Perancis merupakan negara demokrasi yang bebas. Bebas memiliki makna yang sangat luas di Perancis, sangat berbeda dengan di negara kita. Karena itulah saat Ayatullah Rohullah Khomeini diusir dari tempat pengasingan atas desakan penguasa Iran yang didukung Amerika Serikat pada waktu itu, ia tinggal di Perancis dan tetap dapat menggelorakan perlawanan terhadap penguasa otoriter Iran. Keberhasilan revolusi Iran tidak dapat mengabaikan demokrasi dan kebebasan Perancis.
Demokrasi dan kebebasan di Perancis telah membawa keuntungan bukan hanya untuk rakyatnya, juga bagi banyak negara lain. Termasuk Amerika Serikat dan banyak negara Afrika. Perancis memiliki pengalaman buruk di bawah pemerintahan raja absolut yang memegang seluruh kendali kekuasaan. Revolusi Perancis, bukan saja berhasil menegakkan demokrasi dan kebebasan di Perancis, juga menginspirasi dunia.
Oleh karena itu bukan sesuatu yang luar biasa bila di Perancis bisa terbit dengan bebas Charlie Hebdo. Majalah yang secara terbuka menyatakan berhaluan kiri dan secara sengaja membuat parodi tentang siapa saja tanpa terkecuali melakui kartun. Selain sering memparodikan Nabi Muhammad SAW, Charlie Hebdo pernah memparodikan Michael Jakcson beberapa saat setelah wafatnya, juga memparodikan Paus.
Terkait dengan seringnya memparodikan Nabi Muhammad SAW, institusi keamanan pernah mengingatkan dan menyarankan agar sebaiknya tidak dilakukan lagi. Atas nama kebebasan, Charlie Hebdo menolak dan mengabaikan saran itu dan tetap memparodikan Nabi Muhammad SAW.
Diduga serangan teror mengerikan yang menewaskan sejumlah orang di kantor Charlie Hebdo berkaitan dengan parodi terhadap Nabi Muhammad SAW yang telah mereka lakukan berkali-kali. Tampaknya ada yang merasa bahwa parodi itu telah sangat melukai hati sejumlah orang.
Apapun alasan penyerangan itu, haruslah dikecam dengan keras. Karena merupakan tindakan terorisme. Secara sederhana kita bisa katakan, mosok parodi dibalas dengan pembunuhan sadis. Apalagi setelah pembantaian itu ada serangan balik seperti diberitakan berikut ini.
PARIS, KOMPAS.com — Seusai serangan maut terhadap kantor majalah Charlie Hebdo, sejumlah masjid di beberapa kota di Perancis menjadi sasaran serangan. Namun beruntung, sejauh ini serangan-serangan itu tidak menimbulkan korban.(8.01.2015)
Di Perancis akan dilakukan demonstrasi damai anti terorisme yang akan dihadiri sejumlah pemimpin Eropa. Bersamaan dengan itu menyeruak kesadaran perlunya tetap mempertahankan kesatuan dan solidaritas Perancis karena faktanya negara ini dihuni banyak orang dengan beragam latar belakang etnik dan keyakinan. Kaum imigran asal Afrika yang beragama Islam jumlahnya terus meningkat dari waktu ke waktu.
Ada sejumlah pelajaran penting yang semoga berguna bagi kita, negara besar yang keberagamannya lebih rumit dibanding Perancis. Pelajaran tentang saling memahami dan menghargai secara empatis.
Di Perancis dan negara barat lain, apa yang dilakukan Charlie Hebdo adalah sesuatu yang sangat biasa. Sewaktu berkesempatan belajar dan jalan-jalan di beberapa negara Eropa, saya dengan sengaja membeli berbagai terbitan berisi kartun yang jika terbit di Indonesia rasanya pasti menimbulkan protes bahkan huru-hara dan penanggungjawabnya pasti masuk penjara. Paling kurang kita bisa menyebut kasus Arswendo dengan tabloid Monitor yang menempatkan Nabi Muhammad SAW tidak di urutan pertama hasil survey.
Tampaknya di Eropa siapa pun, tanpa terkecuali, bisa diparodikan. Para pemimpin negara, menteri, bintang terkenal, pemimpin agama seperti Paus, bahkan Yesus, semuanya diparodikan. Dalam terbitan yang saya kumpulkan, yang paling banyak diparodikan adalah tokoh-tokoh agama dan Yesus. Macam-macam kartun yang bisa dikategorikan sebagai pelecehan terhadap Yesus terdapat dalam banyak penerbitan.
Di alun-alun paling ramai di Kopenhagen macam-macam pertunjukan bisa kita saksikan secara gratis. Dari mulai orang bermain sulap, musik, sekelompok orang memperkenalkan agama Budha, ada pendeta yang berkotbah, sampai sekelompok anak muda yang secara terang-terangan membaca Injil untuk kemudian dibantah dan dijadikan bahan lelucon. Lucunya, lebih banyak orang berkumpul menonton aksi anak-anak muda ini daripada sang pengkotbah. Semuanya berjalan lancar tanpa gangguan. Saya katakan pada beberapa teman, bila ini terjadi di Monas, anak muda itu sudah pasti babak belur, dan ditangkap polisi.
Apa yang saya lihat di Kopenhagen tidak hanya terjadi di situ. Di Stockholm, Paris dan kota-kota lain sama saja. Semua orang sudah sangat terbiasa dengan kondisi tersebut.
Rasanya membuat parodi melalui kartun atau animasi dianggap sebagai ekspresi kebebasan yang bukan saja sah juga dilindungi atas nama kebebasan dan hak asasi manusia. Saat grup musik Genesis membuat video untuk lagu Land of Compusion ditampilkan animasi Reagan, Gorbahcev, dan Khomeini. Animasinya memang menampilkan wajah mereka dengan cara yang tidak enak dilihat. Sama sekali tidak ada reaksi di Amerika dan negara Gorbachev pada waktu itu, tetapi ada reaksi keras di Iran. Mereka marah karena merasa pemimpinannya dilecehkan.
Lihat juga reaksi keras terhadap Salman Rusdhie, penulis Ayat-ayat Setan. Khomeini menetapkan hukuman mati secara in absentia padanya karena diyakini bahwa Ayat-ayat Setan itu menghina Nabi Muhammad SAW. Di Eropa dan Amerika Serikat buku itu laku keras. Salman Rusdhie diberi macam-macam penghargaan dan hadiah. Dia dipuji sebagai penulis jempolan yang sangat imajinatif dan menghargai kemanusiaan.
Sebenarnya pelecehan dan penghujatan terhadap Nabi Muhammad SAW bukanlah sesuatu yang baru. Pada masa lalu, banyak buku yang sengaja ditulis untuk menghujat dan memfitnahnya. Namun, pada waktu itu kemajuan teknologi komunikasi belum seperti sekarang. Karena itu hanya sedikit orang dan biasanya orang terpelajar yang membacanya. Jadi tidak ada reaksi seperti sekarang.
Sekarang keadaanya sama sekali berbeda. Sejumlah negara yang mengaitkan keberadaannya dengan Islam memiliki posisi yang kuat. Jika ada tindakan yang dirasakan sebagai upaya untuk melecehkan dan menghina apapun yang dikaitkan dengan Islam, mereka bisa mengambil tindakan tertentu. Saat sejumlah terbitan termasuk Charlie Hebdo menampilkan kartun Nabi Muhammad SAW yang dirasakan menghina, negara-negara itu bertindak. Sementara itu karena kemajuan teknologi komunikasi, gambar itu tersebar dan ada reaksi keras dari sejumlah orang Islam, termasuk di Indonesia.
Sekarang keadaannya sama sekali berbeda. Pada tingkat global telah muncul kekuatan ekstrim, radikal dan militan seperti Al Qaida dan ISIS, bersamaan dengan itu muncul juga pada tingkak regional seperti Boko Haram. Al Qaida Pakistan berani menyetang sekolah tempat belajar anak-anak tentara, sementara Al Qaida Afghanistan menyerang rombongan tentara Amerika serikat. Al Qaida juga bercokol di Yaman. ISIS terus memperluas wilayah yang dikuasainya dan terus saja mempertontonkan kekejaman yang biadab.
Apa makna semua ini? Apakah ini saling berkaitan?
Tampaknya berbagai kekuatan radikal, militan dan ekstrim ini bukan hanya bersatu dan sejalan secara ideologis. Juga memiliki ikatan organis. Lihat saja betapa cepat bendera ISIS muncul di berbagai tempat di Indonesia saat ISIS mengumumkan keberadaannya. Jangan luput dari perhatian kita, serangan teror di Perancis tidak berjarak lama dari yang terjadi di Australia. Siapa yang menjamin yang terjadi di Perancis adalah yang terakhir?
Ternyata yang tertarik untuk ikut berjuang bersama ISIS datang dari banyak tempat di dunia. Bukan saja dari negara yang berpenduduk mayoritas muslim seperti Infonesia. Juga dari beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat. Apa maknanya?
Orang dan kelompok radikal, ekstrim, dan militan ada di mana-mana. Kini mereka muncul, tanpa takut dan malu. Sebab mereka merasa memiliki pendukung yang semakin kuat dan ada di mana-mana.
Kita sama tahu kelompok ini memiliki kebiasaan menafsirkan ajaran agama secara anarkis, sebagai pembenaran atas tindakan radikalnya. Karena itu mereka tidak segan merempahi berbagai tafsir atas ajaran agama dengan peluru dan bahan peledak yang lebih mengerikan dan menghancurkan.
Apa yang dilakukan teroris di Perancis hanyalah satu bentuk perujudan dari keyakinan mereka akan jihad, tentu atas tafsir anarkis mereka sendiri. Bagi mereka, apa yang dilakukan adalah perujudan rasa cinta pada tokoh yang sangat dihormati sebagaimana diajarkan dalam semua agama. Semua agama meyakini orang-orang suci dan terhormat harus dicintai melebihi cinta pada diri sendiri. Orang-orang suci itu harus dibela bila mereka dilecehkan, meski harus mengorbankan diri sendiri.
Dulu penghujatan terhadap Islam dan beragam atributnya paling tinggi menimbulkan reaksi unjuk rasa dan pemboikotan produk. Kini orang dan kelompok radikal mereaksi dengan caranya yang tak terduga, serangan teroris yang mematikan.
Apapun alasannya kita tak boleh memberi toleransi pada terorisme. Meski mereka melakukan itu sebagai upaya untuk membela keyakinan dan ajaran agama dalam tafsir mereka.
Kita tak boleh takut dan tunduk pada teror yang mereka lakukan. Terorisme adalah kejahatan luar biasa. Tindakan tak beradab. Tetapi menyerah dan takut pada terorisme lebih jahat dibandingkan terorisme itu sendiri.
Karena itu jika para korban teror itu kini bilang, " aku lebih memilih mati berdiri tegak ketimbang hidup bertekuk lutut", terdengar heroik dan berani. Namun, bukankah lebih baik memilih hidup berdiri tegak? Tininbang mati atau bertekuk lutut?
Maknanya, kini dunia memiliki peluang untuk membangun pemahaman baru tentang banyak hal. Membangun saling pengertian yang konstruktif berdasarkan pemahaman empatis satu sama lain.
Kemunculan ISIS dan berbagai teror yang mengatasnamakan Islam ternyata ditentang keras oleh mayoritas ulama, tokoh dan masyarakat Islam arus utama. Itu bermakna kelompok-kelompok yang memgatasnamakan Islam yang melakukan tindakan teror dan menggunakan kekerasan dalam perjuangannya tidak mendapat tempat bahkan mendapat perlawanan dari mayoritas Islam arus utama.
Mestinya realitas ini dimaknai secara positif, bahwa kekerasan dan terorisme atas nama Islam hanyalah pengatasnamaan dan secara nyata bertentangan dengan Islam sebagai agama dan mayoritas penganutnya. Karena itu kini saat yang sangat baik untuk membangun kerjasama untuk secara bersama-sama melawan terorisme itu.
Memang sangat tidak gampang membangun kerjasama itu bila tidak didasarkan pada pemahaman empatis dan saling percaya. Mengapa tidak gampang. Ini ada kaitannya dengan masa lalu.
Barat pernah mengalami pengalaman mengerikan dengan kekuasaan absolut atas nama agama. Sampai-sampai masa itu dikenal sebagai abad kegelapan. Modernitas lahir sebagai pemberontakan total terhadap kekuasaan absolut agama tersebut.
Descartes yang dikenal sebagai Bapak Filsafat Moderen dikenal dengan metode keraguan metodis. Melalui cara meragukan segalanya akhirnya sampai pada kepastian. Semua hal diragukan, termasuk Tuhan. Kepastian hanya bisa didapat dengan rasio. Modernitas menjadikan rasio sebagai dasar dan sumber kebenaran. Ada upaya sistematis untuk merendahkan dan menolak Tuhan.
Laplace yang berhasil membuktikan sebuah hipotesis bahwa pada waktu tertentu di tempat tertentu akan muncul benda langit, mengatakan kita tidak lagi membutuhkan Tuhan untuk menjelaskan berbagai gejala alam, saat hipotesis itu terbukti. Darwin merumuskan teori evolusi tentang penciptaan dan menggerus peran Tuhan. Manusia berasal dari monyet, kata Darwin. Tidak ada peran Tuhan dalam penciptaan manusia, tegas Darwin. Feurbach menjelaskan bahwa Tuhan adalah ciptaan manusia, bukan sebaliknya. Karl Marx menegaskan bahwa agama adalah candu bagi rakyat.
Comte dalam pemikirannya tentang positivisme menyatakan bahwa pemikiraan dan pemahaman tentang Tuhan muncul pada saat teologis pada masa kanak-kanak pemikiran manusia. Pada tingkat yang paling tinggi yaitu positivisme, Tuhan sudah tidak dibutuhkan lagi. Penentu adalah rasio manusia yang bisa dibuktikan secara positif melalui ilmu pengetahuan. Tak ada lagi tempat, bahkan celah bagi Tuhan dalam pemikiran manusia dalam positivisme Comte.
Nietzsche bilang Tuhan sudah mati, kitalah yang membunuhnya dengan palu. Sigmund Freud menyimpulkan, Tuhan adalah hasil mimpi terburuk manusia. Sementara itu aliran neopositivisme tegas mendeklarasikan pembicaraan tentang Tuhan adalah omong kosong yang tidak bermakna.
Inilah arus utama pemikiran barat pada awal dan selama zaman moderen. Meskipun akhirnya muncul ilmuwan sekaliber Einstein yang menegaskan keberadaan Tuhan. Namun, ilmuwan yang masih hidup seperti Hawking masih bersikukuh berpendirian bahwa dalam penciptaan alam semesta tidak ada campur tangan dan peran Tuhan.
Semangat skeptis dan anti Tuhan serta agama belum sepenuhnya mati di barat dan mungkin di bagian lain bumi ini karena pengaruh barat yang luar biasa. Boleh jadi kesadaran akan keberadaan Tuhan dan pentingnya agama juga masih ada dan kuat pada komunitas tertentu di barat.
Artinya sikap skeptis dan anti Tuhan serta agama tidaklah sekuat pada awal zaman moderen. Dengan hati-hati kita berasumsi, orang dan komunitas yang berfikir dan bersikap menghargai keyakinan orang lain telah sangat berkembang. Dengan demikian orang dan kelompok yang skeptis dan anti Tuhan serta agama hanyalah minoritas yang menempati sudut sempit di ujung kiri dari kawasan normal yang lebih luas.
Sementara itu dalam Islam, orang dan kelompok radikal, ekstrim, dan militan model ISIS, Al Qaida, dan Boko Haram juga menepati celah sempit pada posisi paling ujung kanan dari wilayah normal yang sangat luas.
Artinya berbagai bentuk teror dan kekerasan yang kini mengemuka sebenarnya merupakan perang terbuka antara kelompok radikal, dan militan pada sudut ekstrim kiri dan sudut ekstrim kanan yang sesungguhnya merupakan kelompok minoritas dalam masyarakat barat dan Islam yang mayoritas atau arus utamanya adalah normal, rasional dan beradab.
Namun tragisnya, perilaku dan tindakan teror dari kedua ujung ekstrim itu malah yang kini mempengaruhi dan menentukan arah yang akan ditempuh oleh kelompok mayoritas yang rasional dan beradab. Sungguh dunia yang absurd.
Penghuni kedua kutub ekstrim itu ada di mana-mana. Pun di Indonesia. Karena itulah kita memiliki Densus 88 anti teror. Dibutuhkan kerja keras, kesungguhan dan komitmen kuat untuk menjaga agar kita bisa kendalikan dan pastikan bahwa bukan penghuni kedua kutub ekstrim itu yang menentukan arah yang akan kita tempuh. Bahkan harus diusahakan agar mereka tidak menjadi kerikil dalam sepatu.
Sebagaimana kejahatan lain seperti pelacuran, kriminalitas dan narkoba, terorisme tidak muncul tiba-tiba secara instan. Ada kondisi-kondisi dan proses-proses yang memungkinkannya untuk tumbuh mekar dan terus berkembang. Pastilah terorisme tidak dapat diselesaikan, apalagi secara tuntas, hanya dengan Densus 88.
Harus ada upaya sistematis melalui pendidikan, dakwah, pengelolaan masyarakat untuk mencegah munculnya kelompok radikal dan militan yang menempati dua sudut ekstrim baik di kanan maupun di kiri dalam masyarakat kita.
Kecilnya ketimpangan sosial, tegaknya hukum dan keadilan, berfungsinya pemerintahan yang bersih anti korupsi, dan tumbuhnya saling mengerti serta saling menghormati antar berbagai komunitas yang beragam dan berbeda harus diusahakan sekuat-kuatnya. Bila tidak secara langsung atau tidak, kita ikut menumbuhsuburkan bibit-bibit terorisme.
TERORISME ADALAH MUSUH BESAR KEMANUSIAAN DAN PERADABAN, SEMUA KITA BISA MELAWANNYA DENGAN MEMBANGUN PEMAHAMAN EMPATIS DAN SAING MENGHARGAI DALAM MASYARAKAT YANG SANGAT BERAGAM DAN BERBEDA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd