Sabtu, 26 Juli 2014

PESONA KUASA


Dalam Al Qur'an surat Albaqarah ayat 30-38 tertera kisah penciptaan Adam, manusia pertama. Malaikat menunjukkan keberatan dan berkata, "Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?"

Untuk menunjukkan keistimewaan Adam, ayat berikutnya menguraikan, Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya. Setelah itu Allah menguji para malaikat untuk menyebutkan nama-nama semua benda. Malaikat tidak bisa dan Adam bisa.

Kemudian Adam dan istrinya hidup di syurga dengan satu larangan tidak boleh mendekati pohon tertentu. Kita sama mahfum, syetan memperdaya Adam dengan pohon terlarang itu dan menyebabkan dia diturunkan dari syurga.

Rangkaian ayat tersebut telah banyak ditafsirkan oleh para ahli tafsir sejak dulu. Tentulah ada banyak pengertian dan pemaknaan terhadap berbagai kejadian yang tertera di dalamnya.

Dalam konteks kuasa sangat jelas terlihat bahwa sejak keberadaan Adam pertama kali, kuasa itu telah melekat padanya, dan kuasa itu punya kaitan sangat erat dengan pengetahuan. Itu terbukti dari ayat 33-34, ketika malaikat tidak dapat menyebutkan nama-nama benda dan Adam mampu, Allah memerintahkan malaikat sujud kepada Adam. Mereka bersujud kecuali iblis karena menyombongkan diri.

Pengetahuan membuat Adam lebih unggul daripada malaikat, akibatnya ia memeroleh sebentuk kuasa yaitu dihormati atau dipatuhi. Itu terlihat dari sikap tunduk malaikat padanya. Kuasa memang membuat pihak lain harus menghormati sang kuasa dalam bentuk ketundukan. Namun, dalam kuasa itu selalu saja ada penentang, menolak untuk tunduk. Dalam konteks ayat-ayat ini yang menolak itu adalah iblis karena kesombongannya.

Keberadaan Adam sebagai manusia pertama ternyata sudah sangat lekat dengan kuasa. Oleh karena pada saat itu yang ada malaikat, kuasa itu ditunjukkan pada malaikat. Paling tidak, Adam memenangkan kompetisi dengan malaikat. Ia mendapat kehormatan, malaikat harus tunduk padanya.

Satu hal yang juga sangat jelas di sini adalah Adam mendapatkan pengetahuan sebagai keunggulannya dari Allah, dan ia mendapatkan rasa hormat dari malaikat juga karena kuasa Allah. Itu berarti kuasa manusia itu tak pernah bisa dilepaskan dari perkenan Allah. Itulah sebabnya dalam surat Ali Imran ditegaskan, Allah yang memberi dan mencabut, serta menggilirkan kuasa pada manusia. Kuasa itu sejatinya adalah amanah dan ujian, manusia bisa menjadi mulia atau terhina karena kuasa itu.

Pada Adam, kuasa itu tampaknya berfungsi untuk menegaskan keberadaanya di hadapan malaikat. Hakikinya Adam memiliki keunggulan dibandingkan malaikat.

Kuasa menjadi sangat berbeda pada anak Adam, Qabil dan Habil. Kuasa  berkaitan dengan hak untuk memilih dan menentukan. Siapa boleh memilih dan mendapatkan yang mana dan apa. Di sini kuasa sudah dipadati dengan kepentingan, pengaruh, dominasi, kemenangan, dan apa yang bisa didapat dari kuasa itu.

Apa yang bisa didapat dari kuasa yaitu kepemilikan, baik itu kepemilikan atas orang dan benda menjadi sangat mengemuka pada periode anak-anak Adam ini. Jadi sudah sangat tampak menonjolnya kepentingan pribadi yang berakar pada egosentrisme atau keakuan.

Agaknya apa yang muncul pada anak Adam ini kemudian dilanjutkan sampai keturunan Adam hingga kini. Kuasa selalu terkait dengan kepentingan pribadi atau kelompok. Ujungnya adalah kejahatan sampai pembunuhan yang terjadi antara Qabil dan Habil.

Dalam kerangka kuasa, saling serang sampai saling bunuh menjadi sangat biasa. Sepanjang sejarah manusia terus terjadi. Karena itu jika pada pilpres 2014 terjadi kampanye hitam dan fitnah untuk dapatkan kekuasaan sebenarnya masih masuk dalam kategori belum seberapa. Ini semua menegaskan betapa kuat pesona kuasa. Manusia sebagai pribadi dan kelompok bisa, biasa dan tega lakukan apapun, bahkan membunuh untuk dapatkan dan pertahankan kuasa dan kekuasaan.

Kita pastilah tak akan lupakan Firaun yang membuat perintah membunuh semua anak lelaki demi kelanggengan kekuasaannya. Hal yang sama dilakukan Hitler pada zaman moderen dan zionisme jahudi sekarang ini di Gaza. Semua kejahatan kemanusiaan ini berakar pada pesona kuasa.

Bila kita menoleh sejenak pada sejarah panjang raja-raja Cina, Eropa, dan kawasan lain seperti Indonesia dan India, juga ditemukan kisah saling bunuh yang sadis dan menjijikkan untuk dan demi kuasa. Tampaknya sejarah panjang manusia, kapan dan dimana pun penuh dengan cerita saling bunuh dalam konteks kekuasaan.

Agaknya manusia sering dijadikan tumbal bagi kekuasaan. Dibunuh dengan keji. Seringkali dibunuh habis dalam satu generasi. Semuanya demi kelanggengan kekuasaan.

Dalam karya sastra kuno yang diduga telah ada pada abad keempat sebelum masehi yaitu Mahabharata, persoalan kuasa ini tampak lebih rumit. Sebuah keluarga besar bertarung habis untuk dan demi kekuasaan. Mereka sungguh berasal dari saudara kandung.

Pandu seorang yang baik sebenarnya tak begitu tertarik pada kekuasaan. Namun ia harus menjalani kewajiban menjadi raja karena kakaknya Dretarasta tidak bisa menjadi raja karena buta. Setelah secara tak sengaja membuat kesalahan ia tinggalkan tahta semudah mencopot sandal jepit dan hidup dalam pertobatan di hutan. Dewa menganugerahkan padanya lima orang anak yang dikenal sebagai Pandawa.

Sementara  Dretarasta menjadi raja, dan atas dorongan pengkhianat besar  bernama Sengkuni, ia memaksakan anak tertuanya Duryodana menjadi pangeran yang akan menggantikannya sebagai raja. Anak-anak Dretarasta inilah yang dikenal sebagai Kurawa.

Mahabharata berpuncak pada bharatayudha, perang besar antara Pandawa dan Kurawa. Semua mereka berasal dari keluarga besar yang memiliki hubungan dan ikatan darah. Mereka saling bunuh untuk dan demi kuasa.

Banyak pelajaran dan hikmah yang bisa dipetik dari Mahabharata. Terdapat sejumlah ajaran tentang etika dan moral, soal kewajiban dan hak, kebenaran dan kesalahan, serta beragam problem-problem rumit misalnya apakah etis membunuh saudara sendiri, apakah membunuh bukan suatu kejahatan meskipun demi kebaikan? Di antara begitu banyak hikmah itu, satu hal yang juga menjadi sangat jelas adalah kekuasaan itu bisa membuat bahkan orang-orang yang bersaudara saling bunuh. Inilah fakta tentang kuasa dan kekuasaan. Inilah cerita tentang pesona kuasa.

Kuasa dan kekuasaan memang penuh pesona. Sejumlah filsuf secara khusus menulis tentang kuasa dan kekuasaan. Beberapa di antaranya yang terkenal adalah Machiavelli dan Hobbes.

Niccolò Machiavelli (1469 – 1527) menulis sejumlah buku. Salah satu yang dangat terkenak adalah Il Principe ( Sang Pangeran) yang menjelaskan serangkaian tindakan atau cara yang bisa, boleh, dan perlu dikerjakan oleh siapa pun demi memeroleh dan memertahankan kekuasaan.

Sebagai akibatnya Machiavelli selalu dikaitkan dengan prinsip menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Terutama terkait dengan kekuasaan. Karya Machiavelli itu memang memunculkan kontroversi atau pertentangan sampai saat ini. Para pemikir tidak pernah sepakat menempatkan Machiavelli. Ada yang menyatakan ia filsuf politik yang tak bermoral, ada pula yang menyatakan ia teoritikus politik yang memiliki kecanggihan dalam menyusun strategi untuk mendapatkan dan memertahankan kekuasaan, dan ada pula yang menyebutnya ilmuwan yang sepenuhnya objektif dalam mengupas dan menguraikan realitas kekuasaan.

Thomas Hobbes (1588-1679) percaya bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya. Karena manusia selalu didorong oleh keinginan untuk memertahankan diri bagi penyelamatan nyawanya. Karena itu dalam bukunya yang terkenal yaitu Leviathan or The Matter, Forme and Power of a Common Wealth Ecclesiasticall and Civil, yang lebih dikenal dengan Leviathan, menganjurkan kontrak sosial yang dikendalikan oleh kekuasaan yang absolut yang memiliki kewenangan mutlak untuk mengatur manusia. Hanya kekuasaan absolut dalam bentuk pemerintahan yang kuat dan terpusat yang memiliki kemampuan untuk menegakkan tertib sosial dan menjamin keamanan dan kesejahteraan manusia dalam sebuah negara.

Dari kedua filsuf yang sangat berpengaruh ini semakin terlihat betapa kekuasaan itu selalu menjadi topik yang sangat penting. Mereka menulis berdasarkan keterlibatan langsung dalam kekuasaan pada zamannya.

Meskipun etika, moralitas dan ajaran agama selalu mengaitkan kekuasaan dengan sejumlah prinsip kebenaran, kebaikan dan kemuliaan, namun dalam realitas sepanjang sejarah kemanusiaan, kekuasaan seperti menciptkan prinsip sendiri yang seringkali secara sengaja menabrak dan menghancurkan semua nilai kebenaran, kebaikan dan kemuliaan. Tampakan pertama justru terjadi pada anak Adam, Habil dan Qabil. Dan begitulah seterusnya sejarah manusia bergulir menggelinding hingga kini, saat pilpres 2014 digelar. Juga mungkin sampai ke masa depan.
PESONA KUASA SELALU MENYILAUKAN MATA HATI MANUSIA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd