Senin, 03 Maret 2014

GOLPUT

Kapok ah. Males. Ngapain buang-buang waktu. Tipu-tipu. Pada korup. Itulah sekelumit tanggapan mayarakat menghadapi pemilu. Rupanya banyak yang sudah bersiap-siap jadi golput.

Di sebuah PTN, dosen PPKN menyediakan sejumlah topik untuk dipilih mahasiswa sebagai bahan untuk diskusi kelas. Mahasiswa rebutan sejumlah topik seperti otonomi daerah, korupsi, terorisme, tetapi tak ada yang mau memilih topik pemilu. Sebagian besar mahasiswa yang merupakan pemilih muda dan pemilih pemula bukan saja tidak tertarik pada pemilu, bahkan tidak sedikit yang mencibirnya. Ada mahasiswa yang ngeledek, tidak ada demokrasi di republik ini, yang ada cuma democrazy.

Dalam sebuah pengajian majelis taklim, sang ustaz yang bukan caleg menghimbau agar ibu-ibu sebaiknya menggunakan hak pilihnya. Sang ustaz mendapat protes dari jamaah. Para jamaah minta sang ustaz tidak usah membahas politik. Seorang ibu dengan keras bilang, partai politik itu kerjanya cuma korupsi, bukan ngurusin rakyat. Ibu lain meminta pak ustaz menjelaskan tentang perbuatan baik dan syurgadaja, tidak usah membahas neraka dan isinya. Waduh, apa maksudnya tu emak-emak?

Di sebuah pemukiman, sejumlah ibu secara sengaja mencopoti semua spanduk caleg yang dipaku di pohon-pohon dan di berbagai tempat saat ramai-ramai pulang senam pada minggu pagi. Mereka bilang semua spanduk ini mengotori lingkungan.

Kelihatannya makin banyak orang yang sadar bahwa tidak memilih adalah suatu pilihan. Tidak sedikit orang yang mulai berfikir, tidak memilih, mengapa tidak? Tampaknya kekecewaan terhadap partai politik dan para politisi sudah sangat menyebar bagai virus flu.

Pihak yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemilu tidak usah repot-repot untuk mencari atau mengecam orang atau kelompok orang yang menyerukan golput. Bertambahnya masyarakat yang golput bukan disebabkan oleh seruan dan ajakan golput. Seruan-seruan itu bilapun berpengaruh, pengaruhnya tidaklah signifikan.

Sejak rezim otoriter orde baru terjerembab dan berantakan, komunikasi dan informasi di negara kita sangat terbuka bahkan cenderung ngablak. Kebebasan dan pemberitaan cenderung sangat bebas dan mulai menabrak banyak kebebasan lain. Dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan presiden PKS, kader dan ketua umum Partai Demokrat, kader dan petinggi Partai Golkar, kader PAN, media massa terutama televisi membuatnya seperti sinetron berseri dan seringkali sudah memvonis sebelum pengadilan digelar. Masyarakat banyak sangat menikmati tontonan ini, karena banyak ketegangannya. Bahkan ada yang taruhan, misalnya Anas akan jadi tersangka tidak? Ketika Anas dijadikan tersangka, taruhannya berubah, segera ditahan atau tidak? Sekarang taruhannya adalah, Ibas kena atau tidak? Boediono terjerat kasus Century atau tidak?

Bukan hanya itu. Televisi juga sering menayangkan siaran langsung berbagai sidang di DPR, dan secara terbuka masyarakat melihat perilaku sebagian anggota DPR yang bisa digolongkan sangat menjijikkan dari segi etika dan sopan santun. Ditambah lagi berbagai komentar para politisi yang membela teman separtainya yang terkena kasus korupsi. Masyarakat benar-benar menyaksikan akrobatik para politisi. Tidak sedikit anggota masyarakat yang menilai para politisi itu kayak badut. Tetapi badut yang menyebalkan, bukan badut yang lucu.

Khusus kaum ibu ada masalah tersendiri. Kebanyakan mereka dulu sangat terpesona dan ramai-ramai memilih SBY. Mereka sama sekali tidak perhatikan partai SBY, yang penting SBY. Itulah sebabnya mengapa pemilih SBY lebih banyak daripada pemilih partainya. Namun, selama SBY berkuasa mereka sangat kecewa. Sebab, harga-harga kebutuhan pokok sering naik membubung tinggi ke langit. Opera sabun kenaikan harga gas elpiji beberapa waktu lalu, dirasakan betul sebagai pelecehan terhadap masyarakat oleh kekuasaan yang penuh keraguan dan tak kompak. Jangan dikira meski akhirnya pemerintah membatalkan kenaikan harga, banyak yang bersimpati. Justru kebanyakan masyarakat merasa dikibuli, dan dipermainkan. Tanggapan negatif masyarakat itu bisa ditemukan pada media sosial.

Apalagi ada pula komedi sangat tidak lucu, yaitu pencalonan raja dangdut jadi  presiden. Apalagi sang raja dangdut tiba-tiba menyandang gelar profesor. Orang mulai berfikir apa tidak sebaiknya mendorong Tukul, Bopak, Sule, Adul, Shoimah, Azis Gagap jadi calon presiden? Politik jadi kelihatan beda tipis dengan lawakan televisi yang kasar, norak, dan gak mutu.

Dalam konteks ini golput mesti difahami sebagai respon masyarakat terhadap buruknya tampilan, perilaku, dan kinerja partai politik dan politisi. Masyarakat semakin kehilangan harapan karena politisi yang sama mendominasi daftar nama-nama caleg di berbagai tingkat.

Pada tingkat kabupaten/kota memang muncul nama-nama baru. Sialnya, nama-nama baru itu dikenal masyarakat sebagai orang yang selama ini tidak memiliki kiprah kemasyarakatan, bahkan ada yang semasa berjabatan sangat angkuh. Karena sekarang pensiun kemudian jadi caleg. Kondisi ini semakin meningkatkan ketidakpercayaan para pemilih.

Karena peningkatan jumlah golput terus terjadi dalam pemilukada, sudah waktunya untuk melihat golput dengan cara yang berbeda. Golput mestinya difahami sebagai sebentuk kritik diam terhadap sistem politik kita. Sebagai konsekuensinya harus ada keberanian untuk mempertanyakan secara kritis apa yang salah dalam sistem atau praktik politik di negeri ini? Apa saja yang harus segera diperbaiki?
Lebih baik dilakukan perubahan gradual yang sistematis dan bertahap daripada ada reformasi jilid dua.

DEMOKRASI DIPILIH SEBAGAI SISTEM, BUKAN KARENA DEMOKRASI ITU SISTEM YANG SEMPURNA, TETAPI KARENA DEMOKRASI MENYEDIAKAN MEKANISME YANG RASIONAL UNTUK TERUS DIPERBAIKI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd