Minggu, 02 Maret 2014

PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA

Pendidikan adalah proses pembudayaan, karena itu mestinya berakar pada budaya. Sejumlah mahasiswa yang membaca tulisanku berjudul Berlibur adalah Belajar mengajukan sejumlah pertanyaan terkait dengan paragraf ini.

Aku memang sengaja meminta berkunjung ke tempat pendidikan anak prasekolah, karena aku sedang mengembangkan pendidikan anak prasekolah di berbagai daerah kumuh di Jakarta. Aku sudah membaca banyak aturan, program, dan penjelasan dari kementrian pendidikan. Kesanku pendekatannya agak kurang cocok dengan tumbuh kembang anak, dan kurang memperhitungkan ciri budaya keindonesiaan. Dasar-dasar teorinya sangat berorientasi barat. Itulah sebabnya penting bagiku mendapatkan pengalaman langsung melihat pendidkan anak prasekolah dalam praktik nyata di dunia barat.

Paragraf tersebut merupakan sekilas catatan tentang pengalamanku mengobservasi praktik PAUD di Swedia pada tahun 2000. Swedia mengembangkan sendiri teori-teori yang mendasari praktik pendidikan mereka. Sementara kita lebih sering memanfaatkan teori yang dikembangkan orang lain. Karena itu seringkali tidak berakar pada budaya sendiri.

Tidak gampang merumuskan sebuah teori. Butuh penelitian mendalam untuk mencari tahu kaitan berbagai faktor atau variabel yang menjadi landas tumpu perumusan teori. Sebab teori harus memiliki kemampuan  menjelaskan, memprediksi, dan mengontrol. Meskipun dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, teori tidaklah seketat seperti dalam ilmu-ilmu alam, terutama dalam perumusan dan kontrol. Karena yang menjadi subjek, bukan objek, yang diteliti adalah manusia dan masyarakat yang hidup, memiliki kebebasan, dan bisa berubah dengan cepat.

Dalam konteks ini kita bisa bertanya dan mempertanyakan apakah teori perkembangan kognitif J. Piaget dan teori perkembangan moral Kohlberg itu sungguh bersifat universal? Bukankah kita punya peluang berdasarkan kajian empiris, paling tidak, menunjukkan beberapa aspek dari perkembangan itu yang berakar pada budaya kita. Sudah dapat dipastikan akan banyak ditemukan keberagaman, sebab tradisi pengasuhan dan perkembangan moral yang terjadi di tanah air kita sangat beragam dari Sabang sampai Marauke.

Potensi kita merumuskan teori berdasarkan kajian empiris sangat besar. Di Indonesia, sejak lama tiap suku atau tradisi telah mengembangkam pola atau model pengasuhan anak yang sangat beragam. Pola atau model itu berisi banyak kiat pengasuhan mulai dari masa kandungan, melahirkan sampai anak bisa berjalan. Termasuk di dalamnya pola komunikasi dengan bayi dalam kandungan, pola makan ibu yang sedang mengandung, sejumlah larangan bagi orang tua yang sedang mengandung, sampai sejumlah upacara atau ritual yang dikembangkan sebagai bagian dari peristiwa hamil, melahirkan dan tumbuh kembang bayi. Semua tradisi itu pantas dikaji secara kritis untuk menemurumuskan pola pengasuhan yang berakar pada budaya bangsa sendiri.

Sudah saatnya kita mengkaji pola asuh dan pendidikan yang dialami orang-orang besar Indonesia sebagai basis empiris untuk mengembangkan pola asuh dan pendidikan khas Indonesia. Bukankah Indonesia telah banyak melahirkan orang besar bahkan bertaraf internasional dalam banyak bidang. Kita mulai saja dari tokoh masa perjuangan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, dan semua bapak-bapak pendiri bangsa lain. Dilanjutkan dengan tokoh agama, pendidikan, kebudayaan, kesenian, sastra, ilmu, olah raga, ekonomi, dan semua bidang lain. Penelitian difokuskan pada pola asuh dan pendidikan sampai batas usia tumbuh kembang. Dengan demikian kita memiliki dasar-dasar empiris untuk mengembangkan teori, model, dan pola pendidikan Indonesia berakar budaya Indonesia.

Secara pribadi saya sangat yaqin, kajian mendalam terhadap sistem pesantren sejak berdirinya di zaman kolonial, bahkan pendidikan pada masa sebelumnya di zaman kerajaan-kerajaan Nusantara yang mampu melahirkan Patih Gajah Mada dan pembangunan sejumlah candi monumental dan berbagai sistem lain, perguruan Thawalib, serta beragam model pendidikan yang pernah ada di Indonesia akan melahirkan teori besar tentang pendidikan Indonesia berakar Indonesia.

Sebagai contoh kecil, apakah tidak menimbulkan keppo atau rasa ingin tahu kita semua? Bagaimana cara pesantren di zaman kolonial dapat terus bertahan di tengah tekanan penjajah dan sekaligus kemiskinan masyarakat yang akut, namun bisa menghasilkan manusia cerdas yang mampu memengaruhi masyarakat?

Sewaktu menjadi penilai penelitian para dosen di Kemenag, saya suka meminta mereka melakukan penelitian mendalam terhadap pola dan model yang dikembangkan para kiyai daripada susah payah mau menerapkan kecerdasan majemuknya Gardner di pesantren. Saya bilang, para kiyai tradisional itu lebih canggih dari Gardner. Mengapa? Karena Gardner baru menyadari kecerdasan spritual, padahal telah ratusan tahun para kiyai kita sudah melaksanakan pendidikan yang mengasah dan menumbuhkan kecerdasan spiritual dalam praktik nyata dan sudah jelas hasilnya. Menurut saya, Gardner itu ketinggalan zaman dibandingkan para kiyai tradisional itu!

Ya, kita terlalu terpesona dengan taman tetangga, dan lupa pada rumah sendiri.

BANGSA BESAR ADALAH BANGSA YANG MEMILIKI TRADISI PENDIDIKAN YANG DIRUMUSKAN DARI BUDAYA SENDIRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd