Senin, 12 Januari 2015

AGAMA ADALAH PERBUATAN

(Penghargaan dan doa bagi Lassana Bathily)

Agama itu harus bermakna, fungsional dalam kehidupan keseharian. Jika tidak, untuk apa capek-capek beragama? Inilah ungkapan seorang teman setelah selesai mengambil S2 di Jepang.

Ia katakan, orang Jepang itu kebanyakan tidak memiliki agama sebagaimana orang Indonesia. Paling-paling, mereka cuma punya religi. Semacam keyakinan yang tidak sejelas dan sesistematis agama.

Ia lebih lanjut menguraikan, tetapi orang Jepang itu sangat disiplin, pekerja keras, tekun, fokus, peduli dan rajin berbagi. Banyak orang Jepang hidup sukses dan bahagia, meski tak beragama.

Ia semakin bersemangat saat membandingkannya dengan kebanyakan orang Indonesia yang beragama dan rajin beribadah tetapi tidak berdisiplin, cenderung malas, egois, dan susah hidupnya. Ia tambah bersemangat saat menceritakan tetangganya yang selalu shalat wajib ke masjid, tetapi membiarkan istrinya kerja keras setengan mati. Sedangkan dia sendiri seorang pengangguran. Teman ini tidak habis fikir, bagaimana bisa seorang kepala rumah tangga, seorang lelaki, rajin ibadah ke masjid dan membaca Al Qur'an, dan mengikuti pengajian ke mana-mana. Namun, pengangguran dan membiarkan istrinya bekerja keras membanting tulang menghidupi keluarga dengan tiga anak. Dalam pandangan lelaki tamatan S2 Jepang ini, tetangganya itu tak lebih dari seorang penjahat. Menjadikan agama hanya sebagai alat untuk berlindung dalam kemalasan dan melepaskan diri dari tanggung jawab.

Itulah dasar dari pernyataannya bahwa agama harus bermakna dan fungsional. Agama bukan sekadar ajaran mulia.

Agaknya, bukan hanya lelaki itu yang mengalami dan berpandangan seperti itu. Tak sedikit di antara kita berpandangan sama setelah melihat banyak orang dan peristiwa di sekitar kita. Juga setelah merenungkan diri sendiri serta berbagai perilaku dan tindakan yang telah kita perbuat.

Mungkin, masalah seperti inilah yang kemudian menimbulkan pembicaraan dan perdebatan tentang keshalehan pribadi versus keshalehan sosial. Hubungan dengan Allah versus hubungan dengan
sesama.

Bagi orang yang doyan filsafat, topik ini sangat menarik. Istilah yang biasa digunakan untuk membicarakannya adalah solitalitas versus solidaritas. Rasanya, aliran eksistensialisme yang sangat populer terutama setelah perang dunia kedua sepenuhnya mempersoalkan masalah ini. Sebagian filsuf seperti Martin Buber percaya bahwa bagi manusia, ada selalu bermakna ada bersama. Penekanan bahwa manusia adalah makhluk sosial dan sangat tergantung serta ditentukan oleh sosialita diyakini sebagai keniscyaan. Sosialitas dan solidaritas diyakini sebagai ciri terpenting manusia.

Bersebalikan dengan itu adalah Sartre dan Camus yang tampaknya lebih condong dan memilih solitaritas. Sartre sampai bilang, neraka adalah orang lain. Ditambah lagi dengan warna ateisme yang kental, nyaris sempurnalah solitaritas itu.

Berbeda dengan pandangan filosofis itu adalah keyakinan yang diajarkan oleh banyak agama. Secara konseptual dan ideal, semua agama mengajarkan bahwa keyakinan kepada Yang Maha Ada harus tampak, berimplikasi, diarasakan dalam kehidupan sosial. Maknanya, keshalehan pribadi itu berbuah keshalehan sosial.

Jadi seharusnya tidak terjadi  keshalehan pribai versus kesalehan sosial sebagai mana yang banyak diperdebatkan. Artinya, jika orang tidak memiliki keshalehan sosial, sebenarnya ia tidak menghayati dan memiliki keshalehan pribadi. Ia hanya seolah-olah atau seakan-akan memiliki keshalehan pribadi.

Keshalehan sosial adalah buah keshalehan pribadi. Keshalehan sosial merupakan pancaran dari keshalehan pribadi. Begitulah sejatinya. Keshalehan sosial itu memiliki banyak makna dan perujudan. Dalam konteks Islam yang sejati itu bermakna bagaimana seorang muslim, bukan saja bermanfaat dan berguna bagi sesama muslim. Tetapi melampaui itu, ia menjadi rahmat bagi semesta alam. Pada tataran manusia itu berarti ia berguna dan bermanfaat bagi siapa pun.

Dalam konteks itu peristiwa teror di Perancis menjadi sangat menarik. Pelaku teror yang membunuh orang adalah sekelompok orang yang disebut sebagai penganut Islam garis keras yang ekstrim dan militan. Namun, dalam bagian dari teror itu ada anak muda muslim yang memberanikan diri, mengambil resiko menyelamatkan 15 keturunan yahudi yang berada di tempat penyanderaan. Berikut ini pemberitaannya.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS-- Lassana Bathily, seorang imigran Muslim dari Mali di Afrika Barat, menyelamatkan 15 nyawa warga keturunan Yahudi dari serangan teroris. Sebagai seorang karyawan supermarket halal Hyper Cacher di Paris, tidak hanya bekerja untuk orang-orang Yahudi setiap hari, ia juga mengambil kesempatan untuk menyelamatkan nyawa mereka.

Tindakan berani ini ia lakukan ketika toko diserang oleh kelompok Islam radikal ini pada Jumat lalu. Lassana Bathily, menyembunyikan 15 orang tersebut di ruang bawah tanah freezer supermarket setelah teroris, Amedy Coulibaly, memasuki toko dan melepaskan tembakan.(12.01.2015)

Peristiwa ini menegaskan, siapa pun bebas membawa-bawa nama Islam. Namun siapa yang sungguh-sungguh secara benar mewujudkan ajaran Islam ditentukan oleh perbuatannya. Bukan oleh omongannya.

Lassana Bathily menunjukkan pada dunia dengan tindakannya, apa maknanya menjadi seorang muslim. Bagaimana sejatinya sikap seorang muslim.

Semogalah terbuka mata hati semua orang untuk melihat kebenaran sejati. Islam dan semua agama tidak pernah mengajarkan kejahatan dalam bentuk apapun. Jika ada orang dari agama tertentu berbuat kejahatan seperti terorisme, itu sepenuhnya tanggung jawab dan keputusannya pribadi atau kelompoknya yang tidak dapat dikaitkan dengan ajaran agama yang diyakininya.

Atas dasar pemahaman seperti ini dan melihat fakta teror Perancis dan tindakan Lassana Bathily secara jernih, dunia bisa membangun pemahaman empatis. Atas dasar pemahaman empatis itu, kita semua bersama-sama bersatu melawan terorisme dalam bentuk apapun. Baik terorisme yang menggunakan senapan untuk menghabisi orang secara mengerikan, maupun terorisme yang menggunakan alat tulis dan kebebasan melecehkan keyakinan orang.

TANPA PEMAHAMAN EMPATIS DAN PENEGAKAN KEADILAN, PERANG MELAWAN TERORISME ADALAH TERIAKAN DI PADANG GURUN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd