Apa makna kebebasan? Apakah bisa seenaknya? Boleh dan harus terbuka, sampai telanjang atau bugil?
Orde Baru selalu disalahkan karena membelenggu kebebasan pers, membatasi kebebasan menyatakan pendapat dan banyak kebebasan lain. Orde Baru dulu menjalankan prinsip kebebasan yang bertanggung jawab.
Bentuk tanggung jawab itu adalah kontrol dan pengendalian sampai ke isi berita yang mau disiarkan. Selama Orde Baru, semua pemberitaan yang dianggap mencederai Pemerintahan Suharto langsung disikat habis, dicabut izin terbitnya. Majalah Tempo kena lebih dari sekali, Editor juga ditutup. Sinar Harapan, Detik dan Monitor pun dibredel. Pada 1978 ada tujuh koran yang dicabut sementara izinnya, termasuk Kompas, Sinar Harapan, Pelita dan Merdeka. Terbit kembali setelah menandatangani perjanjian dengan Kopkamtib. Pastilah perjanjian itu dalam rangka kontrol dan intimidasi.
Jika tidak ada pemberitaan yang buruk tentang pemerintah seperti korupsi, jangan dikira Pemerintahan Orde Baru tidak korup. Korupsinya pasti ada dan besar-beasaran, tetapi pemberitaannya tak bakalan muncul. Pada 1990an, Tempo, Detik dan Editor dihabisi karena memberitaan dugaan korupsi pembelian kapal perang dari Jerman Timur.
Khusus untuk berita konflik, Orde Baru mrngendalikannya dengan maksud agar konflik tidak meluas. Berbagai alasan digunakan untuk membatasi pemberitaan.
Orde Baru tumbang, datanglah reformasi. Kebebasan sungguh diberi kesempatan untuk digunakan dan dimaknai. Media massa dan media sosial bebas memberitakan dan menulis apa saja. Begitu bebasnya sampai-sampai ada yang menyebutnya kebablasan dan penuh anarki. Pada beberapa pemberitaan susah membedakan berita dan dusta, fakta dan fitnah.
Bahkan, baku tembak Densus 88 dan teroris dijadikan siaran langsung seperti sepak bola. Gambar-gambar yang tak pantas, bermunculan dan memadati media massa dan media elektronik, lebih-lebih di sosial media. Di internet apa pun ada.
Era roformasi ini jadi tampak sangat korup. Karena pemberitaan korupsi seperti cerita bersambung. Dikupas tuntas, rinci dalam dan berkelanjutan. Bahkan sidang kasus korupsi disiarkan secara langsung. Hal seperti ini tak pernah terjadi selama Orde Baru. Bila saja saat Orde Baru, pers bebas seperti sekarang, pastilah akan lebih seru. Karena korupsi pada era Orde Baru korupsi sangat merajalela.
Kebebasan pers dalam era reformasi memang sangat luar biasa. Kita jadi sulit membedakan, ini keterbukaan atau ketelanjangan? Kebebasan atau anarki? Orang bisa membuat penerbitan dan diedarkan hanya untuk menghujat dan memfitnah orang. Cilakanya, penyebar pornografi malah dibela ramai-ramai hanya karena ia orang kecil. Apa karena orang kecil maka boleh melakukan apa saja, termasuk melanggar hukum? Inikah reformasi?
Pemberitaan yang paling ngenes adalah tentang dibantainya warga negara Indonesia di Australia dan Hongkong. Mereka adalah korban pembunuhan yang sangat sadis. Mereka pergi jauh ke luar negeri untuk mencari nafkah bagi keluarganya.
Ironisnya, cara kejadian yang menimpa diberitakan sungguh memilukan hati. Bukan pokok masalahnya yang dikupas tuntas. Tetapi kehidupan pribadi para korban. Terutama terkait dengan profesinya yang diduga tidak terhormat. Justru pemberitaan dan gambar-gambar yang ditampilkan membesarkan bagian ini.
Mereka adalah korban kejahatan. Mestinya kejahatan dan pelaku kejahatan terhadap mereka yang dibongkar tuntas. Bukan profesi sang korban.
Coba bayangkan, mayat mereka saja masih belum dikebumikan. Belum lagi kering air mata keluarganya, bahkan anaknya, bagi yang punya anak, masih sangat berduka. Tetapi pemberitaan secara besar-besaran terus saja mengeksplorasi dan mengeksploitasi cerita miring tentang profesi sang korban. Dibumbui pula dengan cerita-cerita yang cenderung menghujat dan menohok
Bagaimana seandainya yang menjadi korban adalah keluarga kita? Bisakah kita menerima pemberitaan dan perlakuan yang tak bernurani ini? Mengapa tidak memperhitungkan secara cermat dan hati-hati bahwa mereka adalah korban, serta mereka memiliki keluarga?
Inilah akibat sangat buruk jika tak ada empati. Bila yang dikejar hanyalah sensasi dan keuntungan materi dari naiknya jumlah penjualan.
Tragisnya, saat memberitakan para koruptor yang jelas dan nyata merugikan rakyat dan negara, beritaNYA sangat dibatasi pada fokus masalah. Tidak dilebar-lebarkan ke mana-mana seperti berita kematian warga negara kita di Australia dan Hongkong. Kita tidak tahu apa alasannya. Kesannya, yang jadi korban pembunuhan lebih jahat dan lebih kotor dari para koruptor terkutut itu. Sungguh ironis.
JIKA TAK ADA EMPATI, YANG MENGEMUKA ADALAH PENGHUJATAN.
Nadea Uzmah
BalasHapusP.IPS B 2014
Pada masa reformasi ini, Pers sudah memiliki kebebasan dalam menyampaikan berita. Tetapi kebebasan tersebut seharusnya tetap berada di dalam undang-undang dan kode etik jurnalistik. Di dalam Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 pasal 7 berisi tentang peran Pers yaitu Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan; Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; Dan MEMPERJUANGKAN KEADILAN DAN KEBENARAN.
Tetapi saat ini, kenyataannya peran Pers tidak sesuai dengan yang tercantum di dalam UU No. 40/1999 pasal 7. Pers lebih bersifat provokatif dan fitnah. Contohnya pada pemilihan presiden dan wakil presiden waktu lalu, Pers digunakan untuk menjatuhkan masing-masing capres dan cawapres. Semua yang diberitakan itu juga belum tentu benar tetapi dapat memengaruhi orang banyak.
Selain harus taat pada UU No. 40 Tahun 1999, Pers juga harus menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik. Di dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 4, Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Tetapi kenyataannya, saat ini banyak berita yang berisi kebohongan, fitnah, sadis, dan cabul. Seharusnya pemerintah lebih tegas lagi agar kebebasan Pers di negara ini tidak menjadi kebablasan.
Nadea Uzmah
BalasHapusP.IPS B 2014
Pada masa reformasi ini, Pers sudah memiliki kebebasan dalam menyampaikan berita. Tetapi kebebasan tersebut seharusnya tetap berada di dalam undang-undang dan kode etik jurnalistik. Di dalam Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 pasal 7 berisi tentang peran Pers yaitu Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan; Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; Dan MEMPERJUANGKAN KEADILAN DAN KEBENARAN.
Tetapi saat ini, kenyataannya peran Pers tidak sesuai dengan yang tercantum di dalam UU No. 40/1999 pasal 7. Pers lebih bersifat provokatif dan fitnah. Contohnya pada pemilihan presiden dan wakil presiden waktu lalu, Pers digunakan untuk menjatuhkan masing-masing capres dan cawapres. Semua yang diberitakan itu juga belum tentu benar tetapi dapat memengaruhi orang banyak.
Selain harus taat pada UU No. 40 Tahun 1999, Pers juga harus menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik. Di dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 4, Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Tetapi kenyataannya, saat ini banyak berita yang berisi kebohongan, fitnah, sadis, dan cabul. Seharusnya pemerintah lebih tegas lagi agar kebebasan Pers di negara ini tidak menjadi kebablasan.
Saya setuju dengan pendapat bapak. Mereka sebagai pelaku memang pantas dihujat atas apa yang mereka lakukan.
BalasHapusKurangnya kesadaran masyarakat untuk mengkritisi hal tersebut.jumlah masyarakat yang mengkritisi kasus terrsebut amatlah kurang.
andaikan banyak masyarakat yang kritis. Mungkin masalah ini sudah selesai sendari dulu. Sayangnya masih banyak masyarakat yang memilih menjadi hamba uang.
Titis Pamulasari A.P
BalasHapus4915141035
P.IPS A
ketika saya membaca tulisan blig bapak yang ini. Ternyata perubahan media pada masa order baru membawa dampak positif. Rata-rata semua orang beranggapan bahwa pada masa orde baru masa masa terpuruknya keterbukaan. Tapi,setelah membandingkan pada masa era reformasi rernyata ada dampak postifnya.
Dampak positifnya,semua masalah baik dalam luar negeri maupun dalam negeri tidak di ekspos secara berlebihan seperti saat ini.Meskipun begitu,tentunya memberi tanda tanya besar saat jaman orde baru ketika semua keterbukaan masalah tidak ada.
Setelah masa orde baru berakhir media masa dengan bebas mengekspos semua masalah. Tapi,sangat di sayangkan ketika media sudah di berikan kebebasan untuk berbicara media malah menyalah gunakan kebebasan tersebut.
intinya meskipun di berikan "kebebasan" harus di tanamkan tanggung jawab.
seperti halnya tentang kehidupan para selebritis. mereka menyorot tanpa tahu makna apa yang berguna bagi pembaca. mereka hanya menyuguhkan gosip semata. mungurus kegiatan yang bukan urusan mereka.
BalasHapusmenurut saya memang pers harus bebas tanpa tekanan dari pihak manapun, tetapi dalam memberikan pemberitaan mereka seharusnya memperhatikan kode etik. seperti halnya saat pembunuhan Adesarah. menurut saya nama pelaku tidak harus ditulis lengkap cukup inisial saja dan tidak perlu menampilkan foto pelaku tanpa sensor. hal ini bisa memberika tekanan mental.
sehingga Indonesia dalam artian bebas, memang benar-benar bebas. mereka membuat kode etik tetapi untuk dilanggar. mereka hanya menyampaikan berika yang menguntungkan kantong mereka tanpa tau manfaatnya untuk pembaca. mereka sedang terbuai dalam arti kebebasan. cobalah menjadi jurnalis yang mengerti akan propesinya, dan sampaikan berita yang bermakna
zharatul zanah
P'IPS B 2014
4915142804
Siti Nurul Hotimah
BalasHapusP.IPS B 2014
Indonesia seperti kecolongan pada era reformasi sekarang ini. Terutama dibagian pers, karna telah di bebaskannya mengeluarkan pendapat. Seperti yang bapak tulis pada blog ini. Seperti sulit membedakan mana fakta dan mana fitnah.
Dan sayangnya masyarakat Indonesia mudah sekali mempercayai segala pemberitaan yang muncul di media. Khususnya di media sosial. Contohnya pada saat pilpres kedua kubu sama-sama memberikan statement yang saling menjatuhkan kubu lain, bahkan malah seperti fitnah.
Berita yang dikeluarkan banyak yang tidak bisa di pertanggung jawabkan isinya. Saking bebasnya mereka seakan tidak peduli ada pihak yang dirugikan dengan berita yang mereka jual. Media lebih mementingkan keuntungan yang akan diraih jika berita itu heboh.
Anggun Trihapsari
BalasHapus4915142820
P.IPS B / 2014
PEMAHAMAN EMPATIS: MODEL PEMBERITAAN
Pada rezim Orde baru lalu, kebebasan pers dirasa sangat tidak mungkin bagi seseorang mendapatkan,takut ditembak, mungkin.. tetapi munculnya Reformasi sekarang yang membebaskan tiap individu untuk mengutarakan pendapat dinilai terlalu kebablasan. Individu-individu yang tidak bertanggung jawab malah menyalahgunakan hak bebas berpendapat untuk saling hina, melontarkan cacian dan makian, jika ditegur mereka akan berdalih bahwa inilah Hak asasi yang mereka punya, bebas berpendapat.
Sistem yang sudah kacau ini malah dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang sama tidak bertanggungjawabnya, menyalahgunakan hak tersebut untuk kepentingan diri sendiri, contohnya sekarang ini tayangan televisi yang semakin ambruladur. pornografi, pornoaksi dan kejahatan yang diliput secara berlebihan oleh stasiun penayangan. Mereka tidak lagi memilah-milah mana baik dan buruk bagi penonton yang menyaksikannya. Mereka hanya mementingkan keuntungan yang akan mereka terima. Tetapi herannya masyarakat kita pun turut menikmati hal tersebut. BETAPA MEMBINGUNGKANNYA NEGERI INI
Media kini semakin jauh dari nilai dan fungsi sebenarnya. Pembentukan opini publik berdasar kepentingan-kepentingan individu menjadi hiburan yang lumrah sekarang ini. Tak ada lagi filterisasi sebuah informasin yang akan ditayangkan, malah cenderung dilebih-lebihkan dengan bumbu-bumbu fitnah.
BalasHapusEsensi sebuah pemberitaan oleh pers sekarang ini malah lebih jauh ketimbang saat zaman Orba dulu. Media tak ayalnya seperti kamera beresolusi tinggi tanpa operator. Terkesan tak terkendali. Membidik sasaran di segala penjuru arah. Namun tak memperhatikan rasa empatis terhadap apa yang ditangkapnya.
Disini peran kita sebegai sumber daya manusia layak diuji. Keteguhan dan idelaisme tinggi sangat dipertaruhkan di ajang ini. Individu-individu dituntut untuk siap menghadapinya, dan ini sangat tergantung pada kemauan kita untuk memilah-milah informasi apa yang akan kita telaah.
SUDAH SAATNYA KITA PERLU MEMBANGUN IDELAISME DENGAN PENUH RASA EMPATI
Tita Nurmala - P.IPS B 2014 (4915144096)