Senin, 06 Januari 2014

Sudah Bingung Ya?

Tampaknya ini bukan kebetulan. Masih ingat, dulu menjelang pemilu, pemerintah SBY menurunkan harga bbm,dan keputusan itu dijadikan komoditi kampanye pemilu? Mau diulangi lagi sekarang? Anas Urbaningrum, mantan ketua umum partai demokrat, yang terjeratsangkut kasus korupsi Hambalang bersama banyak kader partai demokrat lainnya, menyebut kenaikan gas elpiji sebagai opera sabun. Pernyataan Anas tidak bisa diremehkan. Sebab, dia pernah jadi ketua umum partai demokrat dan pernah dekat dengan SBY. Artinya, Anas pernah ikut menyusun strategi pemenangan pemilu partai demokrat.

Rasanya kebanyakan rakyat Indonesia sudah sangat cerdas dan tak bisa dikibuli dengan strategi konyol itu. Atau dengan cara lain bisa ditegaskan, hanya orang pendek akal yang masih bisa terpengaruh dengan strategi pura-pura berfihak pada rakyat seperti yang dipertontonkan sepanjang hari minggu di awal Januari ini. Tragisnya, mengapa hajat hidup orang banyak dijadikan komoditi politik untuk tujuan jangka pendek, sekadar untuk menaikkan citra yang lagi terpuruk. Apa mungkin orang-orang di Pertamina begitu beraninya mengambil keputusan yang tidak memperhitungkan kondisi nyata masyarakat yang daya belinya rendah? Apa pemerintah begitu lemah, sehingga sebuah korporasi yang ada dalam kuasanya bisa seenaknya?

Menariknya adalah, para menteri saling tuding di televisi, disusul dengan sikap partai para menteri yang ramai-ramai tidak setuju harga elpiji naik. Apa presiden memang sudah tidak punya kendali terhadap menteri, atau tatakelola pemerintahan memang semrawut karena kepentingan partai dan pribadi menteri yang pengen ikutan pemilihan presiden lebih menonjol? Bukan kali ini saja para menteri saling tuding.

Pada kala KPK membongkar kejahatan terkait impor sapi yang melibatkan presiden PKS, para menteri dan partai politiknya saling tuding di televisi. Sibuk cuci tangan, padahal yang belepotan wajahnya, bukan tangannya. Begitupun saat ada pekan kondom. Para menteri malah saling kecam. Tampak betul kepentingan partai lebih didahulukan daripada kepentingan rakyat banyak. Sedangkan kepentingan rakyat banyak cuma jadi komoditi politik untuk pencitraan, bukan diurusi dengan sistematis, terstruktur dan terukur. Sungguh panggung dagelan yang tidak lucu. Tidak mengejutkan bila hasil survey menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik di bawah sepuluh persen.

Bila masyarakat semakin tidak percaya pada partai politik dan menyatakan pemerintahan SBY ini sangat menonjol kebimbangan dan kebingungannya, rasanya tidak mengejutkan. Kenang kembali bagaimana sikap pemerintah saat mau menaikkan harga bbm. Sikap maju-mundur dan tidak adanya keputusan dalam jangka panjang telah menimbulkan ketidakpastian, dan berkembangnya spekulasi yang diikuti berbagai kejahatan seperti praktik penimbunan bbm. Sementara itu harga bahan-bahan pokok berkali-kali naik. Dalam situasi tidak pasti itu, pemerintah berkali-kali menyodorkan beragam alternatif yang akhirnya tidak digunakan. Kesannya berbagai alternatif itu bukan hasil pemikiran mendalam untuk mencari solusi terbaik bagi problem yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Kelihatan betul coba-cobanya. Ujung-ujungnya pemerintah memilih keputusan menaikkan harga. Tentu saja menaikkan harga adalah keputusan yang paling mudah dan merupakan copy paste terhadap kebijakan yang dahulu dilakukan oleh rezim otoriter orde baru. Artinya semua masukan dari masyarakat akhirnya diabaikan.

Bertolak belakang dengan cara pengambilan keputusan kenaikan harga bbm yang berlarut-larut berkepanjangan, mendadak sontak saat sebagian rakyat Indonesia masih terkantuk-kantuk karena begadang menyambut tahun baru, pertamina menaikkan harga gas elpiji tabung 12 kg. Tak tanggung-tanggung mendekati angka 70 persen, dengan alasan selama ini pertamina merugi. Kontan saja, suara protes dan marah datang dari semua penjuru angin. Melihat reaksi keras masyarakat, dilakukan rapat terbatas di kantor wakil presiden secara mendadak. Besoknya presiden ikutan bersuara keras.

Pertanyaan kita adalah, bagaimana cara pemerintah ini mengelola hajat hidup rakyat banyak. Seburuk itukah, sampai orang nomor satu di republik ini tidak tahu? Buru-buru, kader partai penguasa bilang, presiden tidak diberi tahu. Menyusul kemudian sesjennya bilang, partai penguasa tidak setuju kenaikan harga elpiji 12 kg. Keputusan yang begitu penting, menyangkut rakyat banyak dan berpotensi menimbulkan gejolak dibuat secara mendadak tanpa setahu presiden? Apa iya? Sementara itu kader partai Hanura bersuara lantang. Tegas menyatakan bahwa ada partai yang diuntungkan dengan kenaikan harga itu. Untuk biaya pemilu katanya. Mosok sih?

Bila benar presiden baru tahu setelah harga naik, kita harus menilai ulang secara fundamental sistem tatakelola negara ini. Para pengelola pemerintah, juga pengelola perusahaan yang merupakan milik pemerintah harus dengan keras diingatkan. Negara ini memiliki UUD yang secara jelas menegaskan tentang kewajiban negara dan pemerintah terkait hajat hidup orang banyak. Bisa jadi, ada potensi pelanggaran UUD dalam peristiwa ini yang sangat aneh ini.

Sungguh kejadian ini sangat mengerikan. Hajat hidup orang banyak sepenuhnya dikelola dengan tatacara kapitalis yang hanya berorientasi keuntungan.

Dan yang lebih memprihatinkan, sejauh ini pemerintahan Semakin Butek Yo...gagal memanfaatkan kesempatan berkuasa selama dua periode untuk membangun suatu sistem energi nasional yang berkualitas dan berkeadilan. Sehingga sedikit saja ada gejolak harga di tingkat internasional, negara bangsa ini selalu berada dalam posisi seperti telur di ujung pistol. Akibatnya berbagai kebijakan yang telah diupayakan dengan susah payah untuk memperbaiki kesejateraan rakyat, bisa berantakan jika terjadi fluktuasi harga energi. Itu antara lain terbukti dari meningkatnya angka kemiskinan mendekati 500 ribu jiwa pada masa akhir pemerintahan ini.

Mestinya kejadian ini, dan tertangkap tangannya pengelola SKK Migas oleh KPK bisa menjadi jalan masuk bagi KPK untuk membongkar semua misteri pengelolaan energi di negeri ini. Rasanya bukan rahasia lagi, besarnya uang yang dihasilkan dalam bisnis energi selalu terkait sangat erat dengan kuasa dan pembiayaannya.

Pengelolaan dana energi harus sangat transparan, karena menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Karena,

TANPA TRANSPARANSI DAN TATAKELOLA YANG PASTI SERTA TERUKUR, NEGERI INI AKAN JADI ATM PENGUASA TAK BERBUDI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd