Minggu, 12 Januari 2014

KEKUASAAN, KEMULIAAN, DAN KEHINAAN

Engkau beri kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehandaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al Qur'an, 3:26).

Kekuasaan itu datang dari Allah, dan Allah pula yang mencabutnya. Ini hukum baja kekuasaan. Siapa pun tidak dapat mengubahnya.

Jika kita pelajari dengan cermat sejarah panjang manusia terkait dengan kekuasaan, timbul pertanyaan mengapa sering kali terjadi bahwa orang-orang zhalim yang jahat, penuh tipu daya, korup dan kejam selalu memenangkan pertarungan untuk menjadi penguasa? Di Al Qur' an ada cerita tentang Firaun, penguasa yang brani menyatakan dirinya adalah tuhan. Pada bagian lain dikisahkan, seringkali yang menjadi penghalang atau musuh para Nabi dalam membawa pesan-pesan Ilahi adalah para penguasa zhalim. Penguasa dan kekuasaan sepertinya sama dan sebangun dengan kejahatan.

Memang ada juga cerita tentang penguasa yang bijaksana, berfihak kepada kepentingan orang banyak, hidup dalam kesederhanaan, dan wafat meninggalkan nama yang harum. Namun, cerita penguasa baik dan bijak seperti ini sangat jarang, bahkan langka.

Mengapa orang jahat yang menghalalkan segala cara selalu behasil jadi penguasa, dan orang baik dan amanah seringkali kalah dalam pertarungan mendapatkan kekuasaan?

Orang baik tidak pernah mau melanggar apalagi menghancurkan nalar dan aturan moral. Jadi, bukan tidak bisa, tetapi tidak mau! Mereka selalu bertindak rasional-logis dan etis. Mengapa? Sebab orang-orang baik dan amanah sepenuhnya sadar, jika mereka tidak ikuti aturan dan menghalalkan segala cara untuk memperolehdapatkan kekuasaan,  maka kekusaan yang mereka dapatkan dengan cara itu akan menjadi racun dan benalu. Karena ada harga yang harus dibayar untuk penghalalan segala cara itu. Harga yang seringkali tidak sebanding dengan apa yang didapat dari kekuasaan. Mereka sadar betul, jika kekuasaan diperoleh dengan cara-cara yang curang, maka dibutuhkan cara-cara yang lebih curang bahkan menjijikkan untuk membuat kekuasaan itu berfungsi. Mereka selalu dengan kritis mempertanyakan, apakah kekuasaan yang diperoleh dengan cara-cara yang kotor, jahat, dan curang, bisa dilaksanakan dan diimplementasikan dengan baik? Wong memperolehnya saja sudah meluluhlantakkan etika dan menjungkirbalikkan logika.

Orang-orang baik dan amanah secara mendalam faham, kekuasaan bukanlah tujuan. Kekuasaan hanyalah alat atau piranti untuk mewujudkan tujuan-tujuan mulia bagi sebanyak mungkin orang, bagi kepentingan publik. Karena itu jika orang baik akhirnya berkuasa, mereka dapat menahan dan mengelola diri dan keluarga untuk tetap hidup dalam aturan-aturan moral dan kesederhanaan. Dalam konteks Indonesi kita bisa menyebut beberapa nama sebagai contoh yaitu Mohammad Hatta, Muhammad Natsir, Hoegeng, dan M. Jusuf. Sampai hari ini, setelah sekian lama mereka wafat, kita masih sangat menghormati mereka, dan tidak sedikit di antara kita yang mendoakan agar mereka dan keluarganya mendapat perlindungan dan berkah Allah.

Bertentangan dengan orang-orang baik dan amanah yang mencarakan segala yang halal untuk mencapai tujuan, orang-orang jahat dan zhalim hanya punya satu aturan untuk merebut kekuasaan yaitu, tujuan menghalalkan segala cara. Mereka tak perduli pada nalar dan moral. Tak mau tahu dengan logika dan etika. Jangankan berbohong dan memfitnah, membunuh pun mereka tega untuk memperoleh kekuasaan. Bukan sekadar membunuh karakter orang, bahkan membunuh orang.

Bagi orang-orang jahat dan zhalim serta culas, kekuasaan adalah tujuan pada dirinya sendiri. Kekuasaan adalah komoditi yang dimanfaatkan untuk transaksi. Itulah sebabnya untuk membangun kekuatan demi merebut dan mempertahankan kekuasaan, mereka mengedepankan pendekatan transaksional. Rumusannya sederhana, siapa pun yang mau mendapatkan kekuasaan dan jabatan atau rezeki kekuasaan berkumpul bersama saya, dukung saya jadi penguasa.

Si jahat dan zhalim bahkan sering berbuat baik dengan pendekatan transaksional ini. Bagaimana caranya? Jika mereka sedang berkuasa atau memiliki jabatan, maka dimanfaatkanlah jabatan itu untuk berbuat baik atau menolong siapa pun. Tentu saja perbuatan baik itu tidak dilandasi oleh tujuan-tujuan yang mulia. Perbutan baik itu dimaksudkan agar orang merasa berhutang budi. Nanti pada waktunya pastilah si jahat itu menuntut kebaikannya dibayar tunai, biasanya saat terjadi kompetisi untuk mendapatkan jabatan. Tanpa sedikit pun rasa malu, si jahat ini akan memaksa dengan halus atau kasar agar orang-orang yang pernah ditolong atau mendapat kebaikan segera membayarnya dengan mendukun si jahat yang kemaruk itu. Jangan heran orang jahat seperti ini sangat royal dengan perbuatan baik. Meskipun modal atau dana untuk berbuat baik itu biasanya tidak jelas asal-usulnya, atau hasil manipulasi macam-macam sumber dana. Pastilah orang baik dan amanah tidak mau lakukan transaksi yang menjijikkan ini.

Bisa ditebak, siapa yang akan ikut dalam gerbong si jahat dan zhalim ini. Mereka adalah para pecundang berkualitas tikus comberan yang kemaruk jabatan. Mereka tidak pernah perduli dampak dukungannya pada si jahat terhadap kepentingan publik. Kepedulian mereka adalah terpenuhinya kepentingan diri sendiri atau kelompoknya.

Perhatikan dengan seksama orang-orang di sekitar kita. Betapa banyak orang yang tadinya baik dan amanah, tiba-tiba berubah menjadi sangat menjijikkan layaknya kecoa wc saat mereka menjadi pengikut dan pendukung si jahat dan zhalim. Mereka rela menjual idealisme dengan recehan, dan mengorbankan reputasi dan nama baik yang telah dibangun susah payah selama tahun-tahun yang panjang. Begitulah kuatnya pengaruh si jahat yang menghalalkan segala cara itu.

Orang-orang jahat dan zhalim itu biasanya memang memiliki kecanggihan untuk menjungkirbalikkan kebenaran. Kebenaran dimanipulasi menjadi kesalahan, dan kesalahan direkayasa menjadi kebenaran. Itulah sebabnya orang-orang jahat ini pantas diberi predikat dajjali. Artinya mereka adalah keturunan langsung dan menempati atau berada pada lingkaran dalam keluarga dajjal. Mengapa? Karena karakter utama dajjal adalah menjungkirbalikkan kebenaran.

Jika mereka adalah dajjali, tragisnya adalah mengapa banyak orang yang tergolong pintar, bahkan terpelajar bisa menjadi pengikut dan pendukung fanatiknya? Apakah orang-orang pintar dan terpelajar itu begitu dungunya sehingga menjadi pengikut, pendukung dan  pembela dajjali, di mana otak mereka?

Tidak usah heran, pelajarilah sejarah kekuasaan dari zaman dahulu kala sampai zaman Jusuf Kalla. Penguasa zhalim, diktator kejam pemusnah manusia selalu didukung oleh orang-orang paling pintar dalam masyarakatnya. Bacalah Alkitab, siapakah pendukung Pontius Pilatus yang sama sekali tidak menemukan kesalahan Yesus dalam pengadilan yang dipimpinnya sendiri, tetapi memutuskan Yesus harus disalib? Pendukung utamanya adalah para cendekiawan dan agamawan terkemuka. Diktator paling kejam pada zaman modern yaitu Hitler didukung salah seorang filsuf paling cerlang pada zamannya yaitu Martin Heidegger. Zia ul Haq, diktator militer yang kejam menjadi penguasa di Pakistan karena dukungan cendekiawan dan ulama paling berpengaruh. Syah Iran berkuasa dalam jangka panjang antara lain karena dukungan para cerdik pandai paling terkemuka yang berasal dari beragam disiplin ilmu. Para diktator pasti didukung oleh para cerdik pandai terkemuka. Bahkan tidak jarang orang yang sangat cerdas menjadi diktator kejam. Lenin dan Mao Tse Tung adalah contoh yang paling menonjol. Itulah fakta sejarah yang pahit dan tragis. Koq bisa?

Filsuf Jerman Jurgen Habermas mungkin bisa membantu menjawabnya. Habermas menegaskan, banyak orang termasuk kaum cerdik cendekia merendahkan diri dengan cara mendegradasi akal budi yang mulia menjadi akal budi instrumental. Apa pula maksudnya?

Menggunakan bahasa jalanan, akal budi instumental itu adalah akal bulus. Orang-orang pintar dan terpelajar itu telah ditundukkan atau dipunukkan kepentingan dan disandera ambisi rendahan. Akal budinya digunakan sekedar untuk memenuhi kepentingan dan mengejar ambisi rendahan tersebut. Jadi akal budinya hanya mampu bertanya tentang hal-hal teknis seperti, jika aku mendukung orang ini jadi penguasa apakah aku akan mendapat keuntungan? Bagaimana caranya menyusun strategi untuk mendukung penguasa ini agar ambisiku tercapai. Tidak ada lagi kemampuan kritis untuk mempertanyakan, apakah orang yang kudukung ini pantas menjadi penguasa? Apakah orang yang kudukung ini memiliki reputasi yang baik? Apakah cara-cara orang yang kudukung ini mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dan jabatan sesuai dengan aturan moral dan memperhatikan etika? Apakah orang yang kudukung ini sungguh-sungguh memikirkan kepentingan orang banyak atau hanya menjadikan kepentingan orang banyak sebagai komoditi untuk merampok kekuasaan? Akal budi instrumental tidak lagi memiliki ketajaman kritis untuk mempertanyakan. Akal budi instrumental sibuk berkutak dengan pertanyaan teknis, bagaimana? Tidak punya keberanian dan kemampuan untuk bertanya, apa dan mengapa?

Nah, bila si jahat dan zhalim itu, dengan bantuan orang-orang pintar yang telah merendahkan diri dengan akal budi instrumental, akhirnya memperoleh kekuasaan, apakah kekuasaan itu dari Allah. Dengan pahit harus dijawab, ya. Mengerikan ya?

Tunggu dulu. Baca lagi ayat di atas dengan utuh dan cermat. Setelah menjelaskan tentang kekuasaan, ayat itu menjelaskan tentang kemuliaan dan kehinaan. Karena semua kalimat itu berada dalam satu ayat, pastilah kalimat-kalimat itu berhubungan.

Maknanya, bila Allah memberi kekuasaan, apakah kita tahu pemberian itu merupakan anugerah, cobaan, ujian, atau bahkan bencana? Bagi orang jahat yang menghalalkan segala cara, pastilah pemberian itu dirasakan dan dihayati sebagai anugerah.

Sebaiknya kita bersabar untuk menguji atau memverifikasinya. Siapa pun yang diberi kekuasan pada hakikatnya ia diberi kesempatan oleh Allah untuk menjadi mulia atau hina melalui dan dengan kekuasaan itu. Bila ia gunakan kekuasaan itu dengan amanah bagi pencapaian tujuan-tujuan mulia, kekuasaan itu dilaksanakan dengan benar dan adil, maka orang itu memiliki peluang yang sangat besar mendapatkan kemulian bukan hanya di dunia, juga di akhirat. Namun, jika kekuasaan itu cuma dijadikan alat untuk memperkaya diri, keluarga, dan kelompok sendiri, serta memberi kemudharatan bagi orang banyak, dilaksanakan dengan tidak adil dan penuh keculasan, maka si penguasa itu akan mendapatkan kehinaan dunia-akhirat. Tragisnya, sejarah panjang manusia sejak zaman kuno sampai zaman zaman naruto, dari zaman barbar hingga zaman avatar, dipenuhi oleh banyaknya penguasa yang terjerembab dan tenggelam dalam lumpur hina dina karena kezhaliman, keculasan, kerakusan, dan ketidakadilan yang dipraktikkannya. Konsekuensinya,

KEKUASAAN MEMILIKI POTENSI YANG SANGAT BESAR UNTUK MEMBUAT ORANG MENDAPATKAN KEMULIAAN ATAU KEHINAAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd