Anak-anak ini sepanjang waktu berada di jalanan. Dari pagi hingga pagi kembali menyambangi. Mereka berusia 6 sampai dengan 17 tahun. Jumlahnya tidak tetap. Terkadang berlima, adakalanya sampai dua belas. Mereka nomaden, terus menerus berpindah tempat. Acap kali nongkrong si sekitar stasiun kereta api Beos di daerah Kota Tua. Sering juga di sekitar Pasar Pagi Mangga Dua, di sekitar pertokoan Glodok, Lokasari Mangga Besar di Kawasan Jakarta Pusat. Jika malam tiba, selalu mereka berhimpun di kawasan Jembatan Gantung dekat terminal Kota Tua.
Bila berkumpul malam hari mereka menenggak minuman keras, merokok, berjudi, dan bernyayi bersama-sama. Beberapa di antara mereka tampak bercanda berkejaran, saling memaki dengan kata-kata kasar dan kotor, seluruh isi kebun binatang, kuburan dan yang berada di selangkangan berhamburan dari mulut mereka. Seperti berbalas pantun. Ini pesta berbalas makian. Mereka juga saling pukul memukul.
Semakin malam mereka semakin semangat bernyayi. Ada sejumlah anak yang tertidur di lantai di tepian sungai di bawah udara terbuka. Biasanya menjelang terbit fajar, semuanya berserakan tertidur di berbagai tempat di sekitar Jembatan Gantung. Ada yang berpelukan, sendirian. Terdapat pula yang tertidur dengan muntah masih menggenang di lantai tepat di depan mulutnya.
Seringkali mereka baru terbangun tatkala diusir oleh petugas kebersihan yang hendak menyapu wilayah itu. Tak jarang, polisi pamong praja yang memaksa mereka bangun sekaligus mengusirnya. Biasanya mereka marah-marah, melawan, memaki-maki dan akhirnya pergi meninggalkan tempat itu.
Tanpa mandi atau cuci muka, sebagian mereka berlari mengejar bis kota untuk mengamen. Yang lain menjadi tukang parkir liar, ada pula yang menjadi kernet angkot. Sepanjang siang, masing-masing bekerja. Dulu ada yang pekerjaannya spesialis nyolong kaca spion mobil mewah. Kini sudah tidak lagi karena tidak kuat dipukuli dan disiksa di dalam penjara oleh napi lain.
Sebagian besar anak-anak dan remaja ini sebenarnya masih memiliki keluarga, atau orang tua yang tinggal di pemukiman kumuh di sekitar rel kereta api di belakang Pasar Pagi Mangga Dua, atau di pinggiran kali di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa. Tetapi mereka memutuskan mukim di jalanan, dan tidak hendak pulang kembali ke keluarganya. Mereka takut, lelah dan tidak kuat, karena sangat kerap dimaki, dipukuli, dan disiksa oleh orang tuanya, terutama oleh bapaknya.
Si Hulk (ia dipanggil demikian karena badannya besar kayak Hulk) yang diakui sebagai komandan dalam geng ini memiliki sejumlah luka di tubuhnya, dari kaki sampai kepala karena dihajar bapak dan abangnya. Ia pergi meninggalkan keluarganya setelah menghantam dan menghajar abangnya sampai masuk dan dirawat di rumah sakit. Tiga bulan ia lari ke Tanah Abang dan Tangerang dari kejaran bapaknya."Kami adalah korban", katanya pada suatu kali. Korban dari kekerasan dalam rumah tangga dan lingkungan terdekat. Kekerasan dari orang-orang yang lebih dewasa, lebih kuasa dan kuat.
Sementara si Ompong, yang terkecil dan termuda di antara mereka, umurnya sekitar enam tahun, lari dari rumah karena dijahar ayahnya sampai giginya rontok hampir semuanya. Tangan kirinya penuh bekas luka bakar, sebab sering disundut rokok oleh ayahnya jika pulang ngamen tidak membawa uang dua puluh lima ribu.
Cara mereka berbicara, bercanda, dan memaki sungguh sangat kasar. Apalagi jika sudah terpengaruh alkohol. Beberapa di antara mereka sudah ada yang terkena penyakit menular seksual. Ada yang sudah pernah masuk penjara. Semua mereka, tanpa kecuali, membenci orang tuanya, terutama bapak yang selalu menyiksa sejak mereka kecil. Kini komunitas inilah yang menjadi keluarga besar mereka.
Meskipun mereka kelihatan kasar satu sama lain, terutama saat bercanda dan bertengkar. Namun, rasa kebersamaan atau solidaritas di antara mereka sangat kuat. Jika ada anggota komunitas yang sakit dan mendapat kesulitan, mereka semua saling bantu. Uang hasil ngamen dan markir digunakan untuk menolong teman yang sedang kena musibah. Bila ada di antara mereka yang digganggu, apalagi sampai dihajar orang luar. Tanpa kecuali mereka akan mencari orang yang menghajar itu kemana pun ia lari dan bersembunyi. Mereka tampaknya menggunakan hukum Nabi Musa, luka dibalas luka, kekerasan dibayar kekerasan, qisas jalanan. Mereka hidup dalam semangat para kesatria, satu untuk semua, semua untuk satu.
PENDERITAAN MENYATUKAN ANAK-ANAK DALAM KELUARGA JALANAN.
Assalamu'alaikum wr.wb
BalasHapusSaya Shaiba Ayu Widyawati P.IPS Reguler B 2013
Penelitian bapak diatas cukup menarik untuk saya sebab apa, kejadian serupa pun terjadi di kampung halaman saya di bogor banyak sekali anak2 jalanan dengan gaya punk berkeliaran, memang pekerjaan mereka tidak mencuri atau membunuh orang lain. Tapi di kampung saya yang terjadi adalah kehadiran dari mereka sungguh membuat warga sekitar resah , tak jarang dari warga sekitar yang merasa takut melihat tampang-tampang menyeramkan dari mereka yang ala-ala hitam. Mereka lebih sering berkeliaran di malam hari, sepasang wanita dan pria yang seperti itu pun tidak malu menampakan tingkah mereka yang tidak senonoh itu. Pernah seketika saya berpikir ingin sekali melakukan penelitian terhadap mereka, namun saya kebingungan dengan metode apa yang harus saya gunakan? Sedangkan saya sendiri pun merasa takut jika melihat mereka semua.
Pertanyaannya :
1. Metode pendekatan yang seperti apa yang bapak gunakan dalam penelitian ini? Sedangkan kita semua tau bahwa anak-anak seperti itu sulit untuk di ajak berbicara apalagi di wawancarai seperti itu.
2. Apakah penelitian ini hanya dilakukan dengan metode penelitian kualitatif saja? Bagaimana peran metode kuantitatif dalam penelitian jenis ini?
3. Bukankah keduanya saling melengkapi? Tolong berikan alasannya dan cara-cara bapak meneliti hal seperti ini :-)
Terima kasih, wassalam