Luar biasa. Jamaah
calon haji Indonesia dari tahun ke tahun bertambah terus. Di beberapa daerah,
masa tunggu untuk bisa naik haji berkisar 5 sampai 8 tahun sejak mendaftar.
Meskipun kuota terus bertambah, tampaknya tetap saja tidak bisa menampung
antusias masyarakat yang ingin berhaji.
Rupanya semangat
meluap-luap itu juga terjadi untuk umroh. Pemerintah Arab Saudi sampai
menerapkan kuota juga bagi jemaah umroh Indonesia. Sekarang ini benar-benar
terjadi tsunami umroh. Apalagi saat liburan sekolah dan bulan Ramadhan.
Kita berharap dan berdoa semoga semua gairah
beribadah ini mendatangkan kebaikan bagi yang melaksanakannya dan bagi kita keseluruhannya,
bagi negeri yang dicintai ini. Bukankah semakin banyak orang beribadah, ke
tanah suci pula, bolehlah kita berharap akan membawa berkah pada kita semua.
Membawa perubahan yang bermakna bagi kebaikan bersama.
Banyaknya jamaah
haji dan umroh memang dapat menunjukkan banyak hal. Setidaknya bisa dijadikan
indikator betapa semakin banyak kaum muslimin yang bertambah makmur. Sebab haji
dan umroh itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Juga mengisyaratkan
semangat beribadah yang luar biasa.
Banyaknya jumlah kaum muslimin yang pergi beribadah ke tanah
suci menyembulkan harapan bahwa semestinya negeri ini akan semakin baik, dan
berkah. Karena sejatinya ritual ibadah, apapun bentuknya harus membuat si
pelakunya semakin baik. Kebaikan itu diharapkan akan memengaruhi lingkungan
terdekat dan sekelilingnya. Ibadah semestinya memberi dampak bagi si pelaku dan
orang-orang di sekelilingnya.
Pada tataran
dampak inilah keprihatinan mulai muncul. Dari waktu ke waktu yang haji dan
umroh terus bertambah, tetapi di negeri ini jumlah kejahatan, korupsi, berbagai
penyimpangan juga terus bertambah. Wajar bila banyak orang mulai
bertanya-tanya.
Apakah mereka yang
berhaji dan berumroh sungguh hendak beribadah mencari keridhoaan Allah? Atau
ada terselip niat yang lain? Misalnya sekadar bagian dari menaikkan gengsi
sosial, menunjuk-menunjukan kepatuhan agar terlihat betul sebagai orang yang
sungguh beriman? Atau sebagai trend, suatu kecenderungan yang lagi diminati
sebagai mana kecenderungan dalam fashion, karena banyak orang, juga para
selebriti, umroh maka ya waktunya yang tepat untuk umroh? Atau malah umroh
dihayati sebagai parawisata seperti pergi ke Bali atau Singapura?
Keprihatinan akan
semakin bertambah bila kita selidiki lebih dalam. Tidak sedikit orang yang
berhaji dan terutama berumroh yang melaksanakannya lebih dari sekali. Sebenarnya
tidak ada salahnya. Orang yang melakukannya kan menggunakan uangnya sendiri,
dan bisa jadi ia memang menghayati kenikmatan beribadah.
Tetapi boleh juga
kita bertanya. Di tengah banyaknya umat Islam yang hidupnya masih ngos-ngosan,
butuh bantuan untuk sekadar bertahan hidup, apakah cukup bijak menggunakan uang
pribadi untuk berkali-kali umroh agar bisa menikmati secara pribadi kenikmatan
beribadah?
Lebih kacau lagi,
ada pimpinan institusi yang menggunakan dana institusi untuk membiayai sejumlah
pendukung setianya berumroh, sementara
banyak pegawai lain yang tidak punya uang untuk membiayai anaknya sekolah.
Lebih tragis lagi, uang yang digunakan tersebut adalah uang yang bersifat
publik. Kesannya si pemimpin sangat baik dan sangat beriman. Padahal lihatlah
perilakunya dalam hidup keseharian, apakah mewujudkan nilai-nilai iman tersebut?
Karena itu, kita
juga tidak bisa marah bila ada yang mulai mencurigai bahwa haji dan umroh telah
dijadikan semacam modus atau komoditi untuk sekadar memamerkan keimanan, bahkan
menutupi kejahatan. Sebagai topeng untuk menutupi berbagai kejahatan. Dengan
berhaji dan berumroh diharapkan orang-orang jadi terkecoh, bahwa si pelaku haji
dan umroh adalah orang yang baik.
Setidaknya dulu
ada kejadian. Seorang hakim ditangkap saat pulang umroh, rupanya dia berumroh
dari uang sogokan tersangka kasus korupsi di lingkungan Ditjen Pajak yang
menghebohkan itu. Di sebuah kementerian, beredar cerita tersangka korupsi yang
melibatkan banyak tokoh dalam beragam kasus korupsi. Bahkan informasi dari dia
juga korupsi e-ktp dibongkar. Dulu dia pernah membiayai sejumlah pejabat di
kementrian itu pergi umroh. Dan berbagai pengaturan proyek di kementrian itu
dilakukan saat umroh di tanah suci.
Jika dulu ada buku
berjudul Anak Perawan di Sarang Penyamun, karya Sutan Takdir Alisyahbana. Kini
bisa ditulis buku Penyamun di Tanah Suci. Bayangkan, mau merampok duit
negara/rakyat, rencananya disusun di tanah suci saat umroh. Untunglah beberapa
pelakunya sudah masuk penjara sekarang.
Seperti semua
ritual ibadah lainnya, kita tidak dapat mengetahui secara pasti, apa yang
menjadi niat seseoarng melakukannya. Hanya dialah yang tahu. Namun, kita bisa
melihat dampak setelah ibadah tersebut dilaksanakan. Apakah yang
melaksanakannya menunjukkan kecenderungan yang semakin baik? Jika tidak,
rasanya sayang sekali membuang uang banyak, tenaga, dan waktu ke tanah suci
yang sangat jauh. Mending uangnya disedekahkan untuk pendidkan anak-anak yatim,
paling tidak si anak yatim memiliki bekal untuk menghadapi masa depan dengan
pendidikan dan keterampilan yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd