1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Indonesia terus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Perkembangan dan perubahan itu terjadi disebabkan sejumlah faktor. Secara garis besar ada dua faktor penyebab yaitu internal dan eksternal.
Faktor internal terkait dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalam negeri, dan faktor eksternal bertautan dengan perkembangan dan perubahan pada tataran regional dan global. Kedua faktor itu secara bersama-sama memberikan pengaruh langsung yang harus diantisipasi dengan benar dan tepat.
Perubahan paling mendasar yang terjadi di dalam negeri adalah dirumuskannya sejumlah standar pendidikan sebagai amanat Undang-undang Sistem Pendidikan. Keberadaan standar itu mengharuskan semua lembaga pendidikan pada semua tingkat menyesuaikan diri secara bertahap untuk memenuhi standar-standar tersebut. Karena pada hakikatnya standar itu dirumuskan untuk membangun budaya mutu melalui peningkatan mutu berkelanjutan.
Perubahan lain adalah meningkatnya tantangan dan tuntutan masyarakat yang sangat terlihat dari semakin tingginya persyaratan untuk memperoleh pekerjaan. Hal ini tidak terelakkan karena meningkatnya jumlah pelamar pekerjaan sebagai akibat pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Persoalan tenaga kerja ini menuntut perlunya menanamkan jiwa kewirausahaan yang selama ini memang kurang ditumbuhmekarkan dalam pendidikan. Tuntutan ini pastilah membawa akibat langsung pada perlunya melakukan transformasi pendidikan.
Tantangan lain yang terjadi di dalam negeri adalah semakin berkembangnya berbagai profesi yang sebelumnya tidak ada atau kurang mendapat perhatian. Pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kemampuan dalam bidang komputer, pariwisata yang terus berkembang, dan bermacam usaha jasa seperti kuliner membutuhkan banyak tenaga profesional dalam jumlah yang besar. Pendidikan diharuskan melakukakan respon cepat untuk mengatisipasinya.
Perubahan-perubahan tradisi politik dan ketatanegaraan seiring dengan tuntutan reformasi juga mengharuskan perlunya mengembangkan sikap-sikap baru untuk hidup layak, fungsional dan bermartabat bagi generasi baru Indonesia. Tentulah kondisi itu juga meniscayakan perlunya perubahan dalam pendidikan.
Sementara itu perubahan sangat cepat pada tingkat global karena perkembangan teknologi juga memaksakan cara hidup baru dan berkembangnya sistem dan kebiasaan hidup baru. Kini teknologi sudah merupakan bagian tak terpisahkan dalam hidup manusia.
Perkembangan pada tingkat global juga memacu semakin kerasnya pertarungan antarbangsa dalam kompetisi global. Suka atau tidak, negara bangsa Indonesia harus terus meningkatkan mutu pendidikan agar tidak semakin jauh tertinggal dalam masyarakat ekonomi baru dengan ciri pasar terbuka.
Masyarakat ekonomi terbuka membuka peluang pada semua orang dari berbagai negara untuk berkompetisi secara bebas dan terbuka. Untuk menghadapinya dibutuhkan kompetensi tingkat tinggi.
Persoalan pokoknya adalah dalam banyak hal yang terkait mutu, negara Indonesia berada pada peringkat yang belum baik. Dalam laporan Education Global Monitoring Report yang ditulis UNESCO 2011, tingginya angka putus sekolah menyebabkan peringkat indeks pendidikan Indonesia rendah, yakni peringkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index (EDI). Padahal pada tahun 2010 EDI Indonesia naik pada posisi 65 dari 128 negara (Kompas.com,22 Januari 2010). Penurun EDI menunjukkan harus ada perubahan mendasar dalam pendidikan kita.
Prestasi pembelajaran siswa Indonesia juga mendapat peringkat yang rendah dalam uji berstandar internasional. Indonesia mendapat posisi ke-33 dari 45 negara dalam Third Internasional Mathematics Science Study (TIMSS) pada tahun 2003. Pada 2006 dalam Program for International Student Assessment (PISA) yang menilai seberapa baik kesiapan siswa berumur 15 tahun dalam menghadapi kehidupan, Indonesia mendapat peringkat 50 dari 57 negara dalam bidang ilmu pengetahuan, membaca, dan matematika.
Dalam PISA 2009 Result What Students Know and Can Do Student Performance in Reading, Mathematics, and Science (2010), tercatat siswa Indonesia menduduki posisi 57 dari 65 negara, sedangkan Singapura pada peringkat 5, dan Thailand peringkat 50.
Hayat dan Yusuf (2011:8) menguraikan, Studi dalam siklus lima tahunan yang dilaksanakan IEA, telah dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1999 dan 2006. Pada studi tahun 1999 diketahui keterampilan membaca kelas IV Sekolah Dasar kita berada pada tingkat terendah di Asia Timur seperti dapat dilihat dari perbandingan skor rerata berikut ini; 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 6.51 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Studi ini juga melaporkan bahwa siswa Indonesia hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan karena mereka kesulitan dalam membaca soal-soal bacaan yang memerlukan pemahaman dan penalaran. Studi tahun 2006 menunjukkan skor rerata literasi membaca kita adalah 407 untuk siswa secara keseluruhan, yang terbagi atas skor rerata 417 untuk siswa perempuan, dan skor 389 untuk pria. Hal ini berarti bahwa Indonesia termasuk negara yang prestasi membacanya berada di bawah rerata negara peserta PIRLS 2006 secara keseluruhan.
UNDP dalam Human Development Report 2011 mencata Human Development Index (HDI) Indonesia pada rangking 124, sedangkan Singapura 25, Malaysia 61, dan Filipina 112. Pada tahun 2000, Indonesia pada posisi 109, dan tahun 2002 peringkat 110, tepat satu tingkat di bawah Vietnam. Posisi Indonesia merosot bila dibandingkan tahun 2000.
Global Competitiveness Report sebagai bagian dari laporan World Economic Forum menjelaskan rendahnya daya saing Indonesia. Inilah peringkat Indonesia.
2006-2007 Singapura (5), Malaysia (26), Thailand (35), Indonesia (50)
2007-2008 Singapura (7), Malaysia (21), Thailand (28), Indonesia (55)
2008-2009 Singapura (5), Malaysia (21), Thailand (34), Indonesia (55)
2010. Singapura (3), Malaysia (26), Thailand (39), Indonesia (46).
Indonesia terus menerus berada pada peringkat terbawah dalam rentang waktu yang panjang.
The International Institute for Management Development (IMD) yang berpusat di Switzerland dalam The World Competitiveness Scoreboard 2011 menunjukkan data sebagai berikut: Singapura (1), Malaysia (10), Thailand (26), Indonesia (37).
Berdasarkan fakta-fakta di ataslah Kurikulum 2013 dirancang sebagai bentuk antisipasi terhadap berbagai perkembangan dan perubahan cepat di dalam dan luar negeri. Manusia Indonesia harus sungguh-sungguh dipersiapkan agar tidak semakin ketinggalan dari negara lain, terutama di tingkat ASEAN.
Untuk mendapatkan gambaran yang memadai tentang Kurikulum 2013, berikut dikutip sejumlah komponen kunci dari Permendikbud No 68 Tahun 2013.
Tujuan Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.
Terpapar jelas bahwa tujuan Kurikulum 2013 didasarkan pada pembukaan UUD 45 dan penajaman tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan. Di dalam rumusan itu juga jelas diungkapkan tentang kontribusi setiap manusia Indonesia pada berbagai tingkat atau tataran kehidupan.
Agar dapat berkontribusi, setiap manusia Indonesia harus dibekali dengan sejumlah sikap, pengetahuan, dan kompetensi yang fungsional serta bermakna. Untuk tujuan inilah Kurikulum 2013 dirumuskan. Maknanya, Kurikulum 2013 merupakan kebijakan yang secara terencana, sistematis dan terstruktur dirumuskan untuk mengantisipasi masa depan
Karakteristik Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 dirancang dengan karakteristik sebagai berikut:
1. mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap
spiritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan
kemampuan intelektual dan psikomotorik;
2. sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan
pengalaman belajar terencana dimana peserta didik menerapkan apa yang dipelajari di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar;
3. mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat;
4. memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap, pengetahuan, dan keterampilan;
5. kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar matapelajaran;
6. kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing elements) kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses pembelajaran dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi inti;
7. kompetensi dasar dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antarmatapelajaran dan jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal).
Karakteristik Kurikulum 2013 tampaknya merupakan penajaman, pendalaman dan pembaharuan terhadap kurikulum-kurikulum sebelumya. Juga sekaligus menjawab berbagai tantangan yang harus dihadapi pada tingkat internal dan eksternal.
Sangat jelas terurai bahwa Kurikulum 2013 ini mengedepankan sejumlah pembaruan terutama dalam penentuan kompetensi inti dan pendekatan dalam pembelajaran. Namun, harus ditegaskan tidak keseluruhannya merupakan hal yang sama sekali baru. Beberapa karakteristik terkait dengan pengelolaan pembelajaran banyak kesamaannya dengan Kurikulum 1986 yang mengusung Keterampilan Proses dan Cara Bakajar Siswa Aktif (CBSA).
Penyempurnaan Pola Pikir
Kurikulum 2013 dikembangkan dengan penyempurnaan pola pikir sebagai berikut:
1) pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi
pembelajaran berpusat pada peserta didik. Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang dipelajari untuk memiliki kompetensi yang sama;
2) pola pembelajaran satu arah (interaksi guru-peserta didik) menjadi pembelajaran interaktif (interaktif guru-peserta didik-masyarakat-lingkungan alam, sumber/media lainnya);
3) pola pembelajaran terisolasi menjadi pembelajaran secara jejaring (peserta didik dapat menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta diperoleh melalui internet);
4) pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran aktif-mencari (pembelajaran siswa aktif mencari semakin diperkuat dengan model pembelajaran pendekatan sains);
5) pola belajar sendiri menjadi belajar kelompok (berbasis tim);
6) pola pembelajaran alat tunggal menjadi pembelajaran
berbasis alat multimedia;
7) pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan
pelanggan (users) dengan memperkuat pengembangan
potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik;
8) pola pembelajaran ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline)
menjadi pembelajaran ilmu pengetahuan jamak
(multidisciplines); dan
9) pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran kritis.
Penyempurnaan pola fikir di atas secara konseptual sangat menguntungkan pembelajaran IPS karena sangat bersesuaian dengan karakteristik pembelajaran IPS yang memang lebih mendorong siswa belajar dari kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Juga sangat membantu mengembangkan kecerdasan sosial terutama terkait dengan hidup selaras dalam kebersamaan.
Jug menjadi sangat menarik untuk diperhatikan adalah model pembelajaran dengan pendekatan sains. Bagi sejumlah orang pendekatan ini mungkin saja dianggap dan dirasakan sebagai sesuatu yang baru. Jika memperhatikan dengan seksama Pendekatan Keterampilan Proses dan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), sebenarnya substansi model pembelajaran dengan pendekatan sains memiliki banyak kesamaan dengan Pendekatan Keterampilan Proses. Bahkan Pendekatan Keterampilan Proses tampaknya lebih rinci dan terstruktur polanya dibandingkan pendekatan sains yang kini diperkenalkan.
Menjadi tantangan tersendiri untuk mencoba merumuskan model penerapan pembelajaran IPS dengan pendekatan sains ini. Karena secara umum guru belum siap melaksanakannya. Beberapa informasi di media massa menegaskan hal itu.
Jakarta - Setelah pekan lalu Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak pemerintah untuk segera menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013, tuntutan yang sama juga disampaikan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) sebagai pelaksana kebijakan tersebut.
FSGI menilai, implementasi Kurikulum 2013 ini penuh dengan ketidaksiapan dan sangat tidak efektif, mulai dari ketidaksiapan para guru, pendistribusian buku yang belum merata, hingga pelatihan guru yang tidak efektif dan terkesan terburu-buru.( Berita satu.com, 1 September 2014).
Ketidaksiapan guru disebabkan oleh banyaknya hal baru dalam Kurikulum 2013 yang belum atau kurang dikenal guru, antara lain pendekatan sains dalam pembelajaran.
Dalam Menyikapi Implementasi Kurikulum 2013, yang dimuat di Pontianak Post (14.8.2014), Y. Priyono Pasti menulis,
Kesiapan implementasi Kurikulum 2013 secara serentak di seluruh Indonesia dinilai buruk. Berdasarkan laporan yang dihimpun sejumlah organisasi guru, hingga hari keempat tahun ajaran baru 2014/2015, Kamis (17/7), masalah keterlambatan buku teks siswa dan ketidaksiapan guru masih mendominasi.
Sejumlah sekolah belum menerima buku pelajaran Kurikulum 2013 meskipun tahun ajaran baru telah dimulai pada Senin (4/8). Sekolah terpaksa mengeluarkan dana tambahan untuk menggandakan sebagian materi Kurikulum 2013 sambil menunggu buku tiba. Bahkan, ada sekolah yang menggunakan buku lama.
Di Banda Aceh, guru dan murid menggunakan buku pelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Hampir semua SD, SMP, dan SMA belum menerima buku pelajaran Kurikulum 2013 (Kompas, 5/8/2014).
Sejumlah sekolah di Yogyakarta (DI Yogyakarta), Kebumen (Jawa Tengah), Maumere (Nusa Tenggara Timur), Cikarang (Jawa Barat), dan Kolaka (Sulawesi Tenggara), juga belum menerima buku (Kompas, 4/8). Hal yang sama juga dialami banyak sekolah di sejumlah daerah lainnya di tanah air. Bukankah hal ini membuat Kurikulum 2013 belum maksimal diterapkan?
Selain soal keterlambatan pendistribusian buku-buku teks Kurikulum 2013 untuk siswa dan guru, persoalan mendasar lainnya yang juga tidak siap adalah pelatihan terhadap guru-guru sasaran. Di Papua misalnya, baru 37 persen guru sasaran yang dilatih. Pelatihan guru dikebut karena ditargetkan harus selesai dalam 1-3 bulan. Celakanya lagi, pendampingan terhadap guru sasaran juga belum ada (Kompas, 18/7/2014).
Padahal, kunci sukses terpenting dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 adalah guru. Guru merupakan unsur terpenting dalam konteks implementasi Kurikulum 2013. Untuk itu, guru harus ditatar/dilatih sebelum melaksanakan Kurikulum 2013. Pelatihan itu dimaksudkan mengubah cara pandang guru untuk bisa berpikir dengan cara, metode, dan evaluasi yang baru sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013.
Kurikulum 2013 menuntut guru untuk kritis, kreatif, dan inovatif dalam implementasinya. Tanpa guru yang demikian, cita-cita luhur yang termuat dalam Kurikulum 2013 hanya tetap menjadi cita-cita (utopia) tak pernah menjadi nyata. Hanya tetap di awang-awang, sulit untuk membumi. Itulah sebabnya, sekali lagi, pelatihan terhadap guru-guru sasaran menjadi sangat penting agar Kurikulum 2013 dapat terlaksana secara sangkil dan mangkus guna melahirkan para siswa yang berkualitas, berintegritas, dan berkarakter.
Perubahan (pembaruan) kurikulum tidak akan efektif ketika dimensi kultural yang memengaruhi cara guru (dan siswa) berpikir dan melakukan pendidikan tidak diubah. Kurikulum 2013 akan mengalami nasib yang sama dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya, gagal, karena praktik dan sistem budaya guru (dan siswa) yang ada tetap sama.
Terpapar jelas persoalan pokok dalam penerapan Kurikulum 2013 yaitu kesiapan guru dan ketersediaan buku. Tidak mengherankan bila sampai kini kebanyakan guru masih merasa belum siap melaksanakannya.
Sebagai upaya untuk mencari salah satu solusi atas masalah itu, dilakukan penelitian ini yang fokus pada perumusan penerapan model pendekatan saintifik dalam pembelajaran IPS di SMP.
2. Identifikasi Masalah
Bertolak dari uraian di atas dapat dirumuskan sejumlah besar pertanyaan yang potensial menjadi masalah penelitian. Beberapa masalah yang bersifat fundamental adalah:
1). Apa saja yang merupakan kebaruan dalam Kurikulum 2013?
2). Kendala apa saja yang dihadapi guru untuk menerapkan Kurikulum 2013.
3). Mengapa kebanyakan guru belum siap melaksanakan Kurikulum 2013?
4). Apakah para guru sudah memahami Kurikulum 2013 dengan baik?
5). Teori apa saja yang mendasari pembelajaran dengan pendekatan sains?
6). Bagaimana menerapkan pendekatan sains dalam pembelajaran IPS di SMP?
3. Pembatasan Masalah
Dari sejumlah pertanyaan di atas, penelitian ini membatasi masalah pada penerapan pendekatan sains dalam pembelajaran IPS di SMP. Alasannya adalah, dibutuhkan contoh model pendekatan sains dalam pembelajaran IPS, dan Pendidikan IPS merupakan bidang kerja peneliti.
4. Perumusan Masalah
Masalah dalam penelitian adalah: bagaimanakah menerapkan pendekatan sains dalam pembelajaran IPS di SMP?
5. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan merumuskan model pendekatan sains dalam pembelajaran IPS di SMP.
6. Manfaat Penelitian
Penelitian ini merumuskan model pendekatan sains dalam pembelajaran IPS di SMP sebagai alternatif solusi bagi masalah yang dihadapi guru IPS untuk menerapkan Kurikulum 2013 dalam proses pembelajaran.
Tulisan bapak ini memberikan informasi betapa rendahnya daya saing pendidikan di Indonesia dengan negara-negara lain.
BalasHapusPemerintah memiliki cara untuk menaikkan mutu pendidikan dengan diberlakukannya Kurikulum 2013. Kenyataannya kurikulum baru ini tidak mudah diterima guru dan peserta didik.
Seharusnya pemerintah menyiapkan matang-matang ini semua agar kurikulum 2013 dapat diterima dengan mudah. Kurikulum 2013 sulit diterima karena mengalami perubahan disemua aspeknya.
Semoga saja Kurikulum ini bisa meningkatkan daya saing pendidikan di Indonesia dan pendidikan di Indonesia bisa berkembang ke arah yang lebih baik lagi.
Rezapriyantama
P.IPS B 2014
Nama: Rovida Amalia Mazid
BalasHapusKelas: P.IPS.A.2014
4915141032
Dalam permasalahan yang penting bangi bangsa untuk kepentingan sebuah negri, lagi- lagi pendidik yang ada diindonesia selalu menjadi persoalan, sistematika membelajaran dan pengajaran belumlah efektif di jalankan, dengan adanya kurikulum 2013 para siswa belum mampu sepenuhnya beradaptasi dengan kebijakan kurikulum tersebut mau tidak mau, mereka harus siap dengan persaingan secara global, dan tidak tertinggal jauh oleh negara-negara lain, dalam hal ini peran guru juga menjadi suatu masalah bagi pemerintah, guru yang kurangnya profesiolanisme dalam cara pengajaran samgatlah minim, bahkan kebanyakan diantara mereka yang belum mampu menjadi gaya tarik untuk para siswa cara berkomunikasi atau public speaking mereka belum terlaksana dengan baik.
Yumna Adzillah
BalasHapusP.IPS B 2014
4915144089
Mungkin yang membuat kurikulum 2013 ini kurang efektif adalah sistem yang belum berjalan lancar dan masyarakat yang masih belum mengerti betul tujuan dari kurikulum 2013. Kesiapan guru dan siswa untuk menjalankan kurikulum 2013 ini juga masih kurang.
Pendidikan indonesia tiap tahunnya terus menurun, dan memang benar cara terbaik adalah dengan mengubah dasarnya alias kurikulumnya. Namun sebelum mengubah kurikulum harus ada persiapan dari pemerintah, pengajar (guru), peserta didik dan fasilitas sekolah yang memadai. Sedangkan kurikulum 2013 ini banyak yang menolak dan tidak merata. Bagaimana mau berubah apabila dari faktor tersebut tidak mendukung.
BalasHapusWandahani-p.ips b 2014
Achmad ramadhan
BalasHapusMenurut saya kemajuan pendidikan masih beluk sepenuhnya di rasakan oleh masyarakat indonesia khususnya yang berada di daerah - daerah terpencil. Apalagi sekarang dengan di berlakukannya kurimulum 2013 yang menurut saya memberatkan. Di daerah - daerah sangat minim fasilitas untuk memenuhi standar kurikulum 2013.