Bahasa itu penting. Sejumlah filsuf menegaskan bahwa bahasalah yang menunjukkan ciri terpenting manusia, yang secara nyata membedakannya dari makhluk lain. Bahasa sungguh menunjukkan kecanggihan berfikir manusia. Bukankah hanya manusia yang merupakan makhluk yang berbahasa, satu-satunya makhluk yang berbicara?
Melalui dan dalam bahasa, manusia menyimpan kelampauan, menghayati dan memaknai kekinian, serta merencanakan dan mengungkap harapan masa depannya. Apa jadinya bila dunia manusia tanpa bahasa. Tak ada peradaban, tak ada sejarah. Meski bukan piranti yang sempurna, bahasa memungkinkan manusia mengungkapkan diri, berkomunikasi dan berinteraksi, mengembangkan diri dan lingkungannya. Itulah asal mula atau akar kebudayaan dan peradaban.
Mungkin, karena sangat pentingnya bahasa, Pemerintah mendirikan Pusat Bahasa. Tugasnya adalah membina dan mengembangkan Bahasa indonesia. Badan ini ada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Suatu kali pada masa lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaannya bekerja sebagai peneliti di lingkungan ketentaraan sebelum manjadi menteri. Ia sangat peduli pada perkembangan bahasa dan sangat berhasrat untuk mengarahkan perkembangan bahasa. Langkah pertama yang dilakukannya adalah merubah singkatan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari Departemen PdK menjadi Depdikbud. Tampaknya ia lebih suka singkatan yang mudah diucapkan. Ia sudah menerapkan model ini di lingkungan ketentaraan. Boleh jadi model ini cocok di lingkungan ketentaraan, terutama saat menyampaikan laporan pada upacara, yang harus menggunakan bahasa yang pendek dan jelas bunyinya.
Di kementrian, perubahan cara menyingkat ini segera diterima dan langsung diterapkan. Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan disingkat menjadi Dirbud Depdikbud. Sebuah harian besar berskala nasional pernah memberitakan Dirbud Depdikbud dak dik dug menyaksikan debus.
Konon katanya, jadi perlu diverifikasi benar atau salah, menteri itu suatu kali berkunjung ke ITB. Ia disambut demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa. Alasannya sangat sederhana, lagi-lagi konon katanya, menteri ingin ITB mengikuti secara konsisten cara menyingkat seperti yang dillakukan Depdikbud. Dengan demikian Institut Teknologi Bandung tidak disingkat menjadi ITB, tetapi Tut Tek Dung. Mahasiswa sangat marah.
Selama zaman orde baru memang dilakukan upaya sistematis untuk merekayasa bahasa bagi kepentingan kuasa. Pemerintah menciptakan berbagai istilah atau memaksakan makna versi mereka terhadap kata atau istilah yang sudah biasa digunakan dalam masyarakat. Berbagai bukti terhadap rekayasa itu masih bisa diperiksa sekarang ini. Periksa saja bahan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), buku teks mata kuliah Kewiraan, buku teks mata pelajaran dan mata kuliah Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), pidato presiden, dan banyak bahan tulis lain.
Pemerintah waktu itu tampaknya hendak melakukan hegemoni, baik dari segi ideologi maupun cara fikir masyarakat. Hegemoni ideologi dilakukan dengan memaksakan tafsir tunggal terhadap Pancasila yang berujung pada pemaksaan azas tunggal Pancasila yang melahirkan tragedi Tanjung Priok yang merupakan pelanggran HAM berat. Hegemoni cara fikir masyarakat, salah satu caranya dengan melakukan hegemoni pemaknaan. Memberi makna baru pada kata atau istilah yang telah ada, atau menciptakan istilah baru yang maknanya ditentukan oleh pemerintah.
Kebanyakan kita pastilah belum lupa bahwa pada zaman orde baru tidak pernah terjadi kenaikan harga, yang dilakukan pemerintah hanyalah penyesuian harga. Tidak ada seorang pun demonstran anti pemerintah yang pernah ditahan aparat keamanan, yang ada adalah para demonstran tersebut diamankan ke kantor polisi. Istilah buruh tidak boleh digunakan diganti pekerja. Padahal kondisi mereka sama sekali tidak berubah. Pada masa itu tidak ada pelacur, yang ada adalah wanita tunasusila (WTS), yang kemudian berkembang menjadi PSK atau pekerja seks komersial. Mungkin saja ini merupakan cara mengakui profesi pelacur sebagai pekerjaan. Dengan demikian membuka kesempatan bagi legalitas dan pengutipan pajak. Bisa jadi agar dapat dibedakan dengan PSS, pekerja seks sosial yang gratisan, atau bisa dibayar sesukanya.
Pada zaman orde baru, para pengeritik kebijakan pemerintah atau presiden diberi cap sebagai anti Pancasila. Tentu saja tudingan ini sangat aneh karena yang dikritik itu kebijakan, bukan Pancasila sebagai ideologi negara. Rupanya presiden telah mengidentifikasi diri sebagai ujud dari ideologi negara. Inilah cara untuk menghabisi para pengeritik. Jadi ini kesengajaan. Kita tahu, cara ini biasa digunakan oleh penguasa tunggal otoriter di negara komunis. Tidak mengherankan bila dulu Romo Mangunwijaya berani mengatakan orde baru itu komunis praktis. Maksudnya, omongannya anti komunis, tetapi mempraktikkan cara-cara komunis.
Sejatinya demokrasi menghargai perbedaan pendapat. Dalam demokrasi orang bisa bersepakat untuk tidak sepakat. Tetapi penguasa orde baru memaksakan hasil musyawarah itu harus bulat tidak boleh lonjong. Penggunaan istilah bulat dan lonjong tersebut memiliki konsekuensi praktis yang amat mengerikan. Orang yang berbeda pendapat bisa kehilangan jabatan atau hilang untuk selama-lamanya. Jika diurai satu persatu, topik hegemoni pemaknaan ini bisa menghasilkan buku yang sangat tebal.
Tentu saja ada perlawanan terhadap kesewenang orde baru ini. Hegemoni ideologi ditentang oleh sejumlah kelompok Islam dan berakhir dengan tragedi Priok. Sementara perlawanan terhadap hegemoni pemaknaan ini membuat sejumlah majalah dan koran dibredeil, dan sejumlah orang masuk penjara seperti Tri Agus Susanto dan Nuku Sulaeman, keduanya aktivis Pijar.
Karena itu kisah Tut Tek Dung yang diceritakan di atas menjadi menarik, karena menggambarkan perlawanan terhadap hegemoni pemaknaan. Masyarakat harus diberi kebebasan untuk memilih dan menggunakan cara ungkap mereka, memilih kata, istilah, dan penamaan yang sesuai dengan aspirasi dan jati dirinya. Jadi persoalan memberikan makna pada kata bukan sekedar masalah bahasa. Ini soal bagaimana manusia mau memaknakan keberadaannya. Itulah sebabnya, bahasa bukan saja menunjukkan bangsa,
PENGGUNAAN BAHASA BISA MENUNJUKKAN TIPOLOGI KUASA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd