Kamis, 27 Februari 2014

PROFESOR DANGDUT

Rhoma Irama memang bukan bintang biasa. Dia sangat cerdas untuk mencari perhatian. Apakah kita bisa melupakan kecanggihannya saat melepas penyanyi dangdut yang kini menjadi caleg? Dia bantah semua tuduhan bahwa ia menikah siri. Kemudian tiba-tiba diumumkan ia berpisah dengan penyanyi dangdut itu. Tidak semua lelaki mampu melakukan tindakan cenggih begitu. Hebatnya lagi, dia bersikap seperti tidak pernah terjadi sesuatu yang luar biasa. Seakan-akan dia tidak pernah bilang tidak ada hubungan apa pun dengan penyanyi dangdut itu. Sungguh, sulit mencari lelaki kayak begini. Di mana dan kemana rasa malu?

Beberapa waktu lalu ia bikin heboh lagi. Saat ia mempersoalkan Jokowi yang mencalonkan diri jadi Gubernur DKI. Hebatnya ia sangat pintar menilai orang, pake ayat suci lagi. Sebenarnya yang kita tunggu adalah, apakah ia mampu dan berani menilai dirinya sendir, juga pake ayat suci? Mungkin, karena dia merasa dirinya adalah raja (dangdut), maka dia boleh seenaknya menilai orang.

Secara pribadi saya kebih menghormati lelaki yang mampu menjaga diri, istri dan rumah tangganya, daripada lelaki yang lihai menggunakan ayat-ayat suci. Lelaki yang sungguh baik adalah yang sungguh-sungguh menghormati wanita. Saya tidak perlu membantah bahwa dalam masyarakat kita, menghormati wanita itu bisa bermakna menghargai. Dan menghargai itu bisa diujudkan dengan pertanyaan, berapa duit?

Tidak berhenti sampai di situ. Kontroversi berlanjut. Dia mencalonkan diri jadi calon Presiden Indonesia. Tak ada salahnya jika kita mengacu pada konstitusi. Semua warga negara Indonesia yang memenuhi syarat boleh jadi calon presiden. Apalagi Rhoma Irama adalah tokoh terkenal. Gak ada salahnya kan? Saya yakin, bila dia maju, pasti ada yang milih.

Persoalannya adalah yang milih berapa orang? Dan apakah calon presiden cukup mengandalkan popularitas? Di Amerika Serikat dan India banyak tokoh publik yang bisa jadi politisi hebat. Di Amerika Serikat kita mengenal Ronald Reagan yang merupakan bintang film, kemudian jadi presiden. Tetapi kita juga sangat tahu ada proses panjang yang harus dia lewati. Jadi gubernur dulu. Artinya ada pengalaman sebagai pemimpin dalam skala besar. Susah kan jika yang dijadikan dasar adalah hanya sebagai pemimpin grup Soneta?

Semua Presiden Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya adalah orang-orang yang telah memiliki pengalaman melakukan tatakelola organisasi besar. Ini dibutuhkan karena pada hakikatnya presiden itu bukan sekedar pemimpin politik, tetapi kepala pemerintahan. Mengelola pemerintah dan negara. Rasanya kita perlu mengingatkan semua warga negara Indonesia untuk menyadari ukuran bajunya atau mengetahui secara mendalam kapasistas dirinya, dan dengan jujur memperhitungkan hal tersebut secara arif, sebelum maju mencalonkan diri dari calon presiden. Apalagi, negara ini sedang dirundung banyak masalah. Kita butuh presiden yang sungguh-sungguh telah teruji, dan memiliki reputasi bagus sebagai manusia.

Rhoma kembali memancing kontroversi saat mendapat gelar honoris causa sebagai profesor dari Hawaii. Saya sangat menghormati Rhoma. Dia sungguh inovator dan kreator luar biasa dalam bidangnya. Saya yakin tak akan ada yang bisa melampauinya dalam kancah dangdut. Saya bangga sekali membaca buku bertaraf internasional yang secara khusus membahas Rhoma dengan segala keunikan dan kehebatannya. Untuk itu ia sudah mendapat penghargaan di dalam dan luar negeri untuk prestasinya.

Itu artinya Rhoma sebenarnya tidak membutuhkan gelar baru ini, dari universitas yang tidak jelas pula. Bagi orang yang tidak mengerti duduk soal, bisa jadi gelar ini bisa membuat mereka makin kagum pada Bang Rhoma. Tetapi bagi yang tahu. Mohon maaf, mereka akan mencibir si Abang.  Percayalah, sekarang ini lebih banyak rakyat Indonesi yang cerdas dan tahu duduk soal.

Profesor itu adalah guru besar. Artinya orang harus megajar jika mau jadi profesor. Mengajar dalam jangka panjang dan menghasilkan sejumlah karya. Sejatinya memang tidak mudah jadi profesor. Karena itu tidak ada honoris causa untuk profesor. Saya akan lebih menghormati bila Bang Rhoma mendapat Doktor honoris causa. Ia pantas mendapatkannya karena inovasi dan kreasinya dalam musik dangdut. Saat dia menyandang profesor honoris causa, orang mulai mencibir dan bilang hororis causa ngkali.

Kemendikbud dan jajarannya mempersoalkan gelar ini. Tindakan itu sudah seharusnya. Sebab mereka memang pemegang otoritas pendidikan di negeri kita. Tetapi para pejabat Kemdikbud juga jangan lebay la. Masyarakat juga gak faham bagaimanan pejabat esselon satu mereka tiba-tiba jadi profesor. Padahal lima tahun sebelumnya dia tidak bersibuk diri di perguruan tinggi sebagai dosen. Orang-orang bertanya, koq bisa. Sementara puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan orang yang telah mengabdi sebagai dosen selama masa yang sangat panjang, dan kebanyakan mereka sudah pada bongkok, usulan guru besar mereka seakan tak pernah digubris.

Kemdikbud harus jujur pada dirinya sendiri. Harus berani melakukan audit investigasi akademik pada sejumlah perguruan tinggi yang membuka kelas jauh, terutama untuk strata dua dan tiga. Kita tidak tahu bagaimana prosesnya, tiba-tiba banyak orang jadi jadi doktor melalui kelas jauh ini. Banyak pejabat dan mantan pejabat pada tingkat daerah dan pusat yang sekarang tiba-tiba jadi doktor. Bahkan yang terakhir terbetik khabar Menteri Dalam Negeri akan segera menjadi doktor pada sebuah PTN. Apa sempat beliau kuliah di tengah kesibukan yang sangat luar biasa itu. Koq rasanya beliau lebih baik menggunakan waktunya mengurusi kepentingan publik seperti e-ktp yang sampai sekarang gak beres-beres, daripada kuliah mendapatkan gelar doktor.

Rasanya, saatnya untuk berani jujur melihat diri sendiri dan bangsa ini.

HANYA KEJUJURAN YANG BISA MEMBUAT KITA MENJADI MANUSIA DAN BANGSA YANG BERMARTABAT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd