Pertanyaan kerap menggelitik. Seorang mahasiswa asal Korea Selatan yang belajar bahasa Indonesia bertanya, apa beda hajat hidup orang banyak, hajatan, dan buang hajat? Bagi kita yang berbahasa ibu bahasa Indonesia atau yang terbiasa menggunakan bahasa Indonesia mungkin menganggap pertanyaan ini agak lebay. Koq begitu aja ditanyain? Ya, bagi kita sudah jelas dengan sendirinya. Namun, mesti disadari, bahasa itu mudah hanya bagi penggunanya. Bagi orang lain yang memiliki latar belakang bahasa lain, apalagi yang sungguh tidak memiliki kesamaan, persoalannya berbeda sama sekali.
Tatkala banjir sedang menyerbu sebagian wilayah Indonesia sekarang ini, tampaknya bisa digunakan untuk menjelaskan makna kata hajat itu secara lebih kontekstual. Sebab banjir kelihatannya bisa memiliki kaitan erat dengan kata hajat.
Banjir telah mengganggu hajat hidup orang banyak. Mereka yang rumahnya terkena banjir, terutama yang berada di bantaran kali harus boyong ke pengungsian yang tidak dipersiapkan dengan baik. Pastilah di pengungsian tidak mudah memenuhi hajat hidup yang utama, bahkan buang hajat pun sulit.
Banjir merendam sawah ladang yang menghasilkan padi dan sayur mayur. Juga memacetkan, bahkan memutus jalur-jalur jalan yang penting seperti Pantura. Akibatnya harga sayur dan bahan pokok lain mulai berayun-ayun dan melambung tinggi. Maknanya, hajat hidup orang banyak sungguh terganggu.
Menariknya, dalam situasi seperti ini, Presiden SBY sibuk memberi perintah kepada para kepala daerah agar bersiap menghadapi bencana. Sementara itu, terkait dengan erupsi Sinabung yang sudah berlangsung berbulan-bulan, dan menyebabkan puluhan ribu rakyat mengungsi, serta hidup menderita di pengungsian, Presiden SBY baru sempat menyambanginya. Rupanya dia lebih tertarik datang ke Bali ngurusin partainya daripada ke pengungsian korban erupsi Sinabung. Tentu banyak alesan yang bisa dikemukakan sebagai pembelaan diri, sebagaimana sudah dilakukan juru bicara presiden. Tetapi, anak smp yang pernah bertanya pada Bu Ani di jejaring sosial, bisa bilang, " Itu kan cuma alesan!" Bandingkan bagaimana respon cepat kilat Presiden SBY dalam soal hukum yang menyangkut ketua umum partainya si Annas. Sampai-sampai harus buat keterangan pers khusus saat kunjungan kenegaraan di Jepang. Barangkali memang susah bagi seorang presiden menentukan prioritas. Mestinya, dia bersikap sama saat kadernya si Sutan diperiksa KPK.
Sisi lain yang ditunjukkan oleh bencana banjir yang menyangkut hajat hidup orang banyak adalah kesungguhan pemerintah merespon dampak luas dari bencana, khususnya terkait dengan Pantura.
Di semua tempat yang dilanda banjir tampak betul antisipasinya terbata-bata atau tergagap-gagap. Kesannya, penanganannya bersifat instan. Konsekuensinya jadi serba kurang. Padahal ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Keadaan inilah yang antara lain membuat korban banjir memilih bertahan di kediamannya meskipun sangat berbahaya.
Padahal, bencana banjir bukan saja bisa diprediksi, tetapi sangat rutin terjadi. Namun, model antisipasinya sangat spontan. Lihat saja pemilihan tempat mengungsi dan fasilitasnya. Setiap kali terjadi banjir, cara menghadapinya selalu seperti banjir itu terjadi pertama kali. Jadi tampak lebih buruk dari keledai. Keledai kan tidak jatuh ke lubang yang sama dua kali. Sementara antisipasi banjir selalu mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali, terus menerus.
Tentulah pemerintah telah merumuskan sistem penanganan bencana yang telah teruji. Namun, jika banjir itu hadir, kita tidak melihat sistem itu bekerja dengan baik.
Sebagai relawan yang pernah bekerja sangat lama di berbagai tempat bencana seperti tsunami Aceh, dan erupsi Merapi, saya berani menegaskan, kuatnya pasung birokrasi dan tingginya ego sektorall adalah hambatan utama penanganan bencana. Boleh jadi tiap sektor ingin menunjukkan tanggung jawab dan kerja kerasnya. Tetapi mereka lupa, bekerja bersama dengan terstruktur pasti lebih efektif dan bermakna. Tentulah keadaan ini sangat memprihatinkan karena menyangkut hajat hidup orang banyak yang telah kehilangan apa pun karena bencana.
Mari kita tilik soal jalan Pantura. Para ahli sudah berkali-kali berpendapat bahwa pemeliharaan dan perbaikannya dengan model tambal sulam menggunakan pendekatan proyek terbukti sangat tidak efektif dan menghamburkan uang negara yang tidak sedikit. Biaya pemeliharaan dan perbaikan jalan Pantura sangat besar. Dalam kaitan ini anggota BPK Ali Masykur Musa mencurigai besarnya anggaran yang disediakan setiap tahun pula. Fitra menemukan Rp 256 milyar digunakan memperbaiki jalur yang sama selama tiga tahun (Tempo.co. 18.07.2013).
Anehnya setiap kali banjir datang, jalur Pantura pasti mengalami gangguan berat seperti terjadi beberapa hari lalu. Jalur Pantura sungguh tak berfungsi, remuk dihantam banjir. Segera saja harga bahan pokok yang merupakan hajat hidup orang banyak melambung. Rakyat jadi korban. Mestinya Amien Rais menegur kadernya Hatta Rajasa untuk meminta maaf kepada rakyat Jawa yang terganggu perekonomiannya. Karena di televisi Hatta sebagai menko perekonomian menjamin kebutuhan bahan pokok aman dan terkendali. Buktinya pada naik melambung tinggi.
Kita semua tahu jalur Pantura adalah urat nadi perekonomian di Pulau Jawa. Namun, selalu bermasalah dan memunculkan masalah. Khusunya di musim banjir. Siapa pun yang jadi Presiden Indonesia, masalah jalan Pantura tak pernah selesai. Negara kayak apa ini?
Banjir memang sangat mengganggu hajat hidup orang banyak. Antisipasinya yang buruk meningkatkan gangguan itu jadi penderitaan. Oleh sebab itu, pernyatan Menteri PU Djoko Kirmanto, masyarakat jangan manja-manja. Jangan hanya mengandalkan pemerintah jika terjadi bencana ( Merdeka.com, 22.01.2014). Sungguh aneh bener. Di tengah penderitaan rakyat yang meluas antara lain karena sejumlah fasilitas umum yang menjadi tanggungjawabnya pada jebol, tentulah pernyataannya amat sangat tidak empatis. Apa orang ini tidak faham soal kewajiban pemerintah, dan kondisi rakyat yang sesungguhnya. Terlalu! Ini seperti pementasan ludruk yang bukan saja tidak lucu, tetapi memuakkan dan menjijikkan!!! Pak Menteri, tidur la biar semalam saja di tenda pengungsian banjir. Anda akan tahu, keadaan yang sesungguhnya. Dan jangan pengungsian di rekayasa karena pejabat mau datang. Agar Anda tahu saja, rakyat Indonesia sudah sangat terbiasa menderita, terutama dalam sepuluh tahun terakhir ini!
Bencana banjir, pastilah juga memberi celah pada cerita yang unik dan mengandung remah kebahagiaan. Sejumlah televisi memberitakan adanya keluarga yang menyelenggarakan hajatan di tengah banjir berupa resepsi pernikahan. Tentu saja unik dan mengharukan. Kedua mempelai menggunakan pakaian pengantin yang indah dan berdiri menerima ucapan selamat dengan kaki terendam air sampai selutut.
Para tamu juga terlihat gembira dengan baju yang rapih dan indah, menikmati makanan dengan kaki terendam di derasnya arus banjir. Ini rasa syukur yang asyik. Hajatan tetap dilaksanakan boleh jadi karena mereka berfikir, mengapa harus mengalah pada banjir. Toh, orang bisa tetap bahagia di tengah dan bersama bencana.
Tetapi persoalannya adalah, apa bisa tetap bahagia jika sangat sulit untuk buang hajat. Ini masalah klasik selama banjir. Semua kakus tenggelam, meski banyak air tetapi tidak ada air bersih untuk membersihkan alias cebok. Mau buang hajat di mana. Tidak setiap orang sampai hati buang hajat di derasnya arus air. Belum lagi produksi buang hajat yang menyebar dan ngambang di mana-mana. Masalah ini semakin akut di pengungsian. Sebab di pagi hari biasanya kebanyakan orang hendak buang hajat pada saat bersamaan. Tempat terbatas dan air bersih sangat kurang.
Ada baiknya bila sempat, setelah buang hajat dan bersih-bersih, lakukan shalat hajat. Memohon pada Allah agar bencana banjir ini segera berlalu, dan para pemimpin menemukan solusi agar banjir tak lagi bertamu tahun depan.
BENCANA MELEKAT DALAM HIDUP MANUSIA, HADAPI DENGAN SABAR DAN BERANI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd