Rabu, 29 Januari 2014

KAKUS DAN MASA DEPAN PERADABAN (4)

Kakus adalah sosialita.

Pemukiman kumuh ini adalah tempat tinggal orang-orang usiran dari berbagai tempat kumuh yang tersebar. Di tempat tinggal mereka yang lama telah dibangun pusat perbelanjaan moderen dan kompleks pertokoan, serta hotel mewah. Pemukiman ini dekat dengan stasiun kereta dan memanjang tepat di sebelah rel kereta.

PemukIman ini dua pertiga luasnya adalah empang. Gubuk-gubuk dari berbagai kayu, tripleks dan seng bekas dibangun di atas empang. Dibangun secara sangat sembarangan, sehingga banyak yang saling menutupi jalan yang juga dibuat dari kayu bekas dan tutup drum. Akibatnya jalan keluar masuk ke gubuk jadi muter-muter.

Mereka dengan sengaja membuang sampah apa saja ke empang, bahkan mebiarkan tempat tinggalnya dijadikan tempat pembuangan sampah dari pemukiman lain agar empangnya makin tertutup dan pelan-pelan jadi daratan. Jika menjadi daratan tentulah lebih mudah dan murah membangun gubuk.

Meski empang, pemukiman yang biasa disebut Kebun Sayur ini sangat padat. Hampir semua kuli dan pekerja kasar lainnya yang bekerja di pusat perbelanjaan dan pertokoan yang dekat dengan pemukiman ini, tinggal di sini. Pengojek sepeda yang beroperasi di sekitar stasiun kereta juga mukim di sini. Seluruh penduduk di pemukiman ini adalah wong cilik yang bekerja sebagai tukang bajaj, kernet truk, satpam, pemulung, pengasong, tukang parkir liar, tukang tambal ban, tukang kebersihan, dan pekerjaan kecil lainnya.

Anak-anak kecil jika hendak buang hajat biasanya tinggal nongkrong di pinggir jalan di depan gubuk, kotorannya langsung jatuh ke empang. Orang tidak mungkin membuat kakus di gubuk masing-masing. Sebab ukuran gubuk memang kecil-kecil, yang paling besar adalah 4x5 meter, pada umumnya 3x3 meter, dalam jumlah yang lebih sedikit ada yang berukuran 2x2 meter. Gubuk-gubuk ukuran kecil ini biasanya dihuni sejumlah lelaki yang bekerja sebagai buruh bangunan, atau para wanita yang bekerja sebagai pelayan di pusat perbelanjaan itu.

Bagi orang dewasa disediakan 'helikopter' sebutan untuk kakus yang berdiri di atas empang. Kakus itu terbuka. Di satu lokasi kakusnya bisa berjumlah sampai dua belas. Dinding kiri, kanan, dan belakang tingginya lebih kurang 40-50 cm, di depan sekitar 20 cm. Kakus itu berjejer. Bila orang berjongkok, kepalanya melampaui dinding. Jadi mereka bisa ngobrol sewaktu buang hajat. Tidak ada perbedaan kakus perempuan dan lelaki. Bila pagi hari, di kakus yang berjejer itu berselang-seling perempuan dan lelaki. Mereka terbiasa ngobrol bareng-bareng bila sedang buang hajat. Karena itu sering terdengar tertawa renyah dan saling ledek. Biasanya obrolan semakin ramai karena yang sedang menunggu mau buang hajat berdiri di depan yang buang hajat dan ikutan ngobrol. Anak-anak muda di situ menyebut suasana pagi ini dengan istilah konprensi. Menariknya, tidak ada air bersih di situ. Mereka cebok di sumur atau di gubuk masing-masing. Jarak dari kakus ini ke sumur lebih kurang 75 meter.

Helikopter ini terdapat di beberapa lokasi di atas empang. Dalam situasi normal, tinja langsung jatuh dan berada di sekitar empang. Bila musim hujan, air empang naik dan bergerak, tinja berseliweran mengikuti arus air, menyebar ke seluruh bagian empang bersama sampah. Pemukiman padat itu jadi makin kumuh. Bau sampah dan kotoran berpadu menjadi satu.

Bila musim panas baunya nendang bangets. Air empang menjadi surut bahkan kering. Tinja di bawah helikopter membentuk bukit-bukit kecil dengan ketinggian yang berbeda-beda, yang satu lebih tinggi dari yang lain. Ada ribuan lalat, terutama laler ijo yang berpesta pora di bukit-bukit tinja itu. Dari kejauhan warna bukit tinja itu hitam oleh banyaknya lalat. Lalat-lalat itu kemudian terbang berkeliling dan mendarat di berbagai makanan yang biasanya terbuka di warung-warung makanan di pemukiman itu. Pastilah berbagai kuman tersebar ke berbagai penjuru bersama lalat-lalat itu. Penduduk dari berbagai usia sering mendapat serangan fajar, sebutan untuk buang-buang air di pagi hari atau diare.

Seluruh penduduk sudah sangat terbiasa dengan kekumuhan, kejorokan dan bau busuk yang menyebar ke mana-mana. Begitu terbiasanya sampai-sampai mereka sudah tidak lagi merasakan bau yang menyebar. Pemukiman ini sungguh menjadi syurga bagi lalat, laler ijo, kecoa, dan tikus. Penduduk hidup damai berdampingan dengan binatang-binatang penyebar penyakit itu.

Dua puluh tahun lebih berlalu. Pemukiman itu tambah padat. Bedanya kini empang berganti daratan. Banyak gubuk dibuat bertingkat. Kakus sudah diberi dinding dan dikelola oleh beberapa orang. Kakus tetap berderet dengan jumlah 5-12 pintu. Kini di kakus disediakan air tanah yang disedot dengan pompa air listrik. Bila pagi orang ramai bergerombol di sekitar kakus. Sambil nunggu, mereka ngobrol. Kakus tetap menjadi ajang sosialita.

Secara keseluruhan pemukiman ini tetap kumuh, jorok dan dipenuhi binatang penyebar penyakit. Bila musim hujan, terjadi banjir. Kotoran manusia dan sampah kembali menyebar ke seluruh pemukiman. Apalagi banjir pada awal 2014 ini yang terjadi berkali-kali sampai menenggelamkan rel kereta. Kotoran manusia yang menumpuk di sekitar rel kereta menyebar ke mana-mana. Pemukiman ini sudah dipenuhi oleh generasi kedua yang kini sudah berusia remaja, tetapi kakus dan kekumuhan tetap merupakan masalah. Ini bermakna,

KAKUS TETAP MENJADI MASALAH PADA KELAMPAUAN DAN KEKINIAN ORANG-ORANG PINGGIRAN INI, TAMPAKNYA JUGA PADA KEAKANNANYA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd