Indonesia bukan hanya rawan bencana, juga sangat rawan korupsi. Korupsi bisa lebih mengerikan daripada bencana alam. Korupsi sebagai bencana manusia yaitu bencana yang diakibatkan oleh perilaku buruk manusia terbukti telah merusak sendi-sendi, tulang, daging, otot, dan seluruh tubuh kehidupan kebangsaan kita.
Perhatikan jalan-jalan kita yang gampang rusak, padahal baru diperbaiki. Hanya dalam hitungan bulan sudah ancur lagi. Berapa dana yang dikucurkan untuk merehab jalan Pantura yang segera rusak beberapa saat setelah rehab? Berapa banyak fasilitas umum lain seperti gedung sekolah yang roboh, padahal belum setahun dibangun?
Lihatlah kasus korupsi yang melibatkan kader partai politik dari semua partai, keseluruhannya berkaitan dengan kepentingan rakyat. Mereka mengkorupsi uang negara/rakyat yang dikucurkan melalui APBN dan APBD yang mestinya digunakan untuk kepentingan rakyat.
Tampaknya para kader partai politik baik yang di eksekutif maupun legislatif sama sekali tidak peduli. Kepentingan rakyat yang manapun mereka korup. Termasuk pengadaan Al Quran, dana bantuan sosial, dana bencana, bahkan dana bagi orang miskin untuk raskin atau beras bagi orang miskin.
Ironisnya, para koruptor itu hidup mewah di tengah kemiskinan dan kesusahan rakyat yang menjadi korban kejahatan mereka. Sebagai contoh tiliklah dengan teliti kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan sebagian rakyat Banten di tengah kemewahan luar biasa keluarga Atut. KPK menduga, korupsi yang terjadi di Banten bersifat berjamaah karena juga melibatkan anggota DPRD.
Korupsi berjamaah sudah merupakaan modus yang sangat umum, dan kini tampaknya semakin akut. Beberapa hari lalu tercatat 44 anggota DPRD Papua Barat, termasuk ketua dan wakil ketuanya divonis karena korupsi dana APBD. Ini bukan yang pertama kali terjadi. Mengerikan sekali. Sebab bukankah mereka dipilih rakyat untuk mengusahakan dan membela kepentingan rakyat. Praktiknya mereka beramai-ramai malah mencari dan mengusahakan kekayaan pribadi dan kelompok, lewat korupsi lagi. Dan yang dikorupsi dana yang seharusnya untuk rakyat.
Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia mencatat sepanjang 2004-2012 ada 2169 anggota DPRD yang terlibat kasus korupsi. Sejumlah 431 pada tingkat propinsi, dan 1738 pada tingkat kabupaten/kota. Kapuspenkum Kejagung mencatat pada 2003 ada 548 berkas kasus korupsi, Januari-April 106 kebanyakan terjadi di Sumatera Barat, Palembang dan Garut, semuanya bersifat massal. Dirjen Otonomi Daerah Djohermansyah Johan jelaskan sejak 2004 sampai dengan Februari 2014 sebanyak 291 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Rinciannya gubernur 21, wakil gubernur 7, bupati 46, walikota 46, wakil walikota 20. Diduga angka ini akan terus meningkat. DPRD Kabupaten/Kota 2545. Sementara itu Republika On Line (28.3.2013) mencatat 2004-2012, sejumlah 2976 anggota dewan terseret kasus korupsi. Tampaknya terus terjadi peningkatan.
Fenomena korupsi yang sangat akut ini adalah puncak gunung es dari problematika sistem kekuasaan yang berkembang selama reformasi politik pasca orde baru. Artinya, sistem politik yang sekarang berlaku ternyata menyimpan sekaligus menimbulkan berbagai persoalan yang jika tidak diatasi segera, boleh jadi akan menimbulkan revolusi yang bahkan lebih mengerikan daripada reformasi politik saat menggulingkan rezim otoriter orde baru. Mengapa?
Korupsi sekarang ini terjadi sangat meluas sampai pada tingkat kekuasaan yang paling bawah yaitu kelurahan. Dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat dalam bentuk rusaknya fasilitas umum yang berkualitas rendah. Buruknya pelayanan publik bila tidak bersedia memberi uang pelicin. Bedanya, dulu masyarakat menganggap ini wajar, karena tidak berani melakukan kritik dan perlawanan. Sebab kekuasaan begitu kuat dan orang kritis gampang diberangus.
Sekarang, masyarakat berani melawan. Sudah bukan kejadian luar biasa masyarakat bukan saja mengadukan lurah atau aparat lain ke polisi, bahkan menurunkan sendiri sang lurah. Tentu dengan tindakan anarkis. Di beberapa tempat, masyarakat bahkan berani membakar kantor polisi sebagai protes terhadap oknum polisi yang melakukan pungli.
Sikap reaktif masyarakat yang diikuti perilaku anarkis sebagai ungkapan ketidakpuasan dan marah bahkan merambat ke lapas. Ada berapa banyak lapas dibakar oleh napi sebagai protes atas berbagai pelanggaran yang dilakukan oknum aparat. Berbagai kejadian ini lebih mirip bom waktu yang bisa meledak kapan saja ketimbang api dalam sekam.
Dulu korupsi terkonsentrasi di pusat kuasa yaitu Jakarta dan berbagai depatemen yang juga di Jakarta. Kini, sejalan dengan otonomi daerah, munculnya berbagai pusat kuasa baru, korupsi juga sangat menyebar ke mana-mana. Bedanya, pada zaman orde baru ada kekuatan yang bisa kendalikan agar berita korupsi yang dilakukan pejabat tidak muncul di media massa. Penegak hukum juga bisa diatur agar tidak mempersoalkan pejabat yang korup. Kesannya korupsi di orde baru tidak terlalu parah.
Kini kasus korupsi yang dilakukan pejabat sengaja dibuat ngablak atau terbuka lebar. Sementara itu masyarakat berani mendemo bahkan menyerang kantor penegak hukum agar kasus korupsi pejabat segera disidik. Kedua kondisi ini bisa menjadi pemicu dari kemarahan yang menggumpal, dan meledak, kapan dan di mana pun. Sebab, korupsi kini sungguh telah meyebar ke seluruh daerah.
Harus ada keberanian untuk mengakui ada yang salah dalam sistem politik kita yang semakin hari semakin mahal dan semakin materialistis. Dibutuhkan keberanian yang lebih besar untuk secara sistematis, rasional dan legal untuk mengubahnya. Tragisnya, para politisi yang sekarang tampak paling korup jika memegang kuasa, malah lebih tertarik untuk mengubah aturan hukum dan memperlemah aturan yang bertujuan memerangi korupsi.
Sikap politisi dan partai politik ini bisa jadi akan memunculkan perlawanan rakyat yang bersifat massif, karena korupsi yang dilakukan para politisi itu juga sangat massif dan menyebar. Apalagi tidak sedikit politisi seperti tidak peduli, membangun istana megah, mengubah rumah mewahnya menjadi showroom khusus mobil mewah di tengah kesulitan dan kemiskinan rakyat. Siapa yang menajamin kondisi ini tidak akan memicu revolusi sosial.
Negara Bangsa ini harus mulai melakukan perubahan yang bertujuan, sistematis, dan gradual, agar tidak diberangus oleh kemarahan, amuk massa yang tak terkendali. Perubahan gradual adalah cara yang paling rasional untuk menjaga keutuhan bangsa ini. Jika tidak,
KORUPSI AKAN JADI PEMICU DAN PEMACU REVOLUSI SOSIAL YANG DAHSYAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd