Selasa, 20 Januari 2015

KRISIS KRITIS

Sikap kritis merupakan ciri manusia paling mendasar dan penting . Kekritisan bukan saja membedakan manusia dari binatang. Juga membedakan manusia dari malaikat dan iblis. Kekritisan tidak hanya dipicu oleh semangat ingin tahu. Melampaui itu, kekritisan tidak sekadar bertanya, tetapi mempertanyakan. Sangat terkesan, kekritisan lekat dengan upaya membongkar.

Nabi Adam AS dan Nabi Ibrahim AS mempraktikkannya. Keduanya mendapatkan resiko dari kekritisannya. Nabi Ibrahim AS bukan saja dimusuhi oleh penyembah berhala yang dihadapinya dengan sikap kritis. Mereka bahkan membakar Nabi Ibrahim AS. Semua nabi bersikap kritis atas keyakinan dan praktik hidup pada zamannya. Itulah sebabnya para nabi dimusuhi, diusir, bahkan dicoba untuk dibunuh oleh pihak-pihak yang dikritisinya.

Socrates menjadikan kekritisan sebagai cara untuk mencaritemukan kebenaran. Kekritisan Socrates dikenal sebagai dialektika yang dipraktikkan melalui dialog. Dengan cara itu Socrates bertanya pada setiap orang tentang apa saja.

Socrates akhirnya diadili dan dihukum mati karena kekritisannya ini. Kekritisan memang selalu dihadapkan pada resiko. Seringkali berakhir di penjara, bahkan kematian.

Di dalam sejarah Islam tidak sedikit imam dan pemikir yang dipenjara karena kekritisnnya melawan penguasa. Dua diantaranya ialah Imam Ahmad dan Ibnu Taymyyah.

Giordano Bruno dibakar hidup-hidup pada 19 Februari 1600 setelah menghadapi pengadilan yang diselenggarakan badan inkuisisi Gereja Katolik Roma selama tujuh tahun karena kekritisannya yang dianggap mengancam sejumlah ajaran yang prinsip. Sementara itu Galileo Galilei salah seorang tokoh utama pendiri ilmu pengetahuan moderen dua kali menghadapi inkuisisi karena kekritisannya terhadap keyakinan gereja tentang bumi sebagai pusat. Galileo mempertahankan dan membuktikan pemikiran Kopernikus yang menyatakan bahwa bukan bumi sebagai pusat, tetapi matahari. Galileo dipaksa menarik pendapatnya dan menjadi tahanan rumah.

Dalam konteks perjuangan kemerdekaan kita mengenal tokoh-tokoh kritis yang mengalami penahan dan pembuangan. Dua di antara mereka ialah Sukarno dan Muhammad Hatta. Pada zaman Sukarno dan Suharto berkuasa banyak tokoh kritis dipenjarakan. Tidak sedikit media massa dibredeil karena bersikap kritis terhadap penguasa. Majalah Tempo mengalaminya berkali-kali pada zaman Suharto. Bukankah aktivis hak asasi manusia Munir dihabisi karena kekritisannya?

Kekritisan seharusnya didasarkan pada niat dan motivasi untuk mencaritemukan kebenaran. Kekritisan dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki keadaan atau meningkatkan kualitas kehidupan. Kita mengkritisi pemerintah agar pemerintah konsisten menjalankan amanah yang diberikan rakyat untuk menyejahterakan rakyat.

Kekritisan bukanlah alat untuk menyudutkan dan menghancurkan orang atau pihak lain. Harus ada niat baik dalam sikap kritis. Kita mengusahakan dan menharapkan yang lebih baik melalui kritik.

Jika kekritisan hanya dikaitkan dengan kepentingan sempit karena keberpihakan pada sesorang atau sekelompok orang, apalagi didasarkan pada kebencian baik karena ketidaksukaan ataupun karena kalah dalam kompetisi, itu namanya krisis kritis. Kritis yang hantam kromo, tidak nalar dan nakar. Kritik seperti ini sebenarnya sulit dibedakan dengan kampanye hitam dan fitnah, namun dikemas dengan istilah kritis.

Saksikanlah sikap Metro TV terhadap Jokowi. Dulu sebagai televisi yang mendukung Jokowi, mereka melakukan pembelaan dengan beragam cara. Kini, saat Jokowi menunda pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, dan Surya Paloh tampaknya tidak setuju dengan keputusan itu, tiba-tiba Metro TV menjadi sangat kritis.

Bagaimana berita disajikan, siapa yang diundang untuk diwawancara dan pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan kentara sekali arahnya menyerang kebijakan Presiden Jokowi. Akibatnya berita turunnya harga BBM dialihkan fokusnya pada belum turunnya harga-harga. Tampak sekali sangat berbeda pada saat Presiden Jokowi menaikkan harga BBM. Waktu itu Metro TV mengeksplorasi semua sisi baiknya. Ketika sekarang harga BBM diturunkan mereka malah bersikutat dan bersibuk dengan sisi tidak baiknya. Semakin sering muncul kata ketidakpastian kala menanggapi penurunan harga tersebut.

Sebenarnya sikap yang sama telah ditunjukkan oleh TVOne sejak kampanye pemilihan presiden. TVOne sangat kritis pada Jokowi dan tidak pernah secara kritis memberitakan kasus Lumpur Lapindo yang melibatkan keluarga Aburizal Bakrie.

Inilah bahayanya jika media massa dimiliki pemodal yang ikut serta bermain kuasa. Media massa tak lebih hanya menjadi corong kepentingan sempit jangka pendek pemodal yang memiliki media massa tersebut. Cermati pula teks berjalan pada semua televisi di bawah naungan MNC grup, isinya pembelaan diri pemiliknya dalam kasus hukum dengan Tutut. Apa hubungan berita itu dengan kepentingan publik?

Sungguh ini cara pembodohan masyarakat yang sangat mengerikan. Kita susah mendapatkan informasi yang benar, berimbang, tidak berpihak, jernih dan bebas dari kepentingan sempit jangka pendek.

Padahal sejatinya kekritisan yang bertujuan untuk mencaritemukan kebenaran dan memperbaiki keadaan merupakan bagian dari metabolisme masyarakat yang sehat. Karena itu tidak mengherankan bila para filsuf telah mengingatkan kita bahwa musuh terbesar masyarakat terbuka adalah pemanfaatan media massa oleh para pemodal/penguasa untuk kepentingan sempit dan jangka pendek mereka.

Agar negara bangsa ini dapat maju, bermartabat dan sehat, kita harus mengembangkan dam mempraktikkan kekritisan. Siapa pun presidennya. Kekritisan adalah keniscayaan dalam masyarakat yang sehat. Tentu saja bukan dengan model krisis kritis, kritik yang didasarkan pada kepentingan sempit jangka pendek. Sebab,

KEKRITISAN YANG DIDASARKAN PADA KEPENTINGAN SEMPIT JANGKA PENDEK ADALAH SAMPAH.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd