(Untuk para calon rektor UNJ yang dipilih hari ini, 19.2.2014)
Ada kalanya baju yang dikenakan bisa menunjukkan sisi tertentu dari diri kita, siapakah kita. Kita bisa dan selalu menilai orang itu rapih, norak, cuek dari baju yang dikenakannya. Dari gaya atau model, warna, padu padan, dan trend baju atau pakaiannya.
Baju kini tidak lagi sekadar untuk melindungi tubuh atau menutup aurat. Lebih dari itu, baju telah menjadi media untuk menunjukkan banyak hal tentang pemakainya. Identitas diri pribadi, suku, kebangsaan, status dan kelas sosial, pangkat dan jabatan, tingkat pendididikan, profesi, dan banyak atribut lainnya.
Itulah sebabnya dunia fashion berkembang sangat pesat, rumah mode dan butik muncul kayak nyamuk di musim pancaroba, banyak dan di mana-mana. Jangan heran bila kemudian muncul slogan, kamu adalah apa yang kamu kenakan.
Biasanya, agar tampak lebih menarik ditambah pula dengan beragam asesori. Baju yang indah dan asesori yang meriah, pastilah akan terlihat mewah dan wah.
Tidak jarang pula kita saksikan orang salah kostum. Mengenakan baju yang kuran pas. Bisa karena tidak sesuai dengan ukuran dan bentuk badan, kurang sesuai dengan warna kulit, atau sama sekali tidak nyambung dengan kondisi dan suasana.
Salah kostum inilah yang kemudian memunculkan istilah negatif seperti norak dan kampungan. Penguna pakaian tersebut dianggap lebay, dan tidak tahu diri. Meskipun penilaian ini belum tentu benar. Boleh jadi, si pengguna sengaja mengenakan pakaian yang kelihatan kurang sesuai justru untuk menarik perhatian, agar kelihatan berbeda dari yang lain. Berbeda itu kan hebat.
Rasanya, sebagian besar kita tidak asal memilih baju yang akan dikenakan. Mesti ada sejumlah pertimbangan untuk memilih baju tertentu dan kelengkapan lainnya. Paling tidak pertimbangan acara apa yang akan dihadiri, mau ketemu siapa. Artinya, kita selalu memperhitungkan konteks saat hendak memilih dan mengenakan baju atau pakaian. Dalam kaitan itulah kemudian muncul kategorisasi. Ada baju kerja, baju pesta, baju santai, baju pantai, baju rumah, baju tidur yang secara sangat serius dikaji pada program studi tatabusana di perguruan tinggi.
Pada hakikatnya saat memilih pakaian yang akan dikenakan, kita sungguh menjadi manusia yang sadar. Sadar akan dua hal, yaitu sadar akan siapa diri kita, dan sadar akan konteks yang akan kita masuki dengan baju yang kita pilih untuk dikenakan.
Inilah hakikat kesadaran manusia. Manusia itu tidak pernah sekadar sadar. Ia pasti sadar akan sesuatu, apa pun itu. Aku sadar hari sudah malam, aku sadar ada hutang yang belum dibayar, aku sadar belum makan siang. Konstruksinya pasti begitu. Kita tak pernah hanya sadar, tidak pernah, aku sadar. Selalu aku sadar........ Ada sesuatu yang disadari. Yang disadari itu tidak selalu ada di luar diri, malah sering melekat atau ada di dalam diri kita sendiri.
Justru di sinilah masalahnya. Kita selalu sadar, bahkan sadar penuh tentang baju yang akan dikenakan. Kerap kali kita sudah siapkan baju yang akan dikenakan pada malam hari untuk dikenakan keesokan paginya. Namun, sering kali kita lupa pada diri sendiri.
Cermati dengan teliti fenomena di sekitar kita, apalagi jika sedang musim pemilihan. Pemilihan lurah, bupati atau walikota, gubernur, anggota legislatif, dekan, rektor, bahkan presiden. Banyak orang kurang sadar atau pura-pura lupa pada ukuran bajunya. Tidak menyadari kapasitas dirinya. Apakah pantas atau tidak?
Pada saat inilah kita melihat ada orang yang memantaskan atau mematut-matutkan diri. Bukannya dengan jujur melihat, mengukur, dan menakar diri . Malah sibuk dengan memenuhi baju dengan berbagai asesori yang justru memberi kesan dipaksakan dan norak. Sialnya ada pula orang di sekitar, bukannya mengingatkan tentang ketidakpantasan itu, malah memberikan macam-macam pujian, agar kecipratan. Inilah dunia para gerembolan. Siapa pun akan didukung bila memberi keuntungan langsung dalam jangka pendek. Ukuran-ukurannya sama sekali duniawi. Tak ada lagi idealisme yang mendahulukan kepentingan orang banyak. Bahkan dengan terbuka dan tanpa malu melakukan manipulasi aspirasi, untuk mendukung orang yang tak pernah mau tahu ukuran bajunya, kapasitas dirinya. Inilah saat baju lebih berfungsi sebagai topeng bagi diri. Baju sebagai piranti manipulasi. Bukan sebagai cara untuk menjaga kehormatan diri.
BILA MANUSIA TAK LAGI PUNYA KEJUJURAN MENAKAR KAPASITAS DIRI, KEHANCURAN PASTI MENYAMBANGI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd