Bukan main. Bukan main-main. Wawan adik Atut, dan Akil sahabat karib Atut berdasarkan data dari KPK berhasil mengumpulkan lebih dari 70 puluh mobil yang tergolong mewah, dan puluhan sepeda motor. Akil yang pernah jadi anggota DPR mewakili Partai Golkar juga berhasil mengumpulkan duit ratusan milyar. Atut sendiri yang merupakan kader utama Partai Golkar dan pengurus Partai Golkar diduga berhasil mengumpulkan duit dan harta yang jumlahnya juga bukan main.
Jangan pernah mengira hanya pejabat eksekutif dan yudikatif serta saudara kandung penguasa saja yang bisa lakukan perbuataan yang mengharuskan mereka jadi tersangka dan terdakwa kasus korupsi. Semua pejabat di semua lembaga apakah legislatif, penegak hukum, bahkan pendidikan dan agama terbukti juga bisa. Akil, Atut, dan Wawan hanyalah puncak gunung es. Yang lain boleh jadi belum kebuka aja sekarang.
Sangat salah jika mengira yang korup itu hanya kader Partai Golkar. Kader Partai Demokrat, PDI Perjuangan, PKS, PAN, dan partai lain juga melakukannya. Jangan heran bila banyak orang mulai yakin bahwa partai politik mengusahakan kekuasaan bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan diri sendiri. Rakyat sekedar menjadi objek pengatasnamaan. Karena itu tidak usah meributkan adanya sejumlah fihak yang terus mengkampanyekan golput. Tanpa kampanye pun golput akan terus meningkat. Penyebabnya adalah hilangnya kepercayaan rakyat terhadap partai politik.
Bila kita cermati dengan teliti dari berbagai kasus, terutama yang digarap KPK, sangat jelas bahwa korupsi dilakukan mengikuti sejumlah pola yang sistematis, melibatkan kader partai politik di semua lini kekuasaan. Korupsi itu sungguh tidak pernah hanya dilakukan oleh seorang pejabat.
Telaah kembali korupsi yang dilakukan bendahara Partai Demokrat yang kemudian dipecat. Uang yang dikorupsi adalah uang negara/rakyat dalam sejumlah proyek yang sejatinya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Kader partai yang terlibat adalah mereka yang duduk di lembaga eksekutif dan legislatif, serta sejumlah pengusaha dan pejabat BUMN.
Kasus yang dimulai dengan penetapan mantan bendahara Partai Demokrat sebagai tersangka, ternyata mengalir sampai jauh. Kita belum tahu akan sejauh mana. Sebab para tersangka lain seperti mantan ketua umum Partai Demokrat bisa saja menyebukan dan membuktikan adanya kader lain Partai Demokrat yang juga terlibat.
Banyak kejadian sangat menarik dari kasus yang bermula pada penetapan mantan bendahara Partai Demokrat sebagai tersangka. Pada awalnya si pelaku membantah. Kemudian rame-rame pengurus dan kader Partai Demokrat ikut membantah dan membela sang bendahara.
Saat kasusnya makin mengerucut dan media massa berlomba menyajikan beragam fakta pendukung, kader dan pengurus Partai Demokrat mulai terpecah. Kemudian mendadak si bendahara pergi ke Singapura. Sementara itu di tanah air, kader dan pengurus Partai Demokrat saling serang. SBY sebagai pendiri dan ketua dewan pembina makin sering bicara soal kasus ini. Sang bendahara mulai diserang, ada upaya sistematis untuk tunjukkan kasus ini masalah pribadi, tidak ada hubungannya dengan Partai Demokrat. Sebagai akibatnya sang mantan bendahara mulai melakukan serangan balik dan mulai meyebut sejumlah nama petinggi Partai Demokrat dan kasus yang membelitnya.
Dalam persidangan, mantan bendahara Partai Demokrat itu makin lantang bersuara. Ia bertingkah layaknya pembawa acara penganugerahan penghargaan academy awards dengan menyebut sejumlah nama sebagai nominasi kasus korupsi dan kategori kasus. Dia dan istrinya juga terlibat banyak kasus korupsi yang kesemuanya merupakan proyek pemerintah untuk rakyat.
Pada mulanya penjelasan mantan bendahara Partai Demokrat itu dianggap cuma bualan. Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum bahkan menilainya sebagai halusinasi. Namun, dalam perjalanan waktu terbukti ucapan mantan bendahara Partai Demokrat itu benar adanya. Akibatnya satu-satu kader dan pengurus Partai Demokrat ditetapkan jadi tersangka, bahkan sudah ada yang menjadi terpidana. Artinya apa yang dikatakan sang mantan bendahara Partai Demokrat itu benar adanya.
Nama selanjutnya yang dicokok KPK berdasar penjelasan mantan bendahara Partai Demokrat itu adalah mantan putri Indonesia yang kecantikannya tak terbantahkan. Kali ini yang tak terbantahkan adalah perilaku koruptifnya. Kader Partai Demokrat yang satu ini ternyata tersangkut sejumlah kasus, termasuk kasus di Kemdikbud.
Kasus di Kemdikbud ini sangat memprihatinkan karena telah membuat rendahnya mutu sarana dan prasarana yang seharusnya dapat meningkatkan proses dan mutu pendidikan. Ini membuktikan betapa jahatnya korupsi itu karena sangat menghancurkan banyak aspek kehidupan. Tak ketinggalan sejumlah pejabat di perguruan tinggi kena getahnya, termasuk petinggi di UNJ. Korupsi memang selalu melibatkan jejaring yang luas dan panjang.
Dalam lintasan waktu semakin terbukti, ucapan mantan bendahara Partai demokrat benar adanya. Itu terlihat dari ditetapkannya kader dan pengurus Partai Demokrat yang menjadi Meteri Pemuda dan Olah Raga. Dalam persidangan pejabat Kemenpora yang juga kena getahnya, terbukti adik si menteri terima duit, juga dengan jumlah yang bukan main. Jadi Wawan adik Atut bukanlah kasus satu-satunya keterlibatan keluarga dalam kasus korupsi. Dalam kasus korupsi yang menjerat kader Partai Golkar dalam pengadaan Al Quran juga melibatkan anaknya. Para politisi ini tampaknya merasa negara ini seperti milik keluarga besarnya, sehingga bisa seenaknya membagi-bagi uang negara lewat korupsi.
Ternyata ocehan mantan bendahara Partai Demokrat itu menjadi semacam kutukan, karena selalu memakan korban karena ada buktinya. KPK akhirnya menahan mantan ketua umum Partai Demokrat. Apalagi ada dugaan korupsi yang melibatkan mantan ketua umum Partai Demokrat tidak hanya untuk kepentingan pribadi, juga untuk kepentingan pemenangan sewaktu pemilihan ketua umum dalam perhelatan besar Partai Demokrat.
Bila sangkaan ini bisa dibuktikan di pengadilan, pastilah akan banyak kader Partai Demokrat yang terseret dan terjerembab. Apalagi sang mantan ketua umum Partai Demokrat dan para pendukungnya juga sudah sangat mempersoalkan kemungkinan keterlibatan sekjen Partai Demokrat yang juga putra Presiden SBY.
Kasus yang bermula dari bendahara, kemudian menjadi mantan bendahara Partai Demokrat bagai penyakit campak yang kemudian menulari kader Partai Demokrat yang duduk dilembaga eksekutif, sampai ketua umum Partai Demokrat, sungguh menegaskan betapa kuasa sangat koruptif. Jejaring kuasa itu seakan bagai gurita rakus yang melahap apa saja.
Kita tilik kasus korupsi SKK Migas. Pada mulanya melibatkan pejabat SKK Migas dan pengusaha. Kemudian merambat ke sesjen Kementrian ESDM. Di pengadilan mulai disebut nama dua kader Partai Demokrat. Saya yakin, ada kader Partai Demokrat yang bakal kena.
Tampaknya dalam kasus korupsi Hambalang yang menjerat para petinggi Partai Demokrat dan kasus korupsi SKK Migas, para pejabat karir telah menjadi sapi perah kekuatan politik. Pengadilan terhadap sesjen dan kepala biro keuangan dan perencanaan Kemenpora menunjukkan bagaimana para pejabat itu dikondisikan dalam posisi sulit yang akhirnya menjerumuskan mereka dalam kasus korupsi, meskipun jika dapat bagian mereka cuma kebagian remah. Tetapi karena mengambil keputusan akhirnya merekalah yang pertama dihukum. Kelihatannya dalam kasus korupsi SKK Migas sama saja.
Perhatikan pula kasus korupsi yang melibatkan kader Partai Golkar Rusli Zainal. Pada mulanya yang dijadikan tersangka adalah anggota DPRD dan pejabat di bawah gubernur. Akhirnya gubernurnya yang merupakan kader Parati Golkar juga tersangkut. Sekarang KPK tengah menelusuri kemungkinan keterlibatan pengurusan pusat Partai Golkar, termasuk yang menjadi menteri.
Polanya menunjukkan keterlibatan sebuah jaringan besar, lintas jabatan yang melibatkan kader partai. Apakah dengan pola seperti ini kita bisa percaya bahwa korupsi itu dilakukan hanya oleh individu untuk kepentingan individu? Saya meyakini, apa yang kita saksikan sekarang adalah sebuah pola yang telah terbentuk sejak orde baru dan telah menjadi mapan karena berhasil dilakukan dalam jangka panjang. Mungkin karena itulah yang paling banyak terlibat dalam kasu korupsi seperti ini adalah Partai Golkar. Mereka kan partai lama yang sangat berpengalaman mengelola kekuasaan di Indonesia.
Kasus korupsi yang melibatkan Akil semakin menegaskan bahwa pola itu ada dan sangat berfungsi. Walaupun ada kader partai lain yang terlibat, namun Partai Golkar adalah juaranya. Apakah kita percaya ini sebuah kebetulan? Pola dan jumlahnya menunjuktegaskan korupsi yang dilakukan lebih bersifat sistematis dan terstruktur daripada kebetulan.
Kasus korupsi yang melilit Akik sangat tegas menunjukkan bahwa kuasa itu memang membutuhkan dana besar. Padahal dana yang diminta Akil untuk memenangkan perkara itu terbilang dana di ujung akhir pemilukada. Bila dana untuk memastikan kemenangan saja sudah begitu besar, bisa dibayangkan berapa besar dana yang dibutuhkan untuk mendapatkan kekuasaan. Kuasa jadi pusaran utama bagi korupsi.
Bisa jadi, nalar yang melandasinya adalah berkuasa butuh dana besar, karena itu bila dapat kuasa gunakan segala cara untuk menyedot dana agar kekuasaan bisa dilanggengkan. Bila kekuasaan bisa dilanggengkan, lebih banyak duit yang bisa disedot. Kelihatannya nalar ini bagai virus flu atau demam berdarah, telah menyebar ke mana-mana, tak terkecuali ke lembaga pendidikan dan agama.
Korupsi impor daging sapi yang terbukti dilakukan Presiden PKS melibatkan calo atau perantara dan pengusaha, juga dalam sidang semakin terbuka kemungkinan ada kader partai di eksekutif dan legislatif terlibat. Kasus korupsi presiden PKS yang kemudian menjadi mantan presiden PKS ini harus mendapat perhatian khusus paling tudak karena tiga alasan. Pertama, PKS adalah partai yang berlandaskan agama dan mencitrakan diri sebagai partai bersih. Kedua, presiden PKS yang terlibat dikenal sebagai tokoh dengan latar belakang agama yang kuat. Itu terlihat dari pendidikan yang dijalani sejak pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Ketiga, ini merupakan kasus yang secara sangat nyata melibatkan partisipasi aktif pejabat tertinggi partai dalam kasus korupsi.
Kasus korupsi yang menjepitlilit presiden PKS ini membuka kesadaran kita bahwa kuasa dan kekuasaan memiliki keperkasaan untuk meluluhlantakkan sendi-sendi keimanan. Maknanya, jangan pernah percaya pada individu atau partai yang menjadikan agama sebagai komoditi politiknya. Bila berkuasa para politisi itu beti atau beda-beda tipis perilakunya dalam kaitannya dengan korupsi.
Korupsi yang melibatkan partai politik tampaknya menunjukkan adanya pola yang relatif baku, meskipun ada sejumlah variasi dalam praktiknya.
Karena secara umum kader dari semua partai politik tersangkut, terseret, dan terjerumus dalam kasus korupsi. Kita semakin yakin korupsi ini merupakan korupsi politik yang terkait sangat erat dengan kuasa dan kekuasaan. Lihatlah kasua kader Partai Golkar yang jadi ketua umum PSSI. Dia tetap bisa terus jadi petinggi Partai Golkar setelah menjalani hukuman. Satu-satunya alasan yang digunkan untuk membelanya adalah alasan legal formal. Argumentasi moral tak pernah digunakan. Tentu saja ini mengerikan. Sebab partai politik itu mestinya mendahulukan sikap amanah untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Tindakan korupsi merupakan pengkhiatan bagi amanah dan aspirasi rakyat. Bisa-bisanya kader yang terbukti korupsi masih mendapat tempat terhormat. Partai politik kelihatannya memang menganggap jika korupsi kebongkar sebagai kecelakaan, bukan sebagai aib yang memalukan. Lucunya, kader Partai Golkar yang ketahuan selingkuh dengan penyayi dangdut langsung dibuat tenggelam. Meskipun selingkuh dan korupsi sama-sama kejahatan, korupsi pastilah lebih berbahaya karena menyangkut kepentingan pubklik. Jadi, seharusnya kader yang terlibat kasus korupsi juga harus dihukum oleh partai politik agar menimbulkan efek jera bagi si pelaku dan kader lain. Bukan malah diberi tempat terhormat yang bisa menimbulkan efek ketagihan.
Berbagai fakta ini membuka mata kita bahwa pernyataan Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung koruptif tidak berlaku di Indonesia . Di Indonesia kekuasaan adalah koruptif. Jadi lebih tepat mengikuti model Foulcault yang menulis buku berjudul Power/Knowledge. Di Indonesia rumusannya adalah Kuasa/Korupsi. Ya,
HARUS DITEGASKAN, DI INDONESIA KUASA BUKAN CENDERUNG KORUPTIF, TETAPI KUASA ADALAH KORUPSI SAMA DENGAN KUASA/KORUPSI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd