Minggu, 27 Juli 2014

MUDIK: KEMBALI KE KAMPUNG NURANI

Mudik telah menjadi ritual tahunan. Saat menjelang Idul Fitri terjadi gerakan manusia yang masif, melibatkan jutaan orang bergerak bersama menuju kampung halaman. Jutaan manusia berseliweran di darat, laut, dan udara. Sepeda motor, bajaj, mobil pribadi, bus, kapal-kapal besar, kapal roro, dan pesawat seakan tak henti-hentinya terus bergerak.

Hujan, panas, dan kemacetan panjang tak dipedulikan. Kematian karena kecelakaan di jalan juga disepelekan. Yang penting mudik. Pulang ke kampung halaman, tanah kelahiran, tempat  orang tua serta sanak keluarga menunggu dengan harap-harap cemas.

Semua orang dari berbagai strata dan status sosial bergerak dalam ritual mudik. Tahun ini Majelis Ulama Indonesia bahkan mengeluarkan seruan bahwa meninggal saat pulang mudik adalah mati syahid. Jadi tak usah pergi ke Gaza untuk mati syahid. Dengan demikian mudik sungguh menjadi ritual luar biasa karena bisa menyebabkan orang mati syahid.

Sejatinya mudik adalah berkumpul dengan keasalan kita secara sosial. Kembali ke tanah kelahiran, bersimpuh di haribaan kedua orang tua untuk memohon maaf, dan bersua dengan sanak famili dan semua masa lalu saat kita tumbuh kembang. Mudik menegaskan bahwa kita adalah masyarakat komunal. Modernitas tak bisa ubah kita dalam hal yang satu ini. Mudik adalah perujudan paling nyata bahwa bagi manusia, ada selalu bermakna ada bersama. Mangan ora mangan ngumpul.

Secara ekonomis, mudik mengalahkan semua program dan strategi rezim demi rezim Pemerintah Indonesia dalam hal menyalurkan dana dan benda dari kota ke desa-desa dan pelosok tanah air. Harus diakui, mudik membuat uang yang selama ini beredar di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, mengalir dengan sangat cepat dalam jumlah besar ke desa-desa. Semua ini adalah bagian dari berkah Ramadhan dan Idul Fitri.

Mudik juga adalah ujian berat bagi Pemerintah Indonesia dari rezim ke rezim dalam hal kesiapan dan kesungguhan melayani rakyat terutama mereka yang kurang mampu agar bisa berkumpul dengan keluarga dengan aman dan nyaman, seberapa jauh pun jarak yang harus mereka tempuh. Meski mudik adalah ritual tahunan, namun sampai kini problema dan hambatan yang terjadi selalu berulang dari tahun ke tahun. Kita boleh bertanya, apakah pemerintah tidak berniat merumuskan suatu pola dan program yang lebih sistematis, terstruktur dan terukur untuk membuat mudik ini menjadi perjalanan yang menyenangkan, nyaman dan aman serta bermutu tinggi? Ini penting karena mudik sungguh menyangkut hajat hidup orang banyak.

Kekritisan yang sama juga harus dilakukan terhadap masyarakat. Apakah mudik sungguh merupakan bagian dari berkah Ramadhan dan Idul Fitri untuk bersilaturahmi, peduli dan berbagi? Mengapa perlu dipertanyakan?

Sebab sudah sejak lama, tidak sedikit di antara anggota masyarakat yang memaksakan diri untuk harus mudik. Mereka terpaksa berhutang, menggadaikan atau menjual apa saja, mengambil kredit motor, bahkan mengorbankan tabungan yang mestinya untuk biaya pendidikan anak-anak. Apakah semua ini dilakukan sungguh untuk kesyahduan Idul Fitri bersama keluarga atau ada niat dan maksud lain? Tidak sedikit pula yang pulang kampung demi menunjukkan keberhasilan hidup di kota dengan membawa apa saja untuk sekadar pameran keberhasilan. Ujungnya, tidak sedikit mereka yang tidak memiliki kemampuan memadai ikut ke kota mengadu nasib. Mudik menjadi semacam cara untuk menarik lebih banyak orang desa ke kota. Desa makin ditinggalkan dan kota bertambah padat.

Mudik sebagai ritual tahunan membuat banyak orang bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain dengan pengorbanan tenaga dan biaya. Seringkali juga mengorbankan ibadah puasa dan ibadah lainnya. Beberapa bahkan mengorbankan diri. Angka kecelakaan pada saat mudik meski berhasil ditekan, masih tergolong tinggi.

Sejatinya Ramadhan mendorong kita mudik untuk kembali ke kampung halaman nurani, ke kejerihan hati. Mudik hakikinya adalah pergerakan dari keadaan ke keadaan. Dari keadaan yang kurang baik menuju keadaan yang lebih baik dari segi iman dan amal shaleh.

Ramadhan memberi kita kesempatan sangat luas untuk melihat kembali seluruh rangkaian hidup yang telah dilalui, menilik dengan jujur dan jernih hati sendiri. Secara simbolik Imam Al Ghazali menyatakan bahwa setiap kesalahan yang kita lakukan meninggalkan satu titik hitam dalam hati. Ramadhan merupakan saat jeda untuk memeriksa dengan teliti seberapa hitam hati lewati rentang waktu yang panjang ini.

Ramadhan adalah oase bagi peristirahatan hati dari segala yang duniawi. Menarik sedikit jarak dari dunia yang dipadati beragam kepentingan, target dan tujuan yang kadang sulit dimengerti dan diikuti. Ramadhan adalah dangau persinggahan bagi hati dan jiwa yang penat oleh beban duniawi. Ramadhan adalah danau jernih tempat kita berkaca diri. Ramadhan adalah malam penuh bintang saat kita melihat keluasan hati untuk disemai dengan segala kebaikan. Ramadhan adalah sebuah halte yang belum tentu kita kunjungi lagi. Ramadhan adalah sebuah kesempatan yang belum tentu datang menyambangi kita lagi.

Dalam keheningan dan kesyahduan Ramadhan, kita sucikan hati dengan segala ibadah dan amal shaleh. Ibadah dan amal shaleh itu semoga mencuci habis semua bintik hitam yang menutupi dan menyelimuti hati karena beragam salah dan dosa yang kita lakukan detik demi detik sepanjang hidup.

Ramadhan adalah kesempatan bagi tiap diri membakar semua kotoran di dalam hati dan diri seperti pandai emas yang menyepuh kotoran yang melekati emas  menggunakan zat kimia keras yang membakar kotoran dan mengembalikan kilau emas.

Saat Idul Fitri menjelang, kita mestinya mudik.

KEMBALI KE KEJERNIHAN HATI, KE KETENANGAN DAN KESELARASAN NURANI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd