Kakus memang telah menjadi pemicu masalah. Terutama di pemukiman masyarakat yang tergolong miskin. Namun, jangan dikira tak ada cerita lain yang menampilkan sisi berbeda dari kakus.
Cerita ini merupakan temuan penelitian kualitatif yang mengharuskan peneliti hidup bersama dengan komunitas yang diteliti. Penghayatan terhadap keberadaan kakus ternyata menyimpan banyak cerita yang sangat mengesankan.
Siapa yang jorok?
Penduduk di pulau kecil ini tak mau membuat kakus di rumah. Mereka memilih buang hajat di bagian pantai yang telah disepakati sebagai kakus penduduk. Kakus pantai ini dibagi dua bagian, untuk perempuan dan lelaki. Namun jaraknya cukup dekat, begitu dekatnya sampai-sampai yang buang hajat bisa nyambi ngobrol. Hanya di bagian pantai ini saja orang diperkenankan buang hajat. Tidak boleh di tempat lain.
Mereka yang rumahnya dekat dengan kakus pantai ini tentu diuntungkan. Pada malam hari, apalagi sedang hujan, mereka bisa kebih mudah menuju ke situ. Namun pada musim hujan dan kemarau kadang agak terganggu. Sewaktu hujan apalagi disertai pasang naik, tinja-tinja berbagai ukuran, bentuk dan warna bisa nyampe bareng-bareng ke rumah. Bila musim kemarau, aromanya yang menyengat dibawa angin sepoi sampai juga ke rumah-rumah terdekat.
Sedangkan yang rumahnya jauh biasanya agak sulit buang hajat pada malam hari, apalagi hujan deras. Juga agak mengganggu, sebab agak jauh berjalan untuk mengulangi cebok dengan air tawar. Cebok pertama tentulah menggunakan air laut yang asing dan lengket. Hidup memang begini, selalu memberi pilihan yang tidak selalu menyenangkan. Jauh terganggu, deket juga terganggu, meskipun bentuk gangguannya berbeda.
Kebiasan penduduk ini dikecam oleh para guru yang berasal dari luar pulau. Mereka menyebut penduduk jorok karena tidak mau membuat kakus di rumah dan lebih memilih buang hajat di pantai. Sedangkan para guru yang tinggal di asrama, dan perumahan guru memiliki kakus di rumah masing-masing. Tentu saja lebih menyenangkan, apapun cuacanya.
Para penduduk juga menilai para guru itu jorok karena buang hajat di kakus yang berada di dalam rumah, dan buanggannya dikumpulkan di septik tank dekat rumah.
Sebenarnya siapa yang jorok?
Sejumlah penduduk dari berbagai usia, latar belakang, perempuan dan lelaki diwawancara secara mendalam. Jawaban mereka tentulah berbeda kalimatnya. Namun secara substansial memiliki sangat banyak kesamaan. Secara ringkas inilah jawaban mereka. Kakus di tepi pantai itu sebenarnya sangat tidak menyenangkan, apalagi jika malam dan musim hujan. Tidak sedikit penduduk mengalami kecelakaan. Ada yang terpeleset, jatuh terjerembab, nginjak tinja, bahkan yang 'ulernya' digigit ular. Jadi lebih enak bila punya kakus di rumah. Tetapi pulau ini sangat kecil, pohon-pohonnya juga tidak banyak. Bila semua orang punya kakus di rumah dan membuat septik tank, itu artinya kita semua akan minum, memasak, mandi, dan, mencuci dengan air rembesan kotoran. Di pulau kecil ini kita mengandalkan air tanah dan air hujan. Air tanah andalan utama, karena hujan kan ada musimnya. Kalau kakus di pantai, kotorannya kan dibawa ke tengah laut dan bisa jadi makanan ikan, ikannya di makan orang Jakarta. Lihat guru-guru ambil itu, mereka menggunakan air dari tanah, padahal pompa airnya tidak jauh dari septik tank. Kami tidak mau seperti orang Jakarta yang menggunakan air tanah yang banyak septik tanknya.
Penduduk asli tersebut tidak berpendidikan dan tidak sepinter para guru, tetapi kesadaran dan penghayatan ekologis mereka tampaknya lebih visioner dan holistik-integratif dibandingkan para guru. Alam telah mengajarkan pada mereka bagaimana seharusnya bersikap bila hidup di pulau yang serba sangat terbatas ini. Air bersih yang berasal dari tanah adalah harta yang sangat berharga untuk bertahan hidup. Karena itu harus dijaga sekuat tenaga. Sebagai akibatnya dicari solusi menjadikan pantai sebagai kakus. Pantai yang dipilih adalah yang arus airnya sangat deras menjauhi pulau kecil ini. Itu sebabnya mengapa tidak boleh buang hajat di tempat lain. Ini bentuk "local genius" yang bukan saja bijak, juga canggih.
Tapi apa daya, pemerintah meningkatkan status daerah mereka dari kecamatan menjadi kotif atau kota administratif. Dalam kenyataannya pulau itu menjadi kota primitif. Pulau kecil itu dijadikan pusat pemerintahan, dan tujuan wisata. Sungguh kini pulau itu telah sangat berubah, menjadi pulau yang sama sekali berbeda. Penduduk mulai berebutan membangun penginapan bagi pendatang dengan fasilitas kakus moderen seperti di Jakarta. Hampir tak ada lagi tanah terbuka yang cukup lapang. Ada rumah susun yang bertingkat-tingkat. Septik tank memenuhi pulau itu. Penduduk yang rumahnya dekat ke pantai membuat kakus di rumah dan mengalirkan kotorannya langsung ke laut menggunakan paralon. Sampah plastik bungkus makanan pabrikan memenuhi pantai, tentu juga ada kondom yang bekas dipakai. Karena listrik berlebihan, penduduk mulai menggunakan pompa air listrik. Buang hajat di pantai sudah tidak lagi dilakukan. Kakus duduk di rumah menjadi bagian dari gengsi sosial.
Generasi tua yang mulai tertatih-tatih mulai gundah gulana, galau, memikirkan akan jadi apa pulau kecil ini. Anak-anak muda yang dulu suka melaut, bertubuh kekar dan sehat, kini memilih mengelola pariwisata, lebih suka makan pabrikan, naik motor ke sana-kemari di pulau kecil. Itu sebabnya mereka pada gemuk dengan perutnya buncit. Perubahan penempatan kakus dan kebiasaan yang berbeda terkait dengan urusan kakus telah menjadi semacam tanda, penduduk pulau ini memilih hidup yang semakin tidak ekologis, tetapi sangat materialis.
PERPINDAHAN KAKUS KE RUMAH-RUMAH, BISA JADI MERUPAKAN TANDA BAHWA HARI DEPAN MEREKA AKAN TENGGELAM BERSAMA ISI KAKUS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd