Sabtu, 08 Februari 2014

KOTA TUA LUND

Kota tua di Jakarta berkali-kali direvitalisasi, namun hanya beberapa gedung tua saja yang sungguh terpelihara dan berfungsi. Sejumlah gedung, dan bangunan tua lain tampaknya makin rusak tak terawat. Mungkin saat ini bisa dikatakan kawasan kota tua merupakan salah  satu kawasan terkumuh di Jakarta. Sejumlah pemukiman kumuh yang sangat padat tersebar di kota tua ini. Bangsa kita memang harus banyak belajar soal perawatan. Merawat gedung saja masih payah, apalagi merawat amanah kekuasaan.

Lund adalah kota di Selatan Swedia. Keterangan tertulis menyebutkan kota ini dibangun tahun 990. Katedralnya yang bergaya Romawi Kuno diperkirakan telah berumur lebih dari seribu tahun. Luas Lund sekitar 25 km persegi, dengan penduduk tidak sampai seratus ribu jiwa. Kebanyakan adalah mahasiswa. Pada musim libur kota ini menjadi lebih sepi. Mahasiswa pada mudik ke kampung halamannya di seluruh Skandinavia, Eropa, dan dunia. Lund adalah kota tua dan kota pelajar. Kayak Jogjakarta lah. Tua dan terpelajar, jadi hebatlah.

Sejumlah besar bangunan di Lund memang sangat eksotis karena kekunoannya. Arsitekturnya memang berasal dari abad tempo doeloe. Penuh hiasan hampir di semua sisi, sangat bertentangan dengan gaya arsitektur minimalis abad moderen. Warnanya cenderung temaram, warna merah bata berpadu coklat tua. Namun, semua bagunan tua ini berfungsi melayani kehidupan moderen seperti hotel, perkantoran, dan resto. Meski gedungnya tua namun disain ruangan dalam, dan peralatan di dalamnya sangat moderen.

Pak tua yang menyambut kami di hotel Concordia, dengan bangga bercerita bahwa hotel ini berusia sangat tua, dibangun 1882, kayu-kayu yang digunakan untuk membangunnya berasal dari Kalimantan. Memang hotel ini sampai ke tingkat empat menggunakan kayu. Di ruang makan sejumlah meja dan kursi kayu yang berusia tua masih digunakan. Hotel kami berjarak sekitar 250 m dari Katedral Lund yang dibangun 1080-1145 , dan lima menit jalan kaki ke Lund University yang juga sudah tua, dibangun 1666. Gedung-gedung utama universitas juga merupakan gedung tua yang sangat terpelihara.

Tampaknya di seluruh Eropa ada kebijakan dan regulasi untuk mempertahankan, memelihara, dan terus menjaga semua bangunan tua dengan cara memfungsikannya. Ini bukan sekadar bagian dari nostalgia dengan masa lalu, namun sebagai kesadaran untuk memelihara pencapaian manusia dari waktu ke waktu. Memelihara pencapaian masa lalu adalah tonggak untuk melanjutkan pencapaian masa kini dan masa depan. Ini pengakuan bahwa kekinian, dan keakanan manusia, terkait erat dengan kelampauannya. Artinya, sejarah bukan sekadar dijadikan bahan studi yang kering, objektif, dan netral. Tetapi dihayati sebagai ruh bagi kelangsungan dan perkembangan peradaban. Berkaca, belajar, dan mengambil hikmah dari masa lalu, untuk menjadi semakin maju dan lebih baik di masa depan. Mungkin nalar dan penghayatan seperti ini yang belum berkembang pada bangsa kita, sehingga kurang perhatian pada apa pun yang berasal dari masa lalu, dan mudah sekali menghancurkan bangunan tua untuk diganti menjadi mal dan apartemen moderen.

Malam pertama di Lund kami berjalan-jalan di pusat kota. Kami mencari tempat makan. Berkeliling, yang ditemui makanan Eropa terus, dari yang cepat saji sampai yang serius. Ternyata semua bersepakat untuk mencari resto Asia. Kami sengaja tidak bertanya kepada siapa pun karena ingin sekaligus jalan-jalan. Setelah agak lama berkeliling kami menemukan resto Thailand. Seneng bangets rasanya. Saat melihat daftar menu kami kaget bener. Nasi goreng harganya lebih dari seratus dua puluh ribu rupiah jika menggunakan duit kita. Nasi putih dengan satu lauk ya segitu juga harganya. Rupanya yang bikin mahal itu nasi. Tiba-tiba kerasa banget jadi orang asing di sini, gara-gara nasi. Seorang teman yang pernah kuliah S2 di Belanda bilang, di Eropa hanya orang kaya yang bisa makan di resto-resto Asia. Sementara yang pernah tinggal di Paris bilang, di seluruh Skandinavia harga semua barang termasuk makanan lebih mahal 30-100 persen dibandingkan di luar Skandinavia. Asyik juga ni, tiba-tiba merasa jadi orang kaya banget. Makan di restoran orang kaya di negara yang termasuk terkaya di dunia. Walau yang disantap cuma nasi goreng yang gak jelas rasanya, enakan nasi goreng tek-tek yang keliling kampung pake gerobak.

Malam sangat indah karena ada gerimis salju di antara lampu-lampu natal yang digantungkan di pepohonan sepanjang jalan. Orang-orang nangkring di cafe-cafe pinggir jalan, cafe kecil mirip warung kopi dipinggiran jalan Jakarta. Mungkin karena rombongan kami agak banyak orangnya, dan juga kelihatan norak, mereka melambaikan tangan. Kami membalasnya. Di sepanjang jalan kami bermain lemparan salju. Norak memang. Maklumlah di tanah air kita tidak bisa lakukan ini. Gedung-gedung tua tampak indah karena dihiasi lampu. Seorang teman asal Sumatera Utara berkomentar. Ia bilang, kota ini mirip kota dalam film Drakula. Penuh gedung tua yang gelap dan mengerikan. Katanya, dari kejauhan gedung-gedung itu terlihat seperti sarang Vampire. Kami berdoa semoga dia ketemu Drakula sekaligus Vampire di kamar hotel.

Pagi yang sangat dingin. Kami bergerak cepat, berjalan setengah berlari menuju tempat pertemuam di Universitas Lund. Salju turun agak lebat. Ada pohon rendah yang dipenuhi salju. Kami rebutan foto di situ. Unik betul bentuknya. Ada sepeda yang diparkir dilapisi salju. Kami juga foto-foto di dekatnya, lagi-lagi karena terlihat eksotik. Tempat yang kami tuju adalah gedung tua. Pintu dan kunci pembukanya juga sangat tua, anehnya koq masih berfungsi. Pintu di buka, kami memasuki lorong dan muncul di sebuah ruangan mungil. Tidak mewah, tetapi disainnya sangat moderen dan keren. Sebuah ruang pertemuan yang sangat lengkap peralatannya untuk presentasi.

Gedung tua dan ruang pertemuan ini seperti sebuah cermin yang memantulkan sikap hidup bangsa yang memiliki kesadaran akan manfaat dan efisiensi dalam pemikiran yang utuh. Di dekat pintu masuk ada tertera tahun bahwa gedung ini dibangun pada abad tujuh belas. Arsitektur dan disaian aslinya sungguh menegaskan kekunoannya. Engsel pintu gerbang kayunya juga mengingatkanku pada engsel tua di Museum Bahari di Pasar Ikan Kota Jakarta. Bedanya di sini semuanya masih sangat bagus dan berfungsi. Sedangkan ruang pertemuan yang mungil itu sangat simpel, bangku dan kursinya enteng dan mudah dipindah-pindahkan mengikuti model-model pembelajaran yang berbeda. Beragam alat elaktronik untuk presentasi seperti LCD dan layarnya, juga mudah digeser-geser dengan untaian kabel yang rapih. Tak ada kesan mewah tetapi menyenangkan dan lengkap. Ruang yang kondusif untuk pertemuan sekitar 30 orang. Di bagian belakang ada ruang minum dan toilet. Luar biasa, toiletnya sungguh dari masa lalu tapi sangat terpelihara. Kemampuan menjaga, merawat, dan tidak berlebih-lebihan tampaknya telah memberi kontribusi bagi kemakmuran bangsa ini. Bener-bener beda dengan tradisi bangsa kita yang hobi bongkar pasang gedung dan peralatan. Tentu dengan pendekatan proyek, sehingga bangunan dan barang bagus pun harus diganti. Boros bener bangsa kita, ya?

Kami adalah undangan Raoul Wallenberg Institute, sebuah institusi penggiat HAM internasional yang menjadi bagian dari Universitas Lund. Kami mengikuti program musim dingin yang berfokus pada pemahaman HAM dan berbagai strategi penelitian untuk menggali berbagai persoalan HAM. Kami akan berdiskusi dengan ahli dan penggiat HAM tingkat dunia yang pernah bertugas di PBB untuk menyelesaikan berbagai masalah HAM di berbagai belahan dunia. Dari bahan tertulis yang sudah lebih dahulu kami dapatkan, tampaknya strategi penelitian yang digunakan adalah kualitatif dan tindakan partisipatori, juga ada model-model pendidikan partisipatori.

Acara pembukaan sangat sederhana, hanya pengantar dari seorang pria muda tentang strategi pembelajaran. Kami hanya beberapa hari di kelas ini. Selanjutnya ada studi lapangan ke berbagai tempat di Lund, Malmo, Stochlom, Upsalla, dan dua negara lain. Satu negara sudah ditentukan oleh panitia yaitu Denmark, satu lagi dipilih oleh peserta yang berkelompok 5-7 orang. Kebanyakan acaranya kunjungan ke berbagai tempat dan bertemu banyak orang. Hari pertama ini kami akan mendengarkan paparan tentang perkembangan mutakhir pelaksanaan dan permasalahan HAM di seluruh dunia.

Hanya ada satu sesi sampai makan siang. Sangat menyenangkan karena Profesor yang jadi pembicara lebih banyak mengeksplorasi kami kemudian menjelaskan berbagai problem HAM di berbagai belahan dunia. Ia menyajikan banyak foto dalam tayangannya. Aku banyak ditanyai olehnya, karena dalam keterangan peserta, aku tidak mewakili perguruan tinggi tempatku mengajar, tetapi sebagai penggiat HAM di lingkungan anak jalanan dan masyarakat miskin. Aku memang diundang dalam kapasitas itu.

Kami diberi kebebasan untuk mencari makan sendiri. Istirahat siang ini aku manfaatkan untuk eksplorasi, mencari alternatif selain nasi. Ada kebab, penjualnya orang Turki. Ia ucapkan salam begitu tahu aku dan
sejumlah teman yang ke kereta kecilnya orang Indonesia. Temanku memesan satu, harganya separuh harga nasi goreng. Aku berjalan lagi, ke resto makanan cepat saji. Ada menu paket, harganya lebih murah sedikit dibanding kebab, tentu hanya ayam, kentang goreng, dan minuman ringan, pastilah tak ada nasi kayak di tanah air. Mengingsut sedikit ada pizza. Beda betul dengan pizza di tanah air. Sangat sederhana, isinya daging, jamur, dan bawang bombay. Harganya sama dengan kebab. Aku pilih pizza karena porsinya besar untuk perutku, bisa untuk makan siang dan makan malam.

Penjual kebab menempati kereta kecil, penjualnya hanya bisa berdiri, peralatannya moderen, semua peralatan dan bahan makanan tertata sangat rapih dan bersih. Di restoran cepat saji suasanya tidak beda dengan di tanah air, bedanya semua pelanggan harus menjamin meja yang digunakannya segera dibersihkan setelah makan. Semua orang memang membersihkan tempatnya makan. Mereka tidak mau meninggalkan sampah. Di resto pizza sama saja, konsumen harus mengurus sendiri semuanya begitu makanan diterima, dia tidak boleh meninggalkan sampah. Semua konsumen sungguh tidak meninggalkan sampah di manapun. Di negara-negara Skandinavia, semua pekerja dibayar sangat mahal, juga pelayan. Karena itu ditumbuhkan tradisi agar semua orang harus bertindak dan bersikap dengan efisien dan efektif. Tampaknya semua orang sudah meyadari dan menghayati ini dengan baik. Penjual dan pembeli telah mengembangkan suatu kebiasaan yang sangat tertata agar semuanya mendapatkan yang terbaik. Artinya, keyakinan, ajaran, dan prinsip apa pun hanya akan berhasil bila dapat menumbuhkan kebiasaan dan tradisi yang mendarah daging yang diejawantahkan dalam hidup keseharian, menit demi menit, jam demi jam sepanjang waktu.

Setelah makan siang kami kembali ketempat semula. Ada sedikit arahan, dan kami diberi password untuk bisa berinternet ria. Sampai malam kami akan berada di perpustakaan menyempurnakan penulisan program yang akan kami lakukan selama di Swedia. Ada dua perpustakaan yang bisa kami gunakan. Perpustakaan Raoul Wallenberg Institute dan Perpustakaan Universitas Lund. Perpustakaannya sangat canggih dan lengkap. Tetapi yang paling penting bukan hanya itu. Perpustakaan ini buka 24 jam dengan layanan prima. Sungguh perpustakaannya merupakan tempat yang sangat menantang untuk melakukan eksplorasi. Aku meyakini perguruan tinggi yang bermutu itu memang ditentukan oleh kehebatan perpustakaan, laboratorium dan komitmen civitas akademikanya. Dengan tiga komponen ini seluruh proses pembelajaran yang bermutu, menyenangkan, dan bermakna bisa diselenggarakan, dan kemajuan bangsa bisa dicapai. Selama masa yang panjang sebagai asesor pada BAN PT, dalam perjalanan ke banyak perguruan tinggi, aku belum temukan ini. Termasuk di tempatku mengajar. Tragis bangets.

Kami semua rupanya asyik masyuk di perpustakaan. Benar-benar menikmati eksplorasi ke banyak sumber. Kami pulang ke penginapan karena harus makan malam dengan pengundang kami. Di jalan pulang, kami ngobrolin kehebatan perpustakaan itu. Rupanya semua kami belum pernah ketemu perpustakaan kayak gitu di negeri tercinta. Aku dan beberapa teman yang sedang nulis disertasi berencana akan memanfaatkan perpustakaan ini untuk membantu penyelesaian disertasi.

Hanya sebentar di hotel. Tak perlu mandi pada suhu minus tujuh derajat celcius. Kami beranjak ke tempat makan malam tidak jauh dari hotel. Resto mungil yang indah karena hiasan lampu-lampu aneka bentuk. Tak ada seremoni, hanya sedikit kata pengantar dari penanggungjawab program, petinggi Raoul Wellenberg Institute. Makan malam berlangsung hangat dan sangat akrab, perbincangan dibangun saat menikmati makanan. Hawa dingin berubah hangat karena coklat panas, kalkun yang nikmat, ada salmon, dan sayuran yang semuanya Eropa bangets. Makanan datang silih berganti. Ada makanan penutup yang enak. Coklat hitam bubuk dicampur entah apalah, yang penting sedep bener. Kami selesaikan malam hangat ini dengan berfoto-foto. Sewaktu jalan pulang, aku dan beberapa teman menyempatkan diri berkeliling. Malam sungguh indah, binar lampu di mana-mana, ditimpali dengan cahaya gemerlapan dari tumpukan salju di mana-mana. Kota tua Lund indah, hangat, dan sangat menyenangkan.

Sungguh ini pengalaman yang luar biasa. Kami mengikuti program internasional. Para pembicaranya para pakar yang sangat berpengalaman dan semuanya pernah bekerja di PBB, berasal dari beberapa negara Eropa, Afrika, Amerika Utara dan Selatan, namun dilangsungkan dengan sederhana dan penuh kehangatan. Tak ada seremoni. Semuanya berlangsung dengan sangat wajar layaknya kuliah biasa. Substansi lebih dikedepankan daripada asesori. Beda banget dengan kita yang selalu sibuk dan direpotkan dengan asesori, seremoni, dan basa-basi yang mahal dan sama sekali tak bermakna.

TUA TIDAK SELALU BERARTI TAK BERDAYA DAN TAK LAGI BERMAKNA, TUA ADALAH KEBIJAKAN, KEHANGATAN, DAN MUTU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd