Kamis, 27 Februari 2014

GELAR INSTAN

Segala yang instan mungkin enak. Tetapi terbukti sangat berbahaya dalam jangka panjang bagi kesehatan. Diduga makanan instan menjadi pemicu penyakit usus buntu, kanker dan gangguan ginjal, serta sejumlah penyakit lain. Kebanyakan orang memilih makanan instan karena murah meriah, enak dan gampang diolah. Mereka yang suka mengkonsumsi makanan instan biasanya kurang menyadari akibat jangka panjang yang sangat berbahaya.

Setara dengan itu adalah gelar instan. Sejak lama dalam masyarakat kita telah berkembang perilaku buruk terkait dengan gelar. Banyak orang merasa hebat jika di depan atau di belakang namamya tertulis serenceng gelar. Gelar dirasa bisa menaikkan gengsi dan status. Itulah sebabnya banyak pejabat yang senang diberi gelar-gelar tradisional, yang sebenarnya tidak jelas juga apa gunanya dalam kehidupan pada masa kini.

Hal yang sama terjadi dengan gelar akademik. Banyak orang berlomba-lomba mendapatkan gelar akademik dengan menghalalkan segala cara. Saya punya teman seorang dokter yang memiliki banyak gelar yang tidak ada kaitan dengan profesinya. Semuanya didapat dengan instan. Tak jelas di mana dan kapan  dia kuliah. Sewaktu saya tanya untuk apa mencantumkan begitu banyak gelar itu dalam papan dan kartu nama, dia bilang menaikkan gengsi dan bisa juga menaikkan bayaran bila orang berobat. Saya cuma bisa bilang, dokter sontoloyo kamu!

Tetapi inilah kenyataan yang kini berkembang. Si apapun bila punya duit bisa mendapatkan gelar instan. Kemudahan itu diperoleh karena tidak sedikit perguruan tinggi negeri dan swasta membuka kelas eksekutif, kelas jauh atau kelas kerja sama yang tak jelas bagaimana penyelenggaraan proses kuliahnya.

Sebagian mereka yang mengikuti kelas eksekutif, kerjasama atau kelas jauh ini adalah para pejabat. Entah apa yang ada dalam fikiran para pejabat itu sehingga memburu gelar-gelar akademis saat dia lagi menjabat. Mestinya dia fokus saja menjalankan amanah mengurusi kepentingan rakyat, dan tidak bersibuk mengurusi diri sendiri. Tentu saja pejabat kuliah  adalah hak asasi, tetapi para pejabat itu kan musti sadar, jabatan itu adalah amanah yang mesti dijalankan sebaik-baiknya. Dia harus fokus mengurusi kepentingan orang banyak, bukan mengurusi diri sendiri. Ini lebih merupakan soal etika publik.

Semua kita tahu, proses belajar apalagi bila di tingkat pasca sarjana membutuhkan konsintensi jangka panjang, ketekunan, fokus dan kerja keras. Setiap minggu ada tugas yang mesti dilaporkan. Belum lagi tugas-tugas kelompok. Pertanyaannya, sempatkah para pejabat itu melakukan semua proses itu dengan sebaik-baiknya?

Mengapa proses belajar itu harus melalui rentang waktu yang agak panjang dan disesaki oleh banyak tugas? Karena begitulah sifat alamiah otak manusia. Otak manusia tidak dapat bekerja secara instan. Ada proses yang harus dilalui, ada sejumlah tugas yang secara bertahap berkelanjutan mesti dikerjakan. Dengan cara itulah otak manusia bekerja. Rentang waktu sangat penting bagi kerja otak untuk melakukan peragian atas berbagai informasi yang diperoleh. Sederhananya kita bisa bilang, bikin tape aja butuh rentang waktu agar peragiannya berproses dengan baik untuk menghasilkan tape yang manis. Apalagi kerja otak. Karena itu belajar dan mendapatkan gelar instan adalah bentuk kejahatan akademik yang keterlaluan. Memang ada manusia yang memiliki otak cemerlang di atas rata-rata, terapi ia pun butuh rentang waktu untuk memproses informasi yang diterimanya. Meskipun bisa jadi ia lebih cepat dari kebanyakan orang.

Sekarang yang justru berkembang adalah kuliah instan yang dilakukan dengan waktu yang pendek dan hasil yang segera. Lucunya, dibanyak perguruan tinggi yang bisa lakukan ini adalah para pejabat dan mantan pejabat tinggi, atau para pengusaha. Sedangkan dosen-dosen perguruan tinggi yang sudah sangat terbiasa dengan pekerjaan akademik malah jarang bisa melakukannya. Wajar jika kita bertanya ada apa di balik semua gelar instan ini?

Bisa anda bayangkan, seorang menteri aktif yang sangat sibuk dan banyak masalah di kementriannya, seorang gubernur, wakil gubenur, bupati dan walikota bisa menyediakan waktu untuk mengikuti kuliah yang seharusnya memiliki jadwal yang ketat dan tugas yang bertumpuk? Anehnya, kebanyakan mereka selalu lulus paling dulu dengan predikat sangat memuaskan. Tanyakan pada teman sekelas mereka, apakah para pejabat itu sungguh-sungguh mengikuti kuliah?

Fenomena kelas eksekutif, kelas jauh dan kelas kerja sama telah merubah paradigma perguruan tinggi dari lembaga akademik yang mendahulukan mutu serta proses, menjadi sejenis pabrik sendal jepit. Dalam konteks seperti ini, berbagai gelar honoris causa yang kini marak disandang oleh para orang terkenal, termasuk Rhoma Irama harus dipersepsi sebagai kritik telak pada Kemdikbud dalam menegakkan aturan main tatakelola pendidikan tinggi. Mengapa meributkan gelar Rhoma, bila tidak sedikit juga perguruan tinggi kita secara canggih 'menjual' berbagai gelar melalui kuliah instan. Percayalah,

KUALITAS MANUSIA DAN BANGSA TIDAK DAPAT DITUMBUHKEMBANGKAN DENGAN CARA INSTAN.

1 komentar:

  1. Nama : Sandra Puspita Sari
    Kls : P.IPS B 2014
    No.reg : 4915144094

    Assalamu'alaikum Pak. Saya setuju dengan kutipan tulisan bapak bahwa pada zaman sekarang ini banyak sesuatu yang di dapat secara instan contohnya gelar. Menurut bapak, apakah ada cara yang dapat dilakukan untuk membuat seseorang supaya tidak gegabah dengan berfikir apapun bisa didapat dengan cara yang cepat dan instan ?
    Terimakasih.

    BalasHapus

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd