Susah menentukan pelajaran apa yan paling sulit atau paling gampang. Tetapi tidak sulit menentukan pelajaran apa yang paling menyenangkan. Tanyakan saja pada mereka yang belajar, biasanya jawabannya seragam yaitu pelajaran kosong. Saat pengajarnya tidak datang. Apalagi bila pengajarnya kurang disukai. Malah ada yang berdoa supaya dia tidak datang. Ada yang berdoa semoga dia kena diare, rumahnya banjir, ban kendaraanya bocor atau terkena macet total.
Tanyakan pelajaran apa yang paling sulit atau gampang, jawabannya sangat beragam. Ada yang bilang matematika atau statistik. Ada yang bilang IPS karena materinya banyak sekali, ada juga yang katakan bahasa Indonesia meskipun tiap hari menggunakannya.
Keberagaman jawaban itu terjadi karena kecerdasan dan kecenderungan tiap orang berbeda. Gaya belajar, motivasi dan minat juga tidak sama. Sekarang ini persoalannya bisa bertambah rumit karena ternyata kecerdasan manusia itu sangat beragam. Gardner yang bilang begitu. Ada orang yang kecerdasan matematikanya luar biasa, tetapi kecerdasan sosialnya payah. Terdapat pula orang yang kecerdasan kinestetisnya hebat sekali seperti Messi, van Persie, dan Neymar. Belum lagi kecenderungan fungsi otak. Beberapa orang cenderung kuat belahan otak kanannya, sehingga ia sangat kreatif meskipun cara dan prosedur kreativitasnya sangat kacau, tetapi hasilnya mencengangkan. Terdapat pula orang yang kecenderungan belahan otak kirinya lebih dominan, biasanya dia lebih tertarik pada matematika, nalar logis dan sistematis, dan sulit faham bila mempelajari puisi. Sebenarnya otak bekerja secara simultan dan holistik. Kecenderungan ini lebih bersifat pribadi dan subjektif.
Banyak pula orang yang gagal dalam studi akademik di lembaga pendidikan. Tetapi sangat berhasil dalam hidup, menjadi sangat kaya dan terkenal karena berhasil melakukan terobosan inovatif. Steve Jobs dan Bill Gates adalah contoh yang spektakuler dan legendaris dalam konteks ini.
Ada anak yang dinyatakan sangat bodoh oleh gurunya sampai-sampai tidak diterima di seluruh sekolah dan diusir dari sekolah. Ternyata genius luar biasa. Thomas Alva Edison dan Einstein adalah kedua anak itu. Pada masa kecil semua pelajaran sangat sulit bagi mereka. Entah apa yang terjadi dengan jejaring neuron di otaknya. Namun, dalam masa tertentu dalam hidupnya yang panjang mereka menunjukkan prestasi luar biasa.
Sebaliknya ada orang yang sangat jenius dalam matematika, namanya John Forbes Nash. Dalam masa yang panjang dia mengalami gangguan fikiran dan jiwa yang hebat. Ia merasa akan diangkat menjadi kaisar di Antartika. Setelah sembuh ia melanjutkan pemikiran jeniusnya sampai mendapat hadiah Nobel Ekonomi 1994.
Keberagaman kisah itu menunjukkan betapa tidak gampang berurusan dengan kecerdasan dan kejeniusan. Jadi, tidak usah heran bila menjadi tidak gampang untuk menentukan pelajaran apa yang sulit atau mudah. Salah satu sebabnya adalah keberagaman model kecerdasan dan kecenderungan setiap orang.
Ini ada pengalaman menarik seorang teman yang terhitung sangat cerdas sebab sejak SD mendapatkan beasiswa. Setelah menyelesaikan studi matematika di universitas ternama di Indonesia juga dengan beasiswa, dia melanjutkan studi ke Eropa lagi-lagi dengan beasiswa penuh pada jenjang S2 dalam bidang matematika dan statistika. Tidak lama ia selesaikan S2 lanjut ke S3 yang juga diselesaikan dengan cepat dengan hasil terbaik. Dia sama sekali tidak pernah merasa matematika dan statistika sebagai pelajaran yang sulit.
Mungkin karena mulai agak jengah dengan matematika dan statistika, ia mulai coba-coba membaca karya sastra berupa prosa dan puisi. Ia coba membaca puisi-puisi cinta Rendra dalam Empat Kumpulan Sajak. Ia merasa banyak keindahan dalam puisi-puisi itu meski tidak begitu faham maknanya. Ia ingat nama-nama seperti Amir Hamzah dan Khairil Anwar dalam pelajaran sastra di SMA.
Ia mulai mencari puisi yang ditulis oleh kedua penyair besar itu. Kembali ia mengalami keindahan. Namun kali ini ia merasa keindahan itu mulai berbaurcampur dengan misteri. Ada getar jiwa yang tak dimengertinya saat membaca beberapa sajak yang sudah dikenalnya sejak SMA. Dulu ia tidak rasakan getar ini. Tetapi, ia merasa ia makin tidak memahami artinya. Ia mulai merasa bahwa sastra, terutama puisi-puisi yang dibacanya jauh lebih sulit dari pelajaran matematika yang manapun yang pernah dipelajarinya.
Ia merasa dalam matematika dan statistika ada pegangan, indikator bagi kepastian berupa sejumlah rumus. Dengan rumus-rumus yang pasti itu ia bisa menyelesaikan masalah matematika dan statistika betapapun sulitnya. Tidak demikian halnya dengan puisi. Sungguh tak ada sebuah rumus yang pasti untuk memahami puisi. Baginya puisi itu lebih merupakan misteri. Dapat dirasakan, namun tak mudah dimengerti.
Ia kemudian membaca puisi-puisi Sapardi Djoko Damono dan Goenaean Mohammad. Luar buasa indah. Namun tak juga gampang difahami.
Kini ia sangat merasakan kekuatan dan keindahan kata dalam membangun dan mencipta makna. Ia teringat sepenggal puisi Sapardi Djoko Damono berikut ini,
Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang
hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya
mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana
Rangkaian dan untaian kata dalam puisi itu membangkitkan beragam imaji dalam benaknya. Ia menyadari setiap orang yang membacanya pastilah memiliki makna subjektif yang berbeda. Karena pohon cemara bisa memiliki makna yang berbeda bagi tiap orang. Bagi sebagian orang cemara bisa mengingatkannya pada keheningan Natal. Natal bisa bermakna kasih karunia Tuhan. Bisa jadi pertanyaan yang muskil dalam puisi itu bermakna pertanyaan tentang hal-hal yang terkait dengan keberadaan Tuhan. Namun, bagi orang lain pohon cemara bisa membangkitkan kenangannya pada musim salju di Eropa, pastilah pertanyaan muskil bisa tentang yang lain.
Baginya ungkapan cemara yang tak henti-hentinya bertanya pada angin sungguh sangat menggugah. Selama berada di Eropa ia selalu melihat keindahan cemara, namun tak pernah ia bayangkan imaji seperti itu. Ia juga bertanya, mengapa penyair memilih cemara, bukan pohon durian, pohon mangga, atau pohon kurma. Pastilah ada maksud tertentu dalam pilihan itu. Bila yang dipilih pohon kurma, imaji yang muncul rasanya akan berbeda. Mungkin ada orang yang akan mengenang perjalanan umroh atau haji ke Mekkah-Madinah. Ia juga berfikir, mengapa penyair menggunakan kata mendesau bukan mendesah. Ia makin menyadari tiap kata pastilah membangkitakan kesan, imaji dan makna yang berbeda.
Ia meyakini, para penyair adalah orang yang bukan saja memiliki kemampuan melakukan oleh nalar tingkat tinggi yang bersifat reflektif. Juga memiliki kelebihan membangun imaji yang bahkan tak pernah terlintas bagi kebanyakan orang. Ia jadi ingat puisi Goenaean Mohammad Asmaradana berikut ini.
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang
jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.
Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.
Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani
lagi.
Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
Dulu, ia menangkap makna tertentu dalam puisi ini. Makna yang baginya sangat sederhana. Sebagai orang Jawa dan sedikit tahu soal wayang, ia faham puisi ini ada kaitannya dengan cerita dalam wayang.
Kini karena usia dan pengalaman terus bertambah, ia menangkap makna yang sama sekali berbeda. Puisi ini kini dirasakannya mengandung makna yang sangat mendalam dan luar biasa. Ia bisa rasakan keperkasaan maut, ketragisan kematian, dan kekuatan cinta. Ia pernah rasakan situasi seperti ini. Ketika hati harus memilih antara kewajiban dan cinta.
Dulu ia pernah tinggalkan kekasihnya untuk lanjukan studi. Ternyata ia bisa kembali dan berkumpul kembali. Ia bisa bayangkan saat seorang harus pergi memenuhi kewajiban ke kancah peperangan, kala kematian begitu lekat, dan harus meninggalkan kekasih yang sangat dicinta. Baginya puisi ini luar biasa, karena bertutur tentang sesuatu yang sangat hakiki bagi manusia yaitu maut dan cinta, kebahagiaan pribadi dan kewajiban publik, keikhlasan dan pengorbanan, tentang pilihan yang niscaya dalam hidup yang sangat singkat. Ia tak dapat menahan air matanya saat membaca puisi ini berulang-ulang. Inilah kekuatan puisi yang tak pernah dirasakannya saat bercengkrama dengan angka-angka dalam matematika dan statistika.
Pernah juga matanya berair saat mengerjakan tugas matematika yang sangat sulit. Bukan karena keterlibatan emosi yang empatis, tetapi karena kelelahan mata.
Ia masih sangat ingat sajak terkenal dari Khairil Anwar waktu masih sekolah dulu. Kalau tidak salah judulnya Aku. Kini ia cari kembali sajak-sajak Khairil yang oleh gurunya dulu disebut penyair paling besar dalam jagat sastra Indonesia. Ia baca kembali semua sajak Khairil, dan ia sangat menyukai yang satu ini.
DOA
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Ia merasa sangat terpesona. Bayangkan, orang biasanya menyebut dan mengingat Tuhan saat sedang khusuk beribadah. Namun, seringkali juga tak sepenuhnya dapat menyerahkan diri dalam ketotalan. Pada sajak ini, ia menemukan sesuatu yang luar biasa. Dalam termangu, aku masih menyebut namaMu, biar susah sungguh, mengingat Kau penuh seluruh.
Tentu ia juga memperhatikan permainan bunyi yang digunakan penyair eksentrik ini. Namun, bukan hanya itu yang menarik perhatiannya. Terutama adalah totalitasnya. Dalam termangu, bukankah bila termangu kita bengong atau kehilangan arah. Penyair ini malah ingat Tuhan. Dan dengan jujur ia katakan mengingat Tuhan bukanlah sesuatu yang mudah. Ia tahu berbagai ibadah diwajibkan agar manusia selalu ingat Tuhan. Bila manusia bisa dan terus mengingat Tuhan, bahkan saat termangu, mestilah ini bukan sesuatu yang biasa. Ada kejujuran lain yang ia rasakan dalam ungkapan, aku hilang bentuk remuk, aku mengembara ke negeri asing, ke pintu Mu aku mengetuk.
Ia tak dapat membayangkan, situasi apa yang menyebabkan ungkapan aku hilang bentuk, remuk yang digunakan. Pastilah rasa kehancuran yang sangat dahsyat. Rasa bersalah yang sangat mendalam. Ia berpendapat, rasa bersalah seperti itu hanya bisa lahir dari kesadaran yang intens tentang apa makna hidup dan apa makna menjadi manusia. Hanya sedikit manusia yang bisa sampai pada kesadaran sedalam itu. Apalagi ungkapan selanjutnya, di pintuMu aku mengetuk, aku tak bisa berpaling. Sungguh ini dahsyat. Ungkapan ini menegaskan betapa lemah manusia, inilah kondisi objektifnya. Ada pengakuan yang sangat jelas bahwa aku hanya bisa mengetuk, dan tak ada jaminan pintu akan dibukakan. Namun, tetap dilakukan untuk menunjukkan dan mengakui betapa manusia hanyalah noktah, sebutir debu yang rentan dan lemah, tak berdaya. Ini sungguh kepasrahan yang total, penyerahan diri tanpa sisa.
Sang doktor matematika sadar betul, tangkapan dan pemaknaannya atas sajak Khairil bukanlah makna sesungguhnya dari sajak itu. Sekadar makna yang dapat ditangkapnya. Justru fakta inilah yang sangat mempesonanya. Betapa tidak mudah mencaritemukan, menggali, dan menangkap makna puisi atau sajak. Matematika dan statistik rasanya tak pernah semisterius ini.
Persentuhannya dengan puisi membangun kesadaran baru baginya. Ia merasakan sebuah pencerahan yang luar biasa. Sekarang dia mengerti, menagapa sewaktu di SMA ia kurang tertarik pada pelajaran sastra. Karena ia tidak mengerti, tidak mudah memahami puisi. Apalagi gurunya juga mengajarkan puisi seperti mangajarkan matematika yang ditandai oleh kepastian dan ketunggalan makna. Ia ingat bagaimana dulu gurunya tak pernah memberi kesempatan pada muridnya untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan saat bergumul dengan puisi itu. Sialnya, tes puisi pake tes objektif lagi, seperti: makna bait sajak ini adalah A........ B....... C......... Sungguh ini cara yang sangat buruk untuk pengajaran sastra. Tidak memberi kesempatan pada murid untuk merasakan ketegangan yang mengasyikkan saat bergumul untuk mendapatkan makna puisi itu.
Ia kini mulai merasakan sesuatu yang berbeda dengan matematika. Dulu ia sangat percaya bahwa matematika itu sepenuhnya soal nalar lurus lempang yang kering. Pada tingkat tertentu bisa saja orang yang asyik masyuk dengan matematika masuk dalam suasan intuitif yang mengasyikkan dengan angka-angka yang kadang juga bisa misterius.
Lewat petualangan dalam puisi ia kini juga bisa rasakan keindahan matematika seperti yang dulu dirasakan dan dihayati ahli dan filsuf matematika kuno si Phytagoras. Bagi Phytagoras angka dan matematika lebih dari sekedar angka seperti yang terlihat. Phytagoran menemukan harmoni dan keindahan perhitungan dengan musik, karena itu partitur musik dan pembuatan alat musik melibatkan angka yang akurat. Phytagoras juga merasakan harmoni dalam penjelasan alam semesta menggunakan matematika. Meskipun Newton lah yang berhasil merumuskannya dalam hukum gravitasi, dua ribu tahun setelah Phytagoras menyadarinya. Semua ini mengisyaratkan,
PELAJARAN TERSULIT ADALAH MENCARITEMUKAN HAKIKAT DENGAN KETERLIBATAN INTENS AGAR MERASAKAN PENCERAHAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd