Jumat, 07 Februari 2014

KEHANGATAN MUSIM SALJU

Sore menjelang, pesawat berukuran besar terbang tinggalkan tanah air. Tak lama di udara kami tiba di Singapura. Menikmati bandara yang indah, bersih, dan mewah. Tak lama singgah, langsung berangkat lagi. Melintasi waktu yang tak lagi mudah untuk ditentukan, karena perjalanan ini melintasi jarak yang sangat jauh. Waktu berubah secepat pesawat melintas. Di pesawat rasanya sudah bangun tidur berkali-kali, namun tak juga tiba. Beberapa kali kami berdiri dan makan di bagian belakang pesawat. Ngobrol tentang berbagai pengalaman perjalanan sebelumnya. Kembali ke tempat duduk masing-masing, main games yang memang disediakan pada tv kecil di bagian belakang tempat duduk tepat di depan kita. Semua games telah habis dan berulang-ulang dimainkan, diganti nonton film, dan dengar lagu. Tak juga nyampe-nyampe. Lama betul rasanya.

Saat kantuk mulai menyerang lagi, dan kita tak tahu sudah berada di mana dan pukul berapa, karena jam di tangan sudah tak lagi dapat digunakan sebab masih waktu Indonesia barat, ada pengumuman agar para penumpang kembali ke tempat. Pesawat akan mendarat di Paris.

Kala terasa pesawat mendarat, rasa syukur sungguh tak cukup hanya diucapkan. Gembira karena telah sampai, dan lebih gembira lagi karena akan bisa berjakan kaki, bahkan berlari setelah puluhan jam hanya duduk, berdiri, dan jalan seadanya. Beberapa teman malah merasa kakinya menjadi lebih berat. Terasa membengkak. Benar-benar perjalanan jauh. Dan Paris hanyalah tempat transit.

Di Paris kami hanya menclok. Hari masih pagi dan sangat dingin karena salju tutun dengan lebat. Kami segera pindah ke pesawat yang lebih kecil. Penumpangnya hanya rombongan kami. Pesawat terasa seperti milik sendiri. Kami duduk seenaknya, bercanda, sambil sarapan, semua makanan mulai terasa asing di lidah. Untung ada apel yang sudah lebih dikenal oleh lidah. Ketika pesawat mulai terbang rendah menjelang turun, ke mana pun mata memandang hanya hamparan putih. Salju sungguh menyelimuti daratan. Terasa sangat indah, karena gedung-gedung tinggi juga dihiasi salju. Hiasan alam nan eksotik. Tampaknya pilot pesawat sengaja membawa kami berkeliling dulu sebelum turun, cukup lama berputar-putar. Ada rasa takjub, memandang seluruh daratan ditutupi salju. Kala pesawat mendarat terlihat tumpukan salju membukit di sekitar landasan, tampaknya salju-salju itu baru saja di dorong ke bagian pinggir landasan. Pintu pesawat dibuka, hawa dingin, sangat dingin meyerbu masuk. Meski kami semua sudah menggunakan pakaian untuk musim dingin, namun rasa dingin seperti mengerat tulang dan mengigit daging. Dingin yang terlalu, melampaui ruang beku dalam kulkas di rumahku.

Kami tiba di Kopenhagen, Denmark. Pukul sepuluh pagi lewat rupanya, tetapi cuacanya mirip senja di Jakarta. Salju luruh dari langit, berupa butiran putih yang bercahaya tersorot lampu. Lampu-lampu terang di mana-mana. Bandaranya sangat moderen. Bersih, mewah dan tertata. Bahkan tempat sampahnya berkilauan. Seorang teman tak percaya bahwa benda yang berkilauan itu adalah tempat sampah sampai ia sendiri membuka dan melihat isinya. Bandara Kopenhagen adalah bandara terbaik dan tersibuk di Eropa Utara.

Menariknya hanya ada sangat sedikit iklan dan ditata dengan sangat indah. Beda betul dengan iklan di bandara-bandara kita yang sangat banyak, berdesakan dan mengganggu pemandangan. Jumlah dan penempatan iklan ini sangat menarik bagiku. Kita sudah faham bagi kapitalis, iklan adalah garda depan usaha mereka untuk menggoda orang agar menjadi konsumeris hedonis. Sejak kecil kebanyakan kita diajarkan bahwa Barat itu sangat kapitalistik, hanya peduli pada keuntungan. Bila membandingkan iklan di bandara Kopenhagen ini dengan iklan di bandara-bandara kita, tampaknya keadaannya sudah kebolak.

Tidak berarti kapitalis menjadi semakin baik dan mulai sensitif terhadap makna keuntungan dikaitkan dengan keadilan. Ini hanya soal strategi. Para kapitalis, biasanya menjadi sangat hati-hati di tempat kelahirannya yaitu Eropa dan Amerika. Sebab masyarakatnya makin terdidik dan kritis. Tetapi mereka terap saja rakus, dan menjadi tak terkendali di negara berkembang seperti Indonesia. Apalagi masang iklan di negara kapitalis sangatlah mahal ongkosnya. Persoalan pokoknya adalah para penguasa di negara berkembang, gampang banget dikibulin, diperalat, dan dikendalikan para kapitalis, sehingga mereka bisa menguasai apa saja, termasuk azan buka puasa di bulan Ramadhan. Dasar kapitalis!

Sementara menunggu barang-barang diturunkan dari pesawat, kami setengah berlari menuju toilet. Toiletnya mewah dan sangat bersih. Sama sekali wangi, bau tak sedap tentulah tak muncul. Di republik kita yang tercinta, saya belum pernah ketemu toilet sebersih ini di semua bandara. Toilet di bandara kita bersih dan wangi bila bandaranya baru diresmikan, setelah itu kita harus siap dengan banyak kejutan. Air macet, sabun cair yang sangat encer atau malah tak ada, tempat tisu yang kosong dan banyak lagi kejutan lain. Padahal di toilet itu ada petugas yang suka pegang uang kecil berdiri di pintu masuk. Makin jauh dari Jakarta toilet bandara tak beda dengan toilet terminal, karena itu lebih tepat disebut jamban.

Jamban seringkali bisa menjadi cermin. Makin maju masyarakat jambannya makin bagus bahkan canggih. Masyarakat yang telah maju tampaknya ingin tetap nyaman saat buang hajat, karena buang hajat itu tidak lebih rendah nilai dan fungsinya dibandingkan makan dan kegiatan manusia lainnya. Apalagi bila jamban itu bersifat publik, mestinya lebih dijaga kebersihan dan kerapihannya karena ada kaitannya dengan kesehatan. Jangan sampai terjadi, saat masuk ke jamban keinginan buang hajat hilang karena tampilan dan baunya sangat mengerikan. Mungkin kita masih membutuhkan waktu agar mampu memelihara jamban. Mudah-mudahan bila mampu memelihara jamban kita bisa memelihara amanah, apalagi bilang sedang berkuasa.

Kala semua barang telah di tangan, kami berjalan berbarengan. Barang yang masing-masing kami bawa sangat banyak. Ada teman yang membawa pemasak nasi listrik, kompor listrik, dan pemasak air listrik. Kesannya kami seperti pengungsi dari dunia lain. Semua orang yang berpapasan dengan kami memandang dengan raut wajah keheranan. Entah apa yang mereka fikirkan. Jangan-jangan mereka bilang, kampungan baget kalian ya. Tentu hanya dalam hati. Beberapa ada yang memberi senyum. Satu dua ada yang bertanya. Saat di antara kami menjawab bahwa kami dari Indonesia, yang bertanya menggelengakan kepala. Mungkin ia tidak pernah dengar nama itu. Saya nekat teriak bilang kami dari Bali. Dia kaget dan langsung bersalaman dengan kami. Ada kata-kata pujian dari mulutnya. Dia bilang Bali itu syurga, dan dia bercita-cita mau ke Bali. Apa boleh buat, Bali lebih dikenal daripada Indonesia.

Kami tiba di tempat pemeriksaan. Ada tiga petugas, dua wanita dan seorang pria. Mereka memeriksa paspor kami. Begitu mendekat, mereka ucapkan selamat datang dengan wajah tersenyum. Mereka memeriksa dengan cermat paspor sambil melihat wajah orang yang diperiksa. Mereka sangat ramah, dan berusaha membangun komunikasi. Mereka kenal Indonesia. Saat diajak berkomunikasi yang ditanya adalah Bali. Macam-macam pertanyaan tentang Bali. Rupanya Bali adalah mimpi banyak orang di sini, suatu negara yang sudah sangat dekat dengan Kutub Utara. Pastilah ini menimbulkan rasa bangga.

Aku mulai bertanya-tanya, apakah keramahan dan seyuman yang mereka tampilkan adalah keramahan dan senyuman standar petugas pemeriksaan seperti yang sering ditunjukkan penjaga toko dan pramugari, atau memang pada dasarnya mereka ramah. Adik kelasku yang sudah lama tinggal di Hamburg bilang, orang-orang Skandinivia itu dingin, ya seperti cuaca di sini yang hampir tak bersua matahari, dan cenderung kurang ramah. Aku akan perhatikan ini selama berada di Swedia, tempat tujuan kami.

Ketika tubuh dan barang diperiksa ada petugas yang lain. Mereka sama sekali tidak menyentuh kami dan juga tidak membongkar tas yang kami bawa. Kelihatannya peralatan mereka sangat canggih, sementara petugasnya sangat ramah dan bersahabat. Selesai diperiksa kami langsung menuju bus yang telah disediakan.

Ada petugas dari Kedubes yang menyambut kami. Dua orang pria yang masih muda dan seorang ibu paruh baya. Senang rasanya ketemu sesama orang Indonesia di tempat sejauh ini. Mereka memperkenalkan diri dan menjelaskan ke mana kami akan pergi, dan berapa lama perjalanan akan ditempuh. Mereka juga menguraikan kapan kami akan kembali lagi ke Kopenhagen untuk makan bersama duta besar dan warga Indonesia lainnya.

Tidak berlama-lama, kami segera naik ke bus. Disain busnya unik. Mirip bus bertingkat, sangat tinggi. Tampaknya ini bus khusus wisata, karena dari tempat duduk kita bebas melihat ke mana saja. Mobil-mobil lain jauh lebih rendah. Saat bus mulai berjalan, terlihat pangkalan taksi. Ada yang menarik, semua taksi merupakan mobil mewah dalam ukuran Indonesia. Semua buatan Eropa. Di Indonesia hanya orang-orang sangat kaya yang menggunakan mobil-mobil itu. Wajar saja di sini mobil-mobil itu dijadikan taksi. Negara-negara Skandinavia masuk kategori negara-negara terkaya di dunia.

Bus mulai bergerak. Kami menuju Lund kota kecil di Swedia yang tidak terlalu jauh dari Kopenhagen ini. Sepanjang jalan yang terlihat adalah hamparan salju. Rumah dan semua gedung lain dihiasi salju. Pohon-pohon tak berdaun dan dibungkus dengan plastik. Pijar lampu dari semua kendaraan tampak indah karena berpendar bagai pelangi. Pemandu kami menjelaskan bahwa salju memang sedang melanda seluruh negeri. Beberapa waktu lalu terjadi badai salju. Ia menyarankan agar kami sangat berhati-hati, menjaga makanan, dan kesehatan.

Ini hari minggu, jalanan terlihat sepi. Kami masuk jalan tol, tak membayar atau mengambil karcis. Pemandu bilang, jalan bebas hambatan tidak perlu membayar. Dibangun dari pajak rakyat, rakyat harus menikmatinya. Pemerintah tidak boleh mengambil keuntungan dari masyarakat. Pemerintah itu mengurusi masyrakat, bukan mencari untung dari masyarakat. Kami ini merupakan negara kesejahteraan, katanya.

Aku Fikir terserahlah kamu mau bilang apa, aku asyik menikmati suasana musim salju ini. Di Jakarta paling-paling cuma nikmati musim hujan dan banjir. Pemandu itu bilang, kita akan memasuki Jembatan Oresund, jambatan unik dan terpanjang di Eropa. Jembatan ini menghubungkan Denmark dan Swedia. Walah, katanya jembatan koq kita masuk terowongan. Rupanya itu terowongan bawah laut, nanti kita muncul di sebuah pulau buatan, dari situ baru naik jembatan, melintasi lautan. Jembatan ini juga unik karena sekaligus berfungsi sebagai jembatan bagi kereta api. Itulah sebabnya disebut jembatan ganda.

Pemandu itu terus saja nyerocos, sehingga kami tidak sempat bertanya. Ia bilang jembatan itu dibangun selama lima tahun, konstruksinya termasuk yang paling riweuh di dunia. Terowongan bawah laut dan pulau buatan itu sengaja dibuat agar tidak mengganggu pesawat yang hendak terbang dari Denmark, juga agar tidak mengganggu pelayaran, bagaimana pun jeleknya cuaca. Kami melewati jembatan, terlihat lautan luas terbentang ditutupi salju. Indah tapi agak mengerikan juga. Terasa betapa kecil jembatan ini di tengah lautan. Dan betapa sangat kecil, kami yang berada di dalam bus, di atas jembatan ini.

Aku bertanya-tanya dalam hati, mengapa harus dibuat konstruksi yang sangat rumit sampai mengadakan pulau buatan dengan dana yang sangat besar untuk jembatan ini? Sekedar  karena pertimbangan keselamatan atau ada yang lebih dalam dari itu? Lebih baik dicari sendiri jawabannya daripada menanyakannya pada si pemandu. Biasalah pemandu kerap memberikan jawaban standar, apa adanya. Aku merasa yakin, pasti ada sesuatu yang sangat mendalam pada keputusan itu, bisa jadi bertolak dari filosofi hidup dari bangsa Skandinavia ini.

Kami tiba di Malmo, kota moderen di wilayah Swedia. Mungkin beberapa di antara kita ingat kota ini. Sebab pernah menjadi tuan rumah kejuaraan bulu tangkis internasional dan pemenangnya adalah atlit dari negara kita. Kami tiba di pos penjagaan. Petugas naik, seorang wanita dan seorang pria. Ramah mereka menyapa kami. Mengucapkan selamat datang dan menyatakan harapan semoga menikmati kegembiraan selama di Swedia. Seperti di Denmark, para petugas ini sangat ramah, membangun komunikasi dan mau bercanda. Tak ada kesan kami sedang diperiksa. Setelah mengucapkan selamat jalan, mereka turun, dan kami lanjutkan perjalanan.

Meski hari makin siang, suasananya tetaplah bagai sore berawan di Jakarta. Malmo menjadi sangat indah karena cahaya lampu yang berpantulan dengan salju. Banyak gedung moderen dengan arsitektur yang aduhai. Tidak ada gedung pencakar langit. Warna-warna gedung juga tidak ada yang ngecrong. Semuanya adem ayem. Masih sangat banyak hiasan natal, karena sekarang memang bulan natalan.

Di jalan yang lengan, supir bis tetap memilih jalan di jalur tengah. Ia tetap tidak mau pindah jalur kanan, padahal jalanan kosong. Kecepatnnya juga tidak pernah melebihi tujuh puluh. Di jalan kami melihat pabrik-pabrik yang lengan. Mobil Volvo dijejer dalam jumlah yang sangat banyak, dibiarkan ditutupi salju. Tak berapa lama kami sampai di tujuan, Lund.

Bus masuk ke jalanan kecil, di pinggir jalan berjejer banyak sekali mobil di parkir. Bus berhenti dan kami berkemas untuk segera menuju hotel. Di hotel, seorang lelaki tua menerima kehadiran kami dengan sangat ramah. Kami dipersilakan menikmati minuman hangat yang bisa disedu sendiri. Banyak pilihan. Ada beragam jenis teh, kopi dengan berbagai varian, dan coklat yang juga tak kalah banyak jenisnya. Kehangatan musim dingin.

Teman-temanku yang pernah tinggal dan masih tinggal di berbagai tempat di Eropa bilang, orang Skandinavia itu dingin seperti cuaca di Kutub Utara. Pada masa awal kehadiran kami, yang kami rasakan adalah keramahan dan kehangatan.

KEBENARAN, TERUTAMA TERKAIT DENGAN MANUSIA, SEBAIKNYA DICARI DAN DIALAMI SENDIRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd