasilitas termasuk handuk di kamar mandi yang siap digunakan. Jadi, mindsetnya sudah terbentuk, ia telah memiliki habitus bila hendak mandi ya langsung saja, sebab semua fasilitas sudah tersedia, terutama handuk.

Bisa dibayangkan saat selesai mandi, ia tidak menemukan handuk. Ia juga tidak pernah membawa handuk. Bukankah hotel sudah menyediakannya? Ia buru-buru berjalan dari kamar mandi ke tempat telepon. Walah, bisa Anda bayangkan, pastilah ada yang gundal-gandul, karena profesor ini seorang pria. Telepon tidak berfungsi. Ia gunakan telepon selulernya mengontak nomor hotel. Tak juga terjawab. Dalam rasa kesal dan marah akhirnya ia memilih dikeringkan oleh angin, tentu dengan tetap gundal-gandul. Sungguh, kali ini ia menjadi profesor gundal-gandul.

Profesor adalah manusia seperti kita semua. Pastilah ada keistimeannya sehingga bisa jadi profesor. Tetapi dalam banyak hal yang substansial ia tetaplah sama dengan kita, sesama manusia. Memang, mestinya profesor lebih kritis, hati-hati, dan penuh perhitungan. Dengan demikian tidak sampai terjadi peristiwa gundal-gandul. Tetapi, siapa pun, profesor atau bukan, bisa dibekap oleh kebiasaan. Kebiasaan memang bisa menciptakan pola tertentu di otak kita, sehingga ada bagian otak seperti neokorteks yang merupakan kendali fikiran, kurang berfungsi.

Itulah sebabnya kita dianjurkan menumbuhkan kebiasan-kebiasaan yang baik, agar hidup kita dapat terus terjaga. Pada mulanya kebiasaan itu kita yang mengatur dan menumbuhkannya, melalui pembiasaan. Namun, saat kebiasaan itu telah memberi bekas permanen dalam otak, gantian kebiasaan itu yang mengatur kita. Nah, profesor yang terkena peristiwa gundal-gandul itu telah dijebak oleh kebiasaannya. Karena itu kelupaan sang profesor untuk melihat dan memastikan apakah ada handuk atau tidak sebelum mandi, merupakan akibat saja dari kuatnya pengaruh kebiasaan yang selama waktu tertentu sudah dihayati.

Kebiasaan memang memengaruhi dan membentuk kita. Akibatnya, kemanusiaan kita dangat dicoraki oleh kebiasaan yang telah terbentuk melalui pembiasaan. Karena itu jangan heran bila melihat ada sejumlah orang yang sepertinya tidak memiliki hati nurani dan rasa malu. Boleh jadi karena orang itu telah mengembangkan sebuah kebiasaan yang menjadikannya merasa tidak bersalah melakukan tindakan yang sebenarnya tidak pantas.

Profesor yang terkena peristiwa gundal-gandul ini datang ke tempat pertemuan karena ingin datang tepat waktu dan mau bekerja dengan sebaik-baiknya. Ia tidak mau bersikap seperti beberapa sejawatnya yang sangat terbiasa untuk datang dan pergi tanpa memperhatikan aturan main dan semangat kebersamaan yang mestinya dipupuk, dijaga dan dikembangkan. Ia merasa malu berperilaku seperti itu. Tetapi mengapa sejumlah temannya itu tenang-tenang saja berperilaku kurang pantas? Profesor gundal-gandul ini sering tak habis fikir bila melihat teman-temannya sesama profesor itu.

Sesungguhnya, para sejawatnya itu telah mengembangkan suatu kebiasaan yang berbeda dari dirinya. Mungkin, karena mereka para profesor, maka  sudah sampai pada ilmu hakikat. Bila yang lain harus hadir dua atau tiga hari, mereka cukup datang beberapa jam saja, sebab pada hakikatnya mereka sudah datang. Jika yang lain harus bekerja dengan tekun dan hati-hati. Membuka dan memeriksa berkas lembar demi lembar, membaca kata demi kata, mencermati angka demi angka. Mereka cukup melihat sekilas. Sebab pada hakikatnya mereka sudah bekerja. Mungkin, mereka memiliki kemampuan mata elang, yang tidak dimiliki oleh yang lain. Sayangnya, dalam soal honor mereka tingkatnya belum sampai hakikat. Artinya bukan hakikatnya honor, namun honor yang sama dengan yang lain, yang bekerja lebih lama dan lebih tekun.

Bila mereka melakukan semuanya ini dengan enjoy, tidak ada rasa bersalah pada diri sendiri dan teman sejawat, itu pertanda mereka memang sudah menumbuhkembangkan suatu kebiasaan yang membuat mereka kehilangan rasa malu dan hati nurani. Tidak usah heran, di republik ini banyak orang seperti ini. Tak peduli mereka itu pemulung, pelacur, politisi, pejabat, jenderal, bahkan profesor.

KEBIASAAN MEMANG MEMENGARUHI DAN MEMBENTUK KITA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd