Pertanyaan bisa sangat mengejutkan. Seorang wanita muda asal Australia yang sedang belajar bahasa Indonesia mengajukan pertanyaan, "Padang itu binatang apa?" Aku tidak segera menjawab dan balik bertanya, 'Ketemu kata padang di mana?" Ia langsung menjawab, " Blok M". "Bisa memberi penjelasan?", pintaku. Dengan bahasa Indonesia yang terpatah-patah ia mencoba jelaskan, " Saya pernah makan sate kambing dan sate ayam di Bali. Tadi di Blok M ada tulisan sate padang." "O...ooo. Jelas masalahnya", fikirku.
Bahasa memang penuh kejutan, karena makna kata sering kali lebih licin daripada belut. Sangat tak pasti. Sama sekali tak salah jika wanita bule itu mengira padang itu binatang. Sebab dia sudah lebih dahulu bersua dengan konstruksi sate kambing dan sate ayam. Fikirannya terpatri dengan konstruksi awal, dan dia tentu merasa mesti ada konsistensi di situ.
Bagi kita para pengguna bahasa Indonesia, sudah sangat mahfum bahwa makanan, termasuk sate bisa disebut terkait dengan bahannya, tetapi juga bisa dikenali dengan nama daerah asalnya. Bagi orang asing yang baru belajar, pastilah mereka sama sekali tidak tahu. Kondisi itulah yang memunculkan pertanyaan, padang itu binatang apa?
Seorang pengajar tamu dari Jerman ditelepon mahasiswa. Di tengah pembicaraan, si Jerman bilang, "Mohon maaf ya, saya mau keluar sedikit". Si mahasiswa bingung. Ia menebak-nebak, tu dosen lagi ngapain? Apa yang keluar sedikit? Padahal, maksud si dosen, ia mau keluar sebentar. Ia sama sekali belum bisa menggunakan dengan benar sedikit dan sebentar.
Sementara mahasiswa Korea Selatan yang belajar bahasa Indonesia juga dibuat bingung oleh beberapa konstruksi bahasa Indonesia. Ia bertanya, " Mengapa disebut memasak nasi? Padahal yang dimasak beras? Nasi itu kan hasil akhirnya? Kalau menggoreng nasi atau memasak sayur kan jelas, yang digoreng nasi dan yang dimasak sayur". Memang terasa ada ketidakkonsistenan. Dalam konstruksi memasak nasi, yang dipentingkan adalah hasilnya yaitu nasi. Jadi orientasinya tujuan. Bukan apa yang dimasak. Tetapi dalam menggoreng nasi, fokusnya adalah apa yang di masak.
Si Korea juga dibingungkan dengan bentuk mengasini ikan dan mengasinkan ikan. Dalam bentuk mendatangi dan mendatangkan jelas bedanya. Aku mendatangi kamu, jelas aku yang datang, sedangkan aku mendatangkan kamu, kamu yang didatangkan, ya aku tidak datang ke kamu, seperti mendatangi. Bagaimana dengan mengasini dan mengasinkan? Apakah mengasini garam ditaburkan ke ikan, sedangkan mengasinkan,
ikan yang ditaruh ke tempat garam? Ia juga mengira bentuk seperti ini sama maknanya: Dilarang keras merokok di sini. Dilarang keras membuat tape. Yang pertama memang dilarang melakukan perbuatan merokok. Namun yang kedua tidak dilarang melakukan perbuatan membuat tape, yang dilarang adalah jangan membuat tape yang keras. Tape yang keras itu merupakan tanda kegagalan membuat tape. Dia tambah bingung memahami bentuk seperti berikut: Dilarang melarang. Pengumuman, hari ini tidak ada pengumuman. Kita sepakat untuk tidak sepakat.
Tentu masih banyak masalah lain yang muncul saat orang asing belajar bahasa Indonesia. Sama halnya kala kita belajar bahasa asing. Ini terjadi karena bahasa terkait erat dengan budaya. Bahasa berkembang dari dan di dalam kebudayaan, mencerminkan budaya dan kebiasaan budaya tempat bahasa itu lahir dan berkembang. Meskipun seringkali bahasa itu merupakan cermin retak bagi kebudayaan yang coba diungkapkannya.
Karena bahasa itu memiliki kaitan erat dengan budaya, bukan merupakan keanehan bila setiap bahasa itu berbeda. Meskipun, mungkin ada kesamaan di sana sini. Cermati saja bahasa Inggris yang digunakan di Inggris, di Amerika dan di India sebagai contoh. Ada banyak sekali perbedaan dari tataran kata, kalimat, paragraf, dan wacana, lisan atau tulisan. Perbedaan itu lebih dikarenakan perbedaan budaya dari masing-masing pengguna.
Apalagi jika bahasa itu sangat berbeda. Coba perhatikan cara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris menunjukkan hubungan kekeluargaan. Bahasa Inggris menggunakan penanda kelamin (sister, brother), tidak jelas kakak-adiknya. Bahasa Indonesia menggunakan hubungan atas bawah (kakak, adik), tidak jelas penanda kelaminnya. Rasanya gagasan dan praktik kesetaraan lebih tua dan lebih konsisnten dalam budaya berbahasa Inggris daripada kita yang terkadang sangat kaku dengan hirarki atas bawah ini. Pada beberapa suku di Infonesia, bahkan adik yang mau menikah lebih dulu dari kakaknya harus memberi pelangkah sebagai syarat untuk dapatkan restu.
Perhatikan sapaan dalam pidato resmi bahasa Inggris, wanita disebut lebih dulu daripada pria. Kita sebaliknya yaitu bapak-bapak dan ibu-ibu. Tengok cara kita menggambarkan penjahat kelamin. Pelaku wanitanya disebut pelacur, wanita tunasusila dan pekerja seks komersial. Sangat langsung dan terbuka. Sedangkan yang pria disebut lelaki hidung belang, sangat simbolik. Padahal keduanya tunasusila. Ada ketidakadilan terhadap wanita.
Bahasa tidak statis, berkembang bersama perkembangan masyarakat. Dalam konteks itu kita sekarang melihat bagaimana masyarakat secara luas semakin akrab dengan kata minim atau tanpa vocal karena pengaruh sms dan bbm. Sungguh telah muncul cara baru memperlakukan kata dan bahasa. Pada satu sisi ini menunjukkan bagaimana pengaruh teknologi terhadap masyarakat, berkembangnya kreativitas masyarakat sebagai upaya menyesuaikan diri dgn kebutuhan teknologi baru. Namun, tidak sedikit yang khawatir kreativitas ini akan merusak bahasa Indonesia dan mengubah cara dan pola komunikasi manusia Indonesia. Diyakini teknologi akan membuat hilangnya kesantunan berbahasa dan berkomunikasi.
Kekhawatiran ini tidak berlebihan, karena tidak sedikit cara berbahasa yang telah hilang. Sudah barang tentu, bersama kehilangan itu hilang pula sejumlah sikap yang melekat dengan cara berbahasa tersebut. Dahulu masyarakat kita tampaknya lebih hati-hati dan teliti dalam membuat kategori. Kebanyakan orang terbiasa menggunakan bentukan: seutas tali, sehelai benang, selembar kertas, seraut wajah, sepotong roti, seulas senyum, secabik kain, sebilah pedang, sebutir telur, seekor ayam, setitik air, sepenggal syair, sebait sajak, sekilas cahaya, sekuntum bunga, sebidang tanah, seujung kuku, dan banyak ungkapan sejenis yang menunjukkan kejelasan dalam penyebutan yang spesifik, tidak pernah salah atau dipertukarkan secara sesukanya. Sikap berbahasa ini menegaskan kehati-hatian dan sekaligus konsistensi.
Bandingkan bentukan yang sama untuk menyatakan satu ini dengan bahasa lain seperti bahasa Inggris. Mana yang lebih kaya? Mengapa sekarang banyak bentuk spesifik itu hilang? Apakah kehilangan itu bermakna kita kurang hati-hati dan lebih suka bicara secara umum demi efektivitas dan efisiensi? Perhatikan dengan cermat, perubahan dalam masyarakat akan tercermin dalam perubahan bahasa. Pertanyaan fundamentalnya adalah, ke arah mana masyarakat kita sedang berubah jika kita lihat kecenderungan bahasa yang kini berkembang? Semakin santun dan baik, bertambah efektik dan komunikatif, atau bertambah buruk dan kacau?
Di kalangan kaum puritan bahasa Indonesia telah pula berkembang kecemasan hilangnya identitas bahasa Indonesia yang secara perlahan juga berakibat hilangnya semangat keindonesiaan. Kecemasan ini terkait dengan semakin meluasnya penggunaan kata dan istilah asing dalam semua bidang kehidupan, dan semakin terpinggirkannya kata dan istilah asli Indonesia. Lihat dalam bidang komputer, ada upaya serius untuk mencari padanan bahasa Indonesia untuk peristilahan komputer yang sangat banyak. Ini dilakukan agar orang Indonesia lebih menghargai bahasa sendiri, tidak tenggelam dalam istilah-istilah asing. Upaya ini pantas diapresiasi. Tetapi berapa orang dari antara kita yang mengenal istilah padanan untuk komputer berikut ini: meragut, kandar, galat, tetikus, diska, star ulang, urung, perambar, tembolok, kartrij, rengkah, tundaan, peranti, tongkat ria, pranala, senarai, derau, pindai, peladen, dan cericau? Ini baru sebagian.
Sebenarnya gejala ini tidak baru. Oleh sebab itu tak perlu terlalu dirisaukan. Sejak sekolah dasar kita diajari bahwa ibu bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu. Namun tak pernah disebut siapa ayahnya. Jadi, tidak usah dicemaskan bila bahasa Indonesia selalu berganti ayah. Semasa dikuasai oleh raja-raja yang dipengaruhi oleh Hindu-Budha, bahasa Indonesia banyak dimasuki oleh istilah Hindu-Budha dan bahasa Sansekerta. Itu bisa dilihat dalam cerita wayang dan nama sejumlah orang Indonesia. Saat dikuasai raja-raja Islam, maka bahasa Indonesia diselusupi oleh bahasa Arab. Kala dijajah bangsa-bangsa Eropa, bahasa Indonesia diramaikan oleh istilah-istilah dari Belanda, Portugis, dan Inggris. Begitulah seterusnya.
Kini dalam era teknologi dan globalisasi, beragam istilah dari bahasa asing dan teknologi tak terelakkan menyesaki perbendaharaan bahasa kita. Bukan hanya kita yang alami ini. Semua negara bangsa dan kebudayaan yang tidak menciptakan inovasi, tidak mampu melakukan hegemoni, ya beginilah nasibnya.
Oleh sebab itu jangan meributkan bahasanya, tetapi persoalkan kreativitas dan inovasi yang harus didorong agar bangsa ini menciptakan kreasi dan produk baru. Dengan demikian orang dipaksa belajar bahasa kita. Coba ada tidak terjemahan yang tepat dan akurat dalam bahasa lain untuk karya asli Indonesia seperti gudeg, rendang, karedok, gado-gado, pecel, sambel bajak, mpek-mpek, getuk, nasi uduk, reog, angklung, saluang, santet, kuntilanak, dan sejumlah temuan lain. Jika orang asing ingin belajar keris, suka atau tidak dia harus belajar bahasa Indonesia dan bahasa Jawa karena kersis itu karya cipta kita.
Bayangkan bila kita bisa menciptakan pembangkit listrik tenaga kentut, dan sungguh-sungguh, jadi bukan ngibul, menciptakan padi super yang waktu tanamnya pendek, tahan dalam segala cuaca, dan hasilnya banyak, pastilah kita bisa menciptakan berbagai istilah dalam bahasa Indonesia untuk temuan-temuan itu. Begitu pula jika kita bisa menciptakan telepon genggam yang fiturnya lebih kaya dan canggih serta dilengkapi pula dengan piranti untuk korek kuping, tusuk gigi, sikat gigi, sisir rambut, penggaruk punggung, potong kuku, pemantau tensi, kaca mata, dan sejumlah piranti lain.
BAHASA MENUNJUKKAN BANGSA, SEMAKIN BANYAK KATA DAN ISTILAH ASING DALAM BAHASA KITA, MENEGASKAN KITA BANGSA YANG MISKIN INOVASI DAN KARYA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd