(untuk Denisa yang sedang jatuh cinta)
Cinta itu luar biasa. Cinta slalu indah dan mempesona. Cinta bisa membangkitkan semangat dan memberikan kebahagian. Cinta mampu mendorong manusia untuk mengatasi berbagai rintangan, bahkan melampaui beragam keterbatasan yang melekat pada manusia. Cinta mewariskan banyak cerita yang menggetarkan hati tentang pengorbanan manusia atas nama cinta. Cinta sungguh menghiasi manusia dengan kemuliaan.
Tetapi mengapa cinta yang indah dan mempesona itu juga bisa memunculkan cerita sedih yang bukan saja tragis, bahkan menjijikkan? Mengapa bisa terjadi seorang suami yang sangat mencintai istrinya, memutilasi dan membuang potongan tubuh istrinya ke tempat sampah? Apa yang ada dalam fikiran seorang istri yang memutilasi dan melemparkan potongan tubuh suaminya ke timbunan sampah di kali?
Mengapa cinta yang indah itu bisa berakhir dengan sangat tragis, menjijikkan, dan mengerikan?
Marilah sejenak kita longok apa yang tersimpan di dalam batok kepala kita semua. Di dalamnya ada otak, pusat pengendali utama tubuh dan perilaku kita. Ada milyaran sel dan syaraf yang sambung menyambung menjadi kesatuan yang utuh. Penelitian otak mutakhir membuktikan bahwa waktu di dalam kandungan ibu otak kita tumbuh dengan sangat cepat. Ternyata bagian otak yang mengendalikan fikiran rasional tumbuh paling belakang, karena itu dinamakan neokorteks atau bagian yang baru. Disebut baru karena melengkapi sistem limbik, pusat kendali emosi yang lebih dulu tumbuh kembang.
Fakta ini tentu saja menjungkirbalikkan keyakinan yang sudah sangat lama diyakini yaitu manusia adalah makhluk rasional yang memiliki emosi. Pada zaman kuno, Plato menegaskan, ide manusialah yang bisa mengenali hakikat. Sementara bapak filsafat moderen Rene Descartes terkenal karena rumusannya yaitu cogito ergo sum, aku ada karena akau berfikir, ya manusia adalah makhluk yang berfikir, makhluk rasional. Fakta tumbuh kembang otak dalam rahim ternyata membuktikan bahwa sesungguhnya manusia adalah makhluk emosional yang memiliki rasio. Beberapa ahli neurosains menyebut emosi merupakan bahan bakar bagi rasio, bahkan bagi manusia. Artinya emosi lebih menentukan dibanding rasio. Emosi bahkan bisa membajak rasio. Saat orang marah tak terkendali, apalagi sampai membunuh orang. Itulah saat emosi membajak rasio. Emosi membuat rasio tidak dapat bekerja. Emosi yang terlalu, seperti marah yang terlalu, sedih yang terlalu, gembira yang terlalu, membuat kita tak bisa menguasai diri. Sebab rasio kurang atau bahkan tidak berfungsi.
Temuan inilah yang menjadi fondamen dirumuskannya konsep kecerdasan emosional. Kini semakin terbukti manusia yang memiliki kecerdasan emosional lebih berhasil dalam menempuh ujian hidup, meski bisa saja mereka gagal menempuh ujian nasional yang sangat kognitif-intelektual sifatnya. Sebaliknya mereka yang berhasil menempuh ujian dalam lembaga pendidikan formal, seperti berhasil dalam ujian terbuka menjadi doktor, ditambah lagi gelar profesor, gagal menempuh ujian hidup. Akhirnya masuk penjara karena korupsi.
Penelitian lanjutan telah melahirkan kecerdasan majemuk, dan pelangi kecerdasan yang memunculkan kecerdasan spiritual. Keseluruhannya menunjukkan bahwa rasionalitas bukanlah penentu satu-satunya keberhasilan manusia dalam hidup, seperti yang selama ini diyakini banyak orang.
Lantas, apa hubungan semua temuan penelitian ini dengan cinta dan ketragisan ?
Cinta adalah persoalan emosi atau rasa, itulah sebabnya kita terbiasa dengan istilah rasa cinta. Apakah Anda pernah mendengar atau terbiasa dengan ungkapan nalar cinta atau rasio cinta? Malah kita akrab dengan istilah cinta buta dan cemburu buta. Bila kita sedang mencintai seseorang sebutannya adalah jatuh cinta. Jika ada yang jatuh cinta, maka akibatnya ada yang ketiban cinta. Jatuh pastilah terhuyung-huyung dan gak konsen, manalah bisa mikir. Istilah yang juga populer adalah cinta pada pandangan pertama, karena berlangsung cepat, gak sempet mikir pasti. Ada lagi istilah cinta monyet. Monyet kan gak bisa mikir. Semua istilah itu lebih dekat ke emosi atau rasa daripada rasio. Semua ini menegaskan, dalam kawasan cinta betapa emosi dominan dan memegang peranan penting, serta cenderung mengendalikan rasio.
Kebanyakan kita merupakan manusia biasa dengan kemampuan rata-rata. Karena itu rasanya belum bisa menghayati dan mempraktikkan cinta platonis seperti yang ditunjukkan penyair terkenal Kahlil Gibran. Gibran sangat mencintai seorang wanita, tetapi tidak pernah ketemu wanita itu. Rasa cinta membuatnya mampu menciptakan syair yang indah. Baginya cinta tak harus memiliki, tak harus berbalas cinta. Dia bersedia melakukan apapun untuk membahagiakan wanita yang dicintainya. Cinta tanpa rasa cemburu. Cinta yang hanya berisi pujian dan doa agar yang dicintai mendapatkan kebahagian. Inilah cinta platonis, cinta idealis. Cinta tanpa emosi negatif. Satu-satunya harapan yang muncul adalah, semoga orang yang dicintai berbahagia.
Kebanyakan kita menghayati cinta dengan cara yang sangat biasa. Tidak idealis seperti cinta platonisnya si Gibran. Cinta kita adalah cinta yang realistis. Bila kita mencintai seseorang, kita berharap orang tersebut juga mencintai kita. Jika itu tidak terjadi, betapa kita sangat keciwa. Cinta kita disesakpadati oleh berbagai harapan. Bila kita mencintai, kita berfikir dan berharap orang yang dicintai harus dimiliki. Kadang bukan saling memiliki, tetapi memiliki, seperti kita memiliki sepatu yang bisa diperlakukan seenaknya. Tidak mungkin kan kita saling memiliki dengan sepatu. Saling memiliki itu hanya berlaku antara manusia.
Nah, saat berbagai harapan itu tidak terpenuhi , cinta mulai menggoreskan luka. Kita tahu, luka karena cinta nyerinya di hati lebih perih dibandingkan tulang tertusuk besi bergerigi. Tajam tak bertepi, kata Bimbo. Pada situasi inilah kerap kali setiap kita bisa kehilangan kendali diri. Kenyerian itu bertambah parah bila dalam cinta ada pengkhianatan.
Orang yang memiliki kecerdasan emosional mungkin bisa atasi pedih perih karena cinta dengan sabar. Meski sangat mengoyakmoyak hati. Tetapi banyak di antara kita bertipe "sumbu pendek" alias cepat terbakar emosi. Padahal kita tahu, emosi adalah bahan bakar yang siap membakar dan meledakkan apa saja. Saat inilah mungkin sangat terasa bahwa cinta kita adalah "api yang membakar tungku".
Harapan yang menyesakpadati cinta adalah pemantik api yang bisa menghangatkan dan melahirkan cerita romantis tentang cinta yang indah. Juga bisa membakar habis tanpa ampun dan hanya meninggalkan puing-puing kehancuran, debu yang berserakan, dan luka bakar bahkan sampai ke bagian hati paling dalam. Harapan yang tak terujud bisa menggerakkan tangan sang suami atau istri untuk merajang cincang tubuh pasangan yang dulu dicintai.
CINTA MEMANG KEKUATAN PERKASA YANG BISA MEMEKARKAN DAN MENGHANCURKAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd