Minggu, 02 Maret 2014

ANAK-ANAK KITA

Kita kembali dihebohkan. Panti Asuhan Samuel diduga menyiksa anak asuhnya. Istri purnawiran perwira tinggi kepolisian diduga menyekap dan menyiksa para pembantunya, beberapa di antara mereka masih di bawah umur. Di Medan terjadi penyekapan terhadap sejumlah pekerja wanita disertai dengan penyiksaan, beberapa juga di bawah umur.

Bagaimanakah kondisi sebagian anak-anak kita? Berikut penjelasan dari berbagai sumber.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas mengungkapkan, anak yang berumur 10-14 tahun yang bekerja, jumlahnya sekitar 878,1 ribu di tahun 2011, dan yang sedang mencari pekerjaan 174,5 ribu anak. Jumlah anak usia 10-14 tahun menurut Sensus Penduduk Tahun 2010 adalah sebesar 22,0 juta (AntaraNews)

Indonesia telah memperlihatkan komitmennya untuk menghapus pekerja anak dan memerangi perdagangan manusia. Tapi masih ada lebih dari 1,5 juta anak usia 10-17 tahun yang terlibat dalam pekerja anak tahun 2010," kata pakar statistik ketenagakerjaan regional, ILO Bangkok, Tite Habiakare ketika pemaparan temuan itu dalam laporan "Profil Nasional untuk Pekerjaan Layak di Indonesia" yang dirilis di Jakarta, Rabu (23/5). (Suara Pembaruan, 23 Mei 2012)

Pemerintah harus mempermudah akses pendidikan bagi anak-anak untuk mengurangi jumlah pekerja anak berusia 10-14 tahun di Indonesia yang kini sudah mencapai 1 juta orang. Ditambah dengan pekerja anak berusia di bawah 10 tahun, maka jumlahnya mencapai 1,7 juta orang atau meningkat 10 persen dari tahun 2010. Para pekerja anak itu mayoritas bekerja di sektor pertanian, jasa, dan rumah tangga. Pendidikan menjadi kunci penting jalan keluar bagi anak-anak tersebut untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan layak. Hal itu terungkap dalam Peluncuran Laporan Terbaru tentang Pekerja Anak dan Muda di Gedung Bappenas, Jln. Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, Rabu (20/6).(Pikiran Rakyat online, 20.06.2012)

Hasil Survei Pekerja Anak (SPA) yang merupakan kerjasama antara BPS dan ILO (International Labour Organization) pada tahun 2009 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 4,1 juta anak usia 5-17 tahun yang bekerja. Sedangkan berdasarkan hasil Sakernas Agustus 2010, terdapat 3,2 juta anak berumur 10-17 tahun pada 33 provinsi di Indonesia yang bekerja.(Profil Anak Indonesia 2011, kerjasama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak dengan BPS)
Kita bisa membayangkan bagaimana kondisi anak-anak itu bila mereka terpaksa bekerja. Berbagai kasus menunjukkan bahwa mereka bekerja tanpa perlindungan hukum. Kejahatan terhadap mereka biasanya baru terungkap setelah terjadi kekerasan dan kejahatan lainnya seperti pencabulan dan pemerkosaan.

Semua ini terjadi karena biasanya anak-anak itu bekerja pada sektor informal yang memang tak terjangkau hukum. Tak mengejutkan bila anak-anak itu selalu menjadi korban.

Kini derita anak-anak itu semakin bertambah. Sebab di panti asuhan, tempat seharusnya mereka tumbuh dengan kasih sayang, juga diduga terjadi tindak kekerasan. Jangan dikira anak-anak itu aman dan terlindungi di dalam asuhan keluarga.

Pengalaman saya yang sejak tahun 80an mengurusi anak-anak marjinal di daerah kumuh, pasar tradisional, lokalisasi bongkaran Tanah Abang, dan anak-anak jalanan membuktikan, anak-anak itu justru mengalami kekerasan sejak dalam asuhan keluarga. Kami para relawan menggunakan istilah kekerasan berlapis untuk menggambarkan betapa kekerasan sangat akrab dalam tumbuh kembang mereka. Mengapa disebut kekerasan berlapis?

Anak-anak itu sudah mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh orang tua kandung mereka. Kekerasan merupakan menu tetap setiap hari, baik kekerasan verbal, maupun kekerasan fisik dan psikis. Tidak sedikit anak-anak itu yang dipaksa bekerja untuk menambah penghasilan keluarga.

Dalam keluarga yang tergolong baik, penghasilan anak-anak itu digunakan bagi pendidikan si anak. Tetapi dalam keluarga bermasalah, penghasilan anak-anak itu malah digunakan untuk mabok-mabokan dan berjudi oleh orang tuanya.

Kerap kali anak-anak itu dihajar karena tidak dapat memenuhi setoran yang telah ditentukan oleh orang tuanya. Kondisi inilah yang memaksa anak-anak itu lari dari keluarga dan hidup bebas bersama teman-temannya di jalanan.

Di tempat mereka bekerja sebagai pengamen, pemulung, atau parkir liar, anak-anak itu juga mengalami kekerasan yang dilakukan oleh para senior, preman, petugas keamanan dan ketertiban. Beragam kekerasan, mulai dari makian, pukulan sampai kekerasan seksual.

Jika di rumah, di tempat kerja, dan di panti asuhan, anak-anak mengalami kekerasan. Di mana lagi tempat aman bagi anak-anak kita? Di sekolah formal ternyata anak-anak kita juga mendapat kekerasan dari oknum guru. Malah ada wakil kepala sekolah yang mencabuli siswanya. Sungguh negeri ini sedang mengalami darurat keselamatan bagi anak-anak. Kita semua harus berani mengambil tindakan nyata untuk melindungi dan menyelamatkan mereka.

MASA DEPAN BANGSA INI SEPENUHNYA TERGANTUNG DARI SIKAP DAN PERLAKUAN KITA TERHADAP ANAK-ANAK.

1 komentar:

  1. Tarmuji
    PIPS B 2013
    4915133414
    Malang sekali anak - anak Indoesia. Hanya karena faktor ekonomi mereka memperkerjakan anak dibawah umur. Seharusnya anak - anak itu bermain bukan bekerja. Dimana peran pemerintah yang katanya berkomitmen untuk menghapuskan pekerja dibawah umur.

    Pertanyaan:
    1. Mengapa pemerintah selalu telat dalam menangani kasus seperti ini ? apa perlu ada korban dulu agar pemerintah tahu ?
    2. Bagaimana cara orang tua agar mendidik dengan baik ?
    3. Bagaiman peran pemerintah dalam menangani anak yang mengalami kekerasan secara psikiis?

    BalasHapus

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd