Minggu, 18 Januari 2015

PDIP BUKAN KELEDAI

Keledai tidak jatuh ke lubang yang sama dua kali. Boleh jadi saat masuk lubang yang pertama, keledai sudah mati, sehingga tidak memiliki kesempatan masuk lubang yang sama dua kali. Kemungkinan lain adalah keledai belajar dari kejatuhan yang pertama, memberi semacam tanda pada lubang dan menjadi lebih hati-hati.

Binatang memang mengandalkan insting bukan otak seperti manusia. Karena itu binatang memiliki keterbatasan menghadapi tantangan hidup. Setiap binatang dibekali oleh sebuah pola tetap bawaan lahir. Semua lebah pencari madu, tanpa mengikuti pendidikan atau pelatihan bisa lakukan tarian lebah yang membuatnya tidak tersesat pulang ke sarang atau pulang ke sarang yang berbeda.

Tidak ada perkembangan berarti dalam pola tetap yang dimiliki tiap binatang. Dibutuhkan waktu evolusi yang sangat panjang untuk perubahan sangat kecil. Itulah sebabnya kerbau pada zaman Nabi Yusuf tidak banyak berbeda dengan kerbau pada zaman Yusuf Kalla. Anjing yang hidup pada masa Aristoteles memiliki ketajaman penciuman yang sama dengan anjing yang hidup pada masa Pangeran Charles. Itulah fakta binatang.

Para penganut psikologi behavioris pernah membuat eksperimen pada sejumlah binatang seperti tikus, anjing dan moyet. Binatang-binatang itu dikondisikan agar memunculkan reaksi tertentu. Memang tercipta semacam kebiasaan baru. Namun, tetap saja bersifat instingtual. Tidak dapat dikembangkan oleh binatang itu sendiri.

Berbeda dengan manusia. Otak manusia terus berkembang seiring waktu dan tantangan hidup. Manusia zaman batu yang tinggal di goa-goa berbeda dengan manusia yang telah membentuk komunitas, hidup menetap dan bertani. Toffler menjelaskan bahwa manusia telah melewati tiga gelombang yaitu pertanian, industri dan komunikasi. Setiap gelombang melahirkan manusia dengan karakteristik yang berbeda. Dalam beberapa kajian, manusia sering dibedakan antara manusia tradisional dengan manusia moderen yang memiliki banyak perbedaan dalam cara berfikir dan menghayati hidup.

Manusia adalah pembelajar yang tak kenal henti. Binatang tak dapat lakukan ini. Manusia terus berubah. Binatang relatif tetap.

Dalam konteks inilah menarik untuk melihat permainan dan strategi PDIP terkait dengan pencalonan Kom. Jen. Budi Gunawan sebagi calon tunggal Kapolri.

Saat pembentukan kabinet sudah beredar kabar bahwa Budi Gunawan yang pernah jadi ajudan saat Megawati menjadi presiden, termasuk calon menteri yang mendapat rapor merah dari KPK dan PPATK, dikarenakan rekening gendut. Akhirnya Budi Gunawan tidak masuk kabinet

Ternyata dalam usulan nama-nama calon Kapolri nama Budi Gunawan muncul lagi, bahkan menjadi calon tunggal. Kala media mulai mempertanyakan keputusan Presiden Jokowi itu, para petinggi PDIP antara lain Pramono Anung memberi penjelasan panjang lebar untuk membelanya.

Sewaktu KPK menetapkan Budi Gunawan  menjadi tersangka, kembali tokoh-tokoh PDIP tampil membelanya habis-habisan. Berbagai argumentasi dikemukakan. Tampaknya mereka tidak perduli apakah argumennya nalar atau tidak. Agaknya mereka sama sekali tidak mau peduli pada reaksi dan respon masyarakat yang kebanyakan menolak pencalonan Budi Gunawan.

Dalam waancara dengan berbagai televisi, para tokoh PDIP sama sekali tidak menunjukkan rasa hormat pada pendapat masyarakat yang berbeda dengan mereka. Bahkan terkesan sekali mereka menyerang KPK. Sampai-sampai menuduh penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka merupakan upaya balas dendam KPK.

Mereka sama sekali lupa, belum pernah ada orang yang dijadikan tersangka oleh KPK bisa lepas dari jerat hukum. Serangan mereka bukan saja bermaksud melemahkan KPK. Boleh disimpulkan menjurus pada penghancuran KPK. Mereka berbicara tentang KPK seakan tak ada secuil pun kebaikan KPK. Mereka abai bahwa KPK lebih dipercaya masyarakat ketimbang mereka. Mereka tidak mau bercermin bahwa hanya sekitar tiga puluh persen rakyat Indonesia yang memilih mereka, selebihnya ogah pada mereka.

Rasanya  tidaklah berlebihan bila mempertanyakan mengapa KPK sangat mendadak menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, persis satu hari sebelum uji kelayakan dan kepantasan di DPR.  Juga mempertanyakan mengapa KPK baru sekarang mengangkat kasus Budi Gunawan, mengapa tidak dari dulu? Tidak salah bila bertanya, apakah Budi Gunawan akan ditetapkan sebagai tersangka jika tidak menjadi calon tunggal Kapolri?

Membuat sejumlah penilaian terhadap kinerja KPK juga tidak dilarang. Karena KPK bukan lembaga sempurna yang tidak boleh dipersoalkan. KPK itu bukan lembaga sempurna. KPK juga dikelola dan dipimpin manusia, bukan dewa. Dewa saja bisa salah apalagi KPK. Namun, menyerang KPK dengan sejumlah tuduhan yang tidak berdasar seperti balas dendam, merupakan upaya sistematis melemahkan KPK yang seharusnya tidak dilakukan. Apalagi oleh tokoh politik yang semestinya lebih mendahulukan kepentingan nasional daripada kepentingan sempit partainya.

Ketika akhirnya Presiden Jokowi menunda pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri, PDIP tampak seperti macan kertas. Tragisnya, tidak sedikit orang merasa "neg" bahkan pengen muntah melihat kelakuan sejumlah politisi PDIP yang bicara tanpa rasa empati di televisi. Gayanya sungguh menunjukkan arogansi.

Tampaknya para politisi PDIP itu tidak belajar dari masa lalunya.
Pada pemilu 1999 PDI-P meraih 35.689.073 suara (33,74%) dan memperoleh 153 kursi DPR. Mereka adalah pemenang pemilu. Perolehan suaranya melampaui 10 persen dibandingkan Golkar yang berada di tempat kedua. Namun, secara tragis dalam pemilihan yang alot, Ketua Umum PDIP Megawati gagal menjadi Presiden Indonesia. Kalah dari Gus Dur yang suara partainya sangat jauh lebih kecil dibandingkan PDIP. Kekalahan itu lebih karena PDIP terlalu asyik dan yakin dengan kemenangannya dan mengabaikan kekuatan politik lain.

Akhirnya Megawati jadi presiden. Namun, justru saat berkuasa Megawati kalah dalam pemilihan presiden langsung yang pertama kali dilakukan di Indonesia. Kekalahan itu menunjukkan bahwa PDIP dan Megawati gagal meyakinkan rakyat Indonesia untuk memilihnya kembali. Kegagalan itu  juga disebabkan perilaku para politisi PDIP yang seringkali menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.

Tragis ironis, kini PDIP mengulangi sekali lagi kesalahan yang sama. Menjadi kurang hati-hati dan tidak rendah hati saat ada dalam kekuasaan. Dan secara terbuka melawan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.

KEKUASAAN MEMANG SERING KALI MENGGELINCIRKAN BANYAK ORANG.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

setiap komentar yang masuk akan terkirim secara langsung ke alamat email pribadi Bapak DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd